BONA NEWS. Medan, Sumatera Utara. — Suasana politik lokal di Kota Medan memanas setelah sejumlah kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menyatakan penolakan terhadap rencana Hasyim SE untuk kembali menjabat sebagai Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PDIP Kota Medan periode 2025–2030. Penolakan itu muncul dalam bentuk surat terbuka dan poster protes yang kini ramai diperbincangkan publik.

Kritik keras pertama kali disuarakan melalui surat terbuka yang ditandatangani Emil Endamora Pane, Sekretaris Pimpinan Anak Cabang (PAC) PDIP Kota Medan. Surat itu ditujukan langsung kepada Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, pada Rabu, 17 September 2025.

Dalam suratnya, Emil mendesak adanya regenerasi kepemimpinan di tubuh DPC PDIP Medan. Ia menilai Hasyim sudah cukup lama menjabat, dan saat ini sudah seharusnya naik ke struktur yang lebih tinggi di Dewan Pimpinan Daerah (DPD) PDIP Sumatera Utara.

“Sebagai kader partai, kami sangat menghormati kontribusi Bung Hasyim. Namun, setelah dua periode memimpin DPC, kini saatnya ada penyegaran. Regenerasi mutlak dibutuhkan agar PDIP Medan tetap dinamis,” tulis Emil dalam suratnya.

Selain mengkritik kepemimpinan Hasyim, Emil juga mengusulkan beberapa nama kader potensial yang dianggap layak untuk memimpin DPC, antara lain Robi Barus, Paul Mei Anton Simanjuntak, dan Margaret MS. Emil menekankan, banyak figur muda dan energik yang bisa membawa semangat baru bagi PDIP di Kota Medan.

Tidak berhenti di surat terbuka, penolakan semakin nyata dengan munculnya poster besar di sekretariat lama DPC PDIP Kota Medan di kawasan Medan Petisah. Poster itu dipasang pada Jumat malam, 19 September 2025, dan langsung menyedot perhatian publik serta kader partai.

Isi poster tersebut tegas:

“Kami kader PDIP Kota Medan yang militan menolak keras DPC Hasyim, SE untuk menjadi Ketua PDIP Kota Medan yang ke-3 (tiga) periode.”

Pemasangan poster penolakan ini dianggap sebagai simbol perlawanan kader akar rumput yang tidak ingin ada dominasi kepemimpinan terlalu lama di level DPC. Poster tersebut juga menjadi tanda bahwa konflik internal bukan hanya terjadi di balik layar, melainkan sudah terbuka di ruang publik.

Kader-kader PDIP yang menolak Hasyim menilai bahwa kepemimpinan tiga periode akan menimbulkan kejenuhan politik di internal partai. Mereka khawatir, tanpa adanya figur baru, PDIP Medan akan kehilangan energi politik, inovasi, serta semangat pembaruan yang selama ini menjadi modal penting partai di daerah.

Emil Endamora Pane dalam pernyataannya juga menyebut bahwa demokrasi internal partai harus dijaga. Dengan adanya regenerasi, peluang bagi kader muda untuk tampil dan mengaktualisasikan diri akan terbuka lebih luas.

“Kalau hanya dipimpin orang yang sama terus-menerus, kader lain akan kehilangan motivasi. Padahal PDIP Medan punya banyak kader potensial yang siap berkontribusi,” ujarnya.


Dukungan untuk Hasyim: Tidak Semua Kader Menolak

Di sisi lain, penolakan ini tidak serta merta mewakili seluruh kader PDIP Kota Medan. Sebagian kader justru masih memberikan dukungan penuh kepada Hasyim agar kembali memimpin.

Salah satunya adalah John Martin Lumban Gaol, Sekretaris PAC Medan Denai. Ia menyatakan bahwa Hasyim masih dibutuhkan untuk mengkonsolidasikan kekuatan partai menuju Pemilu 2029.

“Hasyim adalah figur yang terbukti berhasil membawa PDIP Medan tetap solid dan memenangkan kontestasi politik di kota ini. Pengalaman beliau masih sangat dibutuhkan,” kata John Martin, Jumat 19 September 2025.

Dukungan semacam ini menunjukkan bahwa dinamika internal PDIP Medan masih sangat cair, dengan dua kubu berbeda: kubu penolak yang mendorong regenerasi, dan kubu pendukung yang menilai kepemimpinan Hasyim masih relevan.

Hasyim SE bukan sosok baru di kancah politik lokal Medan. Ia sudah dua periode menjabat sebagai Ketua DPC PDIP Kota Medan dan kini duduk sebagai anggota DPRD Sumatera Utara.

Selama kepemimpinannya, PDIP Medan tetap menjadi salah satu partai dengan basis suara besar di kota ini. Namun, keberhasilannya itu kini justru dipertanyakan sebagian kader, yang menilai bahwa sukses organisasi tidak boleh dimonopoli oleh satu figur saja.

Penolakan ini berpotensi menimbulkan gejolak internal yang lebih besar jika tidak segera diatasi. Ada beberapa skenario yang bisa muncul:

  1. Jika Hasyim tetap ditetapkan Ketua DPC untuk periode ketiga
    • Akan muncul resistensi dari kader yang merasa aspirasinya diabaikan.
    • Potensi konflik internal meningkat, bahkan bisa berujung pada penurunan loyalitas kader di tingkat PAC dan ranting.
  2. Jika PDIP memutuskan melakukan regenerasi
    • Akan ada peluang munculnya figur baru dengan semangat pembaruan.
    • Namun, bisa juga memunculkan kubu kecewa dari pendukung Hasyim yang masih kuat di akar rumput.
  3. Jika kompromi politik ditempuh
    • PDIP bisa menempatkan Hasyim di posisi strategis di DPD PDIP Sumut, sementara DPC dipimpin kader baru.
    • Skema ini bisa menjadi jalan tengah agar dinamika internal tetap terkendali.

Pengamat politik lokal menilai bahwa konflik internal di PDIP Medan adalah cerminan dinamika politik nasional. Banyak partai di Indonesia menghadapi masalah serupa: tarik menarik antara kontinuitas kepemimpinan dan kebutuhan regenerasi.

Menurut dosen politik dari Universitas Sumatera Utara (USU), Dr. Ahmad Syafii, regenerasi dalam partai politik adalah hal yang wajar dan bahkan wajib dilakukan.

“Partai politik harus sehat secara organisasi. Jika terlalu bergantung pada satu figur, partai bisa stagnan. Tetapi jika regenerasi dipaksakan tanpa konsolidasi, bisa juga memicu perpecahan,” ujarnya dalam wawancara, Jumat malam 19 September 2025.

Reaksi Publik dan Media Sosial

Isu ini juga ramai dibicarakan di media sosial, terutama di kalangan aktivis dan simpatisan PDIP di Medan. Poster penolakan yang beredar difoto dan disebarkan melalui WhatsApp serta platform X (dulu Twitter).

Sejumlah netizen menilai penolakan ini sebagai langkah berani kader akar rumput untuk menyuarakan aspirasi. Namun, ada juga yang berkomentar sinis, menganggap penolakan ini hanya “manuver politik” jelang Muscab (Musyawarah Cabang) PDIP Kota Medan.

PDIP sebagai partai besar yang selalu mendominasi perolehan suara di Medan tentu tidak bisa mengabaikan gejolak ini. Soliditas internal adalah modal utama untuk menghadapi Pilkada 2029 maupun Pemilu Legislatif.

Jika konflik dibiarkan berlarut, ada risiko PDIP kehilangan sebagian basis dukungannya di Medan. Namun, jika ditangani dengan bijak melalui kompromi dan regenerasi terukur, justru konflik ini bisa menjadi momentum untuk memperkuat struktur partai.

Kasus penolakan kader PDIP Medan terhadap Hasyim yang ingin menjabat Ketua DPC untuk ketiga kalinya adalah fenomena penting dalam dinamika politik lokal Sumatera Utara.

Fakta menunjukkan:

  • Surat terbuka (17/9/2025) ditujukan kepada Megawati oleh Emil Endamora Pane.
  • Poster penolakan (19/9/2025) terpasang di sekretariat lama PDIP Medan.
  • Ada dua kubu berbeda: sebagian menolak dengan alasan regenerasi, sebagian mendukung dengan alasan pengalaman Hasyim masih dibutuhkan.

Kini, bola panas ada di tangan PDIP pusat. Keputusan Megawati dan elite partai akan menentukan arah kepemimpinan DPC PDIP Kota Medan lima tahun ke depan. Apakah tetap bersama Hasyim untuk periode ketiga, atau memberi ruang bagi kader baru untuk tampil?

Satu hal yang pasti, gejolak internal ini menjadi bukti bahwa demokrasi di tubuh PDIP masih hidup — meski penuh dinamika dan pertarungan kepentingan.