BONA NEWS. Jakarta, Indonesia. — Nilai tukar rupiah kembali tertekan terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Pada perdagangan pagi, Jumat (26/9/2025), rupiah dibuka melemah 0,3 persen ke posisi Rp16.735 per dolar AS, level terlemah sejak 30 April 2025. Kondisi ini mendorong Bank Indonesia (BI) mengambil sikap tegas: melakukan intervensi agresif untuk menjaga stabilitas kurs.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo dalam konferensi pers di Jakarta pada Jumat (26/9/2025) menegaskan, otoritas moneter siap menggunakan seluruh instrumen yang dimiliki.
“Bank Indonesia akan menggunakan semua instrumen yang tersedia secara berani, termasuk intervensi di pasar spot, NDF domestik dan luar negeri, serta pembelian obligasi pemerintah di pasar sekunder. Kami tidak ragu untuk bertindak demi menjaga stabilitas rupiah,” ujar Perry.
Ia menambahkan, tekanan terhadap rupiah bukan hanya dipengaruhi faktor internal, melainkan juga kondisi eksternal, terutama penguatan dolar AS akibat kebijakan ketat Federal Reserve.
Pelemahan rupiah sebenarnya sudah terlihat sejak awal pekan ini. Pada Selasa (23/9/2025), kurs rupiah di pasar spot tercatat di level Rp16.688 per dolar AS, terendah sejak April. Kondisi ini menambah kekhawatiran pelaku pasar setelah sebelumnya BI memangkas suku bunga acuan menjadi 4,75 persen pada Rabu (17/9/2025).
Kebijakan pemangkasan suku bunga tersebut menuai kritik karena dinilai terlalu agresif. Beberapa analis menilai langkah itu melemahkan imbal hasil aset berdenominasi rupiah dan mendorong arus keluar modal asing.
Di pasar obligasi, investor asing mencatatkan aksi jual bersih sejak Kamis (25/9/2025). Imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun melonjak ke level 7,25 persen, tertinggi dalam empat bulan. Lonjakan yield ini menjadi sinyal meningkatnya premi risiko yang diminta investor.
Ekonom Bank Central Asia, David Sumual, menilai langkah BI perlu segera diwujudkan dalam aksi nyata.
“Pernyataan BI penting untuk menenangkan pasar. Namun, investor akan lebih percaya jika melihat aksi intervensi secara konsisten, bukan hanya retorika,” kata David kepada media, Jumat (26/9/2025).
Isu Independensi Bank Sentral
Kritik juga datang dari kalangan analis terkait independensi Bank Indonesia. Pemangkasan suku bunga pada 17 September, yang dilakukan tanpa konsensus pasar, menimbulkan dugaan adanya tekanan politik. Apalagi, pencopotan Menteri Keuangan Sri Mulyani pada Senin (9/9/2025) masih meninggalkan tanda tanya besar tentang arah kebijakan fiskal pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Ekonom Permata Bank, Josua Pardede, mengingatkan risiko persepsi negatif jika BI dipandang tidak independen.
“Investor asing sangat peka terhadap sinyal independensi bank sentral. Jika ada kesan BI terlalu mengikuti kepentingan fiskal, rupiah bisa makin rentan,” ujar Josua saat dihubungi Jumat (26/9/2025).
Tekanan rupiah di pasar keuangan memiliki konsekuensi nyata di lapangan. Kenaikan harga barang impor mulai dirasakan sejak pekan lalu, terutama pada produk elektronik dan bahan baku industri. Distributor kedelai di Jakarta, Budi Santoso, mengatakan harga kedelai impor naik hampir 8 persen sejak awal September.
“Kalau dolar terus naik, harga tempe dan tahu pasti ikut terkerek. Kami tidak mungkin menanggung semua biaya,” kata Budi kepada wartawan, Kamis (25/9/2025).
Selain pangan, pelemahan rupiah juga menekan harga BBM non-subsidi. Pertamina pada Kamis (25/9/2025) mengumumkan penyesuaian harga Pertamax Turbo dari Rp16.800 menjadi Rp17.200 per liter.
Dalam sidang paripurna pada Selasa (23/9/2025), DPR RI menyetujui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026 sebesar Rp3.842,7 triliun dengan defisit 2,68 persen terhadap PDB. Kebijakan fiskal yang ekspansif ini menimbulkan spekulasi bahwa beban stabilisasi makroekonomi akan kembali jatuh ke pundak Bank Indonesia.
Direktur CELIOS, Bhima Yudhistira, menilai koordinasi pemerintah dan BI perlu lebih transparan.
“APBN 2026 memberi sinyal ekspansif. Kalau realisasinya tidak hati-hati, investor bisa semakin khawatir. BI harus menjaga jarak agar tidak dianggap sebagai pembiaya defisit,” ujar Bhima, Jumat (26/9/2025).
Investor global juga memantau perkembangan di Indonesia. Dalam laporan mingguan yang dirilis Jumat (26/9/2025), lembaga pemeringkat Fitch Ratings menyebut pelemahan rupiah berisiko meningkatkan beban utang luar negeri sektor swasta. Namun, Fitch juga menilai cadangan devisa Indonesia yang mencapai 136 miliar dolar AS pada akhir Agustus 2025 masih cukup untuk menopang intervensi jangka pendek.
Analis memandang rupiah akan tetap berada di bawah tekanan setidaknya hingga kuartal IV 2025. Jika dolar AS terus menguat dan BI tidak melakukan intervensi besar, kurs rupiah bisa menembus Rp17.000 per dolar. Namun, jika The Fed memberi sinyal pelonggaran pada Desember, rupiah berpeluang stabil di kisaran Rp16.500.
Ekonom Universitas Indonesia, Faisal Basri, menegaskan pentingnya konsistensi kebijakan.
“Rupiah hanya bisa stabil kalau ada kepercayaan. Itu artinya, BI harus konsisten menjaga independensinya, pemerintah disiplin fiskal, dan pasar melihat adanya kepastian hukum,” ujar Faisal, Jumat (26/9/2025).
Hari Jumat (26/9/2025) menjadi momentum penting bagi rupiah dan Bank Indonesia. Di satu sisi, BI telah menegaskan komitmen intervensi agresif untuk menjaga stabilitas. Di sisi lain, pasar masih menunggu bukti konkret dan konsistensi kebijakan.
Bagi masyarakat, pelemahan rupiah sudah terasa melalui kenaikan harga barang impor dan energi. Bagi investor, isu independensi BI dan disiplin fiskal pemerintah tetap menjadi sorotan utama.
Ke depan, nasib rupiah tidak hanya ditentukan oleh kurs di layar perdagangan, tetapi juga oleh kepercayaan. Kepercayaan terhadap bank sentral, terhadap pemerintah, dan terhadap arah kebijakan ekonomi Indonesia secara keseluruhan.
