BONA NEWS. Simalungun, Sumatera Utara. — Kekerasan meletus di Desa Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, pada Senin, 22 September 2025, sekitar pukul 08.00 WIB. Peristiwa ini terjadi saat masyarakat adat Lamtoras sedang berladang di Buttu Pangaturan, wilayah yang berbatasan dengan kawasan Danau Toba. Sekitar 300 pekerja dan petugas keamanan PT Toba Pulp Lestari (TPL) menyerang warga adat yang mempertahankan lahan mereka.
Akibat bentrokan ini, 33 warga mengalami luka-luka, termasuk Feny Siregar, mahasiswi Fakultas Ekologi Manusia IPB University, yang sedang melakukan penelitian skripsi mengenai praktik pertanian lokal di wilayah konflik. Seorang anak penyandang disabilitas juga menjadi korban. Beberapa korban dirawat di rumah sakit, sementara yang lain mengobati luka ringan dengan ramuan tradisional lokal.
Kejadian ini menyoroti masalah sengketa agraria yang telah berlangsung puluhan tahun di wilayah Danau Toba, di mana klaim adat sering berbenturan dengan konsesi perusahaan besar.
Menurut Arga Ambarita, Sekretaris Lamtoras, yang memberikan keterangan pada Rabu, 24 September 2025, rombongan pekerja TPL datang menggunakan delapan truk dan tiga mobil, mengenakan seragam hitam, membawa parang, pisau bengkok, alat setrum, batang kayu, helm berkaca penutup wajah, dan tameng rotan. “Mereka menyerang warga kami yang sedang bekerja di ladang. Bahkan warga lanjut usia tidak luput dari pemukulan,” kata Arga.
Awalnya, masyarakat adat hanya mencoba menenangkan situasi. Namun, ketika Feny Siregar memotret kejadian, ia dikejar dan dipukul. “Saya berusaha lari, tapi mereka memukuli saya di bagian lengan dan wajah,” ujarnya pada Kamis, 25 September 2025.
Konflik semacam ini bukanlah hal baru. Sejak Maret 2024 hingga September 2025, setidaknya tujuh kali terjadi bentrokan antara warga adat dan pekerja TPL di tanah adat yang diklaim perusahaan. Bentuk konflik bervariasi, mulai dari intimidasi, kriminalisasi, hingga kekerasan fisik langsung.
Reaksi Pihak PT Toba Pulp Lestari (TPL)
Salomo Sitohang, Manager Corporate Communication TPL, memberikan pernyataan pada Kamis, 25 September 2025, menegaskan bahwa karyawannya tidak menyerang warga. Ia menyatakan:
“Pemicu kekerasan ini datang dari masyarakat sendiri. Warga melempari kendaraan operasional perusahaan dengan batu, membakar mobil, dan memblokade jalan dengan kayu. Akibatnya, enam karyawan kami terluka.”
TPL menekankan bahwa tindakan yang dilakukan pekerjanya hanya sebagai upaya pengamanan aset perusahaan.
KontraS Sumut mengecam keras peristiwa ini. Dalam pernyataan resmi yang disampaikan Rabu, 24 September 2025, mereka menyatakan:
“Tindakan kekerasan yang dilakukan PT TPL terhadap masyarakat adat Sihaporas merupakan perampasan tanah adat yang tidak bermartabat. Negara tampak abai dalam menyelesaikan konflik agraria ini secara adil.”
KontraS menekankan perlunya penyelidikan independen terhadap perusahaan dan pihak keamanan yang terlibat.
Rektor IPB University, Arif Satria, pada Kamis, 25 September 2025, menyampaikan keprihatinan mendalam atas kasus yang menimpa mahasiswinya. Ia menekankan perlunya perlindungan bagi akademisi yang melakukan penelitian di daerah konflik. “IPB University akan menindaklanjuti insiden ini untuk memastikan hak mahasiswa kami terlindungi,” ujarnya.
Anggota DPR RI, Martin Manurung, meminta kepolisian menindak tegas kasus kekerasan ini. Dalam wawancara pada Jumat, 26 September 2025, Martin menyatakan:
“Ini bukan sekadar konflik lokal, tetapi masalah hak-hak masyarakat adat yang harus dihormati. Polda Sumatera Utara harus mengusut tuntas dugaan kekerasan ini.”
Polda Sumatera Utara saat ini tengah melakukan penyelidikan terhadap insiden tersebut.
Latar Belakang Konflik Agraria di Sihaporas
Sihaporas merupakan salah satu wilayah adat di Tano Batak dengan luas 2.093 hektare. Menurut data Badan Restorasi Wilayah Adat (BRWA), sekitar 64% wilayah adat Sihaporas masuk dalam konsesi PT TPL. Konflik muncul karena ketidakjelasan kepemilikan dan klaim ganda antara adat dan perusahaan.
Sejak tahun 2000-an, masyarakat adat berulang kali menghadapi tekanan untuk meninggalkan lahan mereka. Pembangunan pabrik pulp dan aktivitas industri lain menimbulkan kekhawatiran akan hilangnya identitas budaya dan ruang hidup masyarakat.
Selain konflik fisik, masyarakat sering menghadapi kriminalisasi, di mana warga yang menolak konsesi perusahaan dilaporkan ke aparat hukum. Hal ini menimbulkan ketegangan sosial dan memicu bentrokan berulang.
Insiden 22 September 2025 memiliki dampak yang signifikan:
- Dampak Sosial
- Puluhan warga mengalami trauma fisik dan psikologis.
- Rasa aman masyarakat terganggu; banyak warga takut berladang atau melakukan aktivitas sehari-hari.
- Dampak Ekonomi
- Ladang yang menjadi sumber penghidupan masyarakat rusak akibat bentrokan.
- Aktivitas pertanian terhenti sementara, memengaruhi mata pencaharian warga.
- Dampak Budaya dan Lingkungan
- Tanah adat memiliki nilai sejarah dan budaya yang tinggi bagi masyarakat Lamtoras.
- Kerusakan lahan dan pembatasan akses ke area adat mengancam praktik budaya turun-temurun.
Masyarakat adat Sihaporas, didukung oleh KontraS dan AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara), menuntut:
- Penyelesaian sengketa secara adil, melalui mediasi dan pengakuan hak-hak adat.
- Pertanggungjawaban PT TPL dan pihak keamanan yang terlibat dalam kekerasan.
- Perlindungan bagi akademisi dan warga yang menjadi saksi atau korban insiden.
- Keterlibatan negara secara aktif, bukan sekadar memberi izin usaha bagi perusahaan.
Selain itu, banyak pihak berharap agar insiden ini menjadi momentum bagi penyelesaian konflik agraria di seluruh Indonesia, terutama di wilayah yang memiliki masyarakat adat dan lahan konsesi perusahaan.
Kekerasan di Sihaporas menegaskan bahwa konflik agraria di sekitar Danau Toba bukan hanya masalah hukum atau ekonomi, tetapi juga persoalan hak asasi manusia, budaya, dan keberlanjutan lingkungan. Peristiwa yang terjadi pada Senin, 22 September 2025, dan dikonfirmasi narasumber hingga Jumat, 26 September 2025, menunjukkan betapa rapuhnya perlindungan masyarakat adat dalam menghadapi kepentingan industri besar.
Untuk menghindari eskalasi lebih lanjut, semua pihak—perusahaan, masyarakat, pemerintah, dan aparat hukum—harus duduk bersama untuk menyelesaikan sengketa ini secara adil. Tanpa itu, risiko bentrokan dan kekerasan akan terus berulang, mengancam stabilitas sosial, lingkungan, dan identitas budaya masyarakat adat di wilayah Danau Toba.
