BONA NEWS. Medan, Sumateta Utara.  – Pemerintah Provinsi Sumatera Utara melalui Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman (Disperkim) berencana membangun 1.000 unit rumah murah khusus untuk buruh. Pembangunan akan dimulai pada akhir 2025 dan ditargetkan rampung secara bertahap hingga 2027.

Rencana tersebut disampaikan Kepala Disperkim Sumut, Hasmirizal Lubis, pada Senin, 22 September 2025, di Medan. Menurutnya, pembangunan rumah buruh akan difokuskan di kawasan industri seperti Medan, Deliserdang, dan Binjai, sehingga pekerja dapat tinggal lebih dekat dengan lokasi kerja.

“Pemerintah Provinsi Sumatera Utara menargetkan pembangunan 1.000 rumah murah untuk buruh sebagai langkah awal mengatasi backlog perumahan. Program ini akan mulai berjalan akhir tahun 2025 hingga 2027,” ujar Hasmirizal, Senin (22/9/2025).

Backlog 1,9 Juta Unit Jadi Beban Berat

Data Susenas 2024 menunjukkan bahwa backlog perumahan di Sumatera Utara mencapai 1.938.217 unit. Backlog ini mencerminkan jumlah keluarga yang belum memiliki rumah atau masih menempati rumah tidak layak huni.

“Angka hampir dua juta unit ini sangat besar. Kalau tidak kita tangani dengan strategi khusus, masalah perumahan akan semakin kompleks, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah, generasi muda, dan para buruh,” jelas Hasmirizal.

Disperkim menegaskan, selain membangun rumah murah baru, Pemprov Sumut juga akan menjalankan program bedah rumah tidak layak huni (RTLH) agar backlog dapat ditekan lebih cepat.

Sebelumnya, Gubernur Sumut Bobby Nasution telah menegaskan dukungan penuh terhadap program perumahan untuk buruh. Dalam pertemuan dengan serikat buruh pada 11 September 2025, Bobby menyebutkan pemerintah akan menanggung sebagian biaya awal kepemilikan rumah subsidi, seperti biaya notaris dan provisi.

“Buruh sering keberatan dengan biaya awal rumah subsidi yang bisa mencapai Rp 8 juta. Dengan intervensi pemerintah, biaya itu bisa ditekan hingga sekitar Rp 1,2 juta saja,” ujar Bobby Nasution, Kamis (11/9/2025).

Selain itu, Bobby juga memastikan harga rumah subsidi di Sumut tidak melebihi Rp 166 juta per unit, sesuai ketentuan nasional. Ia menekankan pentingnya membangun perumahan buruh dekat kawasan industri agar pekerja tidak terbebani biaya transportasi.

Kuota Rumah Subsidi

Untuk mendukung program ini, pemerintah menyiapkan kuota 15.000 unit Kredit Pemilikan Rumah (KPR) subsidi di Sumut melalui skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Dari kuota tersebut, sebagian dialokasikan untuk buruh.

FLPP memungkinkan masyarakat mengakses rumah dengan uang muka rendah dan bunga flat sepanjang masa kredit. Skema ini sudah berjalan secara nasional dan terbukti membantu kelompok Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) memiliki rumah pertama.

Meski Disperkim Sumut belum merilis syarat teknis khusus untuk program rumah buruh, secara umum penerima rumah subsidi diatur oleh pemerintah pusat. Beberapa kriteria utamanya adalah:

  • WNI yang sudah berusia minimal 21 tahun atau sudah menikah.
  • Belum memiliki rumah dan belum pernah menerima subsidi perumahan pemerintah.
  • Memiliki penghasilan dalam batas MBR, dengan plafon tertentu sesuai wilayah.
  • Wajib melengkapi dokumen administrasi: KTP, KK, NPWP, surat keterangan penghasilan, serta pernyataan belum memiliki rumah.

Untuk program khusus buruh, diperkirakan akan ada tambahan syarat berupa surat keterangan dari perusahaan atau serikat buruh, guna memastikan program tepat sasaran.

Program Bedah Rumah Tidak Layak Huni

Selain pembangunan rumah baru, Disperkim Sumut juga melanjutkan program bedah rumah. Dalam skema ini, pemerintah memberikan bantuan sekitar Rp 30 juta per unit RTLH. Program ini menyasar masyarakat miskin yang sudah memiliki rumah tetapi dalam kondisi tidak layak huni.

Dengan kombinasi pembangunan rumah baru dan bedah rumah, Pemprov Sumut berharap backlog dapat ditekan secara signifikan dalam lima tahun ke depan.

Meski mendapat dukungan luas, program ini menghadapi beberapa tantangan:

  1. Jumlah unit terbatas – pembangunan 1.000 rumah buruh masih jauh dari cukup jika dibandingkan dengan backlog 1,9 juta unit.
  2. Ketersediaan lahan – harga tanah di sekitar kawasan industri cukup tinggi sehingga berpotensi mendorong harga rumah.
  3. Status buruh kontrak – banyak buruh masih berstatus pekerja kontrak atau informal sehingga kesulitan memenuhi syarat administrasi KPR.
  4. Pengawasan mutu – perlu dipastikan rumah murah yang dibangun memiliki standar kualitas memadai dan tidak sekadar formalitas.

Buruh di Sumut menyambut baik program ini. Feny artha, slaah satu buruh pabrik di KIiM I menilai program rumah murah akan meningkatkan kesejahteraan pekerja.

“Buruh sudah lama menunggu program nyata seperti ini, jika program ini nyata tidak sekedar isu pasti sangat bagus.  Kami berharap pemerintah konsisten menjalankannya dan tidak berhenti di tengah jalan,” ungkap Feni, buruh pabrik, Jum’at (12/9/2025).

Menurutnya, hunian dekat kawasan industri akan mengurangi beban biaya hidup buruh, sehingga mereka bisa lebih fokus bekerja dan menabung.

Kolaborasi Jadi Kunci

Pemerintah menegaskan, penyelesaian masalah perumahan tidak bisa dilakukan sendiri. Diperlukan kolaborasi antara pemerintah, pengembang, perbankan, dan masyarakat.

“Program 1.000 rumah buruh ini memang langkah awal. Untuk mencapai target lebih besar, kami butuh dukungan semua pihak, termasuk sektor swasta dan perbankan,” akhir Hasmirizal.

Rencana pembangunan 1.000 rumah murah untuk buruh yang dimulai akhir 2025 merupakan langkah awal Pemprov Sumut dalam menjawab tantangan backlog perumahan yang mencapai hampir dua juta unit. Dukungan subsidi biaya awal, plafon harga Rp 166 juta, serta lokasi dekat kawasan industri menjadi keunggulan program ini.

Meski jumlahnya masih jauh dari kebutuhan riil, program ini menunjukkan komitmen pemerintah daerah memenuhi hak dasar masyarakat atas hunian layak. Keberlanjutan program, konsistensi pengawasan, serta kolaborasi lintas sektor akan menentukan sejauh mana backlog dapat ditekan.