BONA NEWS. Washington, USA. — Pada Senin, 29 September 2025, Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu bertemu di Gedung Putih untuk membahas proposal perdamaian terkait konflik di Gaza. Pertemuan ini digelar di tengah meningkatnya tekanan internasional untuk menghentikan perang yang telah berlangsung hampir dua tahun, sejak serangan 7 Oktober 2023 yang menewaskan lebih dari 66.000 warga Palestina dan lebih dari 1.200 warga Israel. Konflik panjang ini tidak hanya menimbulkan krisis kemanusiaan yang besar di Gaza, tetapi juga mengganggu stabilitas regional, membuat dunia internasional semakin khawatir tentang eskalasi lebih lanjut di Timur Tengah.

Trump, yang kembali menjadi presiden AS setelah masa kepresidenannya sebelumnya, menegaskan optimismenya mengenai kemungkinan tercapainya kesepakatan perdamaian. Dalam pernyataannya kepada pers, Trump menyebut pertemuan ini sebagai “kesempatan nyata untuk mencapai sesuatu yang besar” dan menekankan bahwa semua pihak mendukung rencana tersebut. Ia menyoroti perlunya pendekatan pragmatis yang mengutamakan penyelamatan nyawa dan stabilitas jangka panjang. Menurut Trump, dunia tidak bisa membiarkan konflik ini berlarut-larut karena dampaknya terhadap ekonomi global, migrasi, dan keamanan internasional sangat signifikan.

Sementara itu, Netanyahu menunjukkan sikap terbuka terhadap pemberian amnesti kepada pemimpin Hamas jika mereka bersedia mengakhiri perang dan membebaskan sandera. Pernyataan ini menunjukkan adanya kemauan dari Israel untuk mempertimbangkan solusi damai, meskipun dengan syarat yang ketat. Netanyahu menegaskan bahwa serangan militer Israel di Gaza maupun terhadap target Hamas di Doha, Qatar, tidak akan mengganggu stabilitas Abraham Accords, perjanjian normalisasi hubungan antara Israel dan beberapa negara Arab. Hal ini penting karena negara-negara Arab yang tergabung dalam Abraham Accords memiliki peran strategis dalam mendukung diplomasi perdamaian di wilayah tersebut. Netanyahu juga menekankan bahwa Israel tidak akan mengkompromikan keamanan nasionalnya, dan setiap langkah menuju perdamaian harus disertai jaminan keamanan yang jelas.

Trump menekankan tiga tujuan utama dalam rencana perdamaian: pertama, pembebasan semua sandera; kedua, eliminasi ancaman Hamas terhadap Israel; dan ketiga, peningkatan bantuan kemanusiaan ke Gaza. Ketiga tujuan ini dirancang untuk menciptakan kondisi yang memungkinkan gencatan senjata yang berkelanjutan dan membangun fondasi bagi perdamaian jangka panjang. Meski demikian, rencana ini belum mendapatkan persetujuan resmi dari Hamas maupun pemerintah Israel, sehingga masih terdapat banyak ketidakpastian terkait implementasinya.

Salah satu elemen paling kontroversial dari rencana perdamaian ini adalah usulan untuk membentuk Otoritas Transisi Internasional, yang akan mengelola Gaza sementara waktu sebelum menyerahkannya kembali kepada Otoritas Palestina. Usulan ini dipimpin oleh mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair, yang kini berusia 72 tahun. Blair sebelumnya dikenal memiliki pengalaman panjang dalam mediasi konflik internasional, tetapi netralitasnya dipertanyakan oleh beberapa pemimpin Palestina. Beberapa pihak menilai bahwa keterlibatan tokoh internasional berpengaruh dapat mempercepat proses perdamaian, sementara yang lain khawatir hal itu justru mengurangi kedaulatan Palestina dan menimbulkan ketegangan baru.

Selain itu, pertemuan Trump-Netanyahu juga membahas langkah-langkah jangka pendek untuk meringankan krisis kemanusiaan di Gaza. Trump menekankan pentingnya pengiriman bantuan makanan, obat-obatan, dan dukungan medis secara cepat, sembari memastikan keamanan distribusinya. Netanyahu menanggapi hal ini dengan menyatakan Israel bersedia bekerja sama dalam memastikan bantuan dapat disalurkan, asalkan tidak disalahgunakan oleh Hamas untuk kepentingan militer. Diskusi ini menunjukkan bahwa meskipun konflik telah menimbulkan keretakan politik yang mendalam, kedua pihak masih dapat menemukan titik temu dalam isu kemanusiaan yang mendesak.

Namun, berbagai tantangan tetap mengancam keberhasilan rencana perdamaian ini. Pertama, tekanan domestik di Israel sangat besar, terutama dari partai-partai oposisi yang menentang kompromi dengan Hamas. Kedua, Trump menghadapi oposisi dari sejumlah anggota parlemen Amerika yang skeptis terhadap efektivitas pendekatan diplomasi ini, terutama mengingat sejarah panjang konflik Israel-Palestina yang sulit dipecahkan. Ketiga, dunia internasional menuntut transparansi dan jaminan bahwa Otoritas Transisi Internasional akan bekerja secara adil dan netral. Tanpa dukungan luas, rencana ini berisiko gagal sebelum sempat diterapkan.

Selain itu, pertemuan ini juga membahas posisi negara-negara Arab yang menjadi bagian dari Abraham Accords. Netanyahu menegaskan bahwa Israel tetap berkomitmen pada kesepakatan yang telah ada dengan Uni Emirat Arab, Bahrain, dan negara-negara lain yang terlibat. Trump menekankan bahwa dukungan Arab sangat penting untuk menciptakan tekanan diplomatik yang dapat mendorong Hamas untuk setuju dengan gencatan senjata. Namun, meskipun ada kesepakatan prinsip, beberapa negara Arab menekankan bahwa perdamaian harus mencakup keadilan bagi rakyat Palestina, bukan hanya kepentingan keamanan Israel.

Dalam konteks internasional, pertemuan ini mendapat perhatian besar dari PBB, Uni Eropa, dan negara-negara besar lainnya. Banyak pihak melihat kesempatan ini sebagai ujian bagi kemampuan Trump dan Netanyahu untuk memimpin diplomasi yang efektif di tengah situasi yang sangat kompleks. Pengamat menilai bahwa keberhasilan atau kegagalan rencana perdamaian ini akan berdampak signifikan pada reputasi diplomatik kedua pemimpin, serta posisi Amerika Serikat dan Israel di kancah internasional.

Meski ada optimisme tentang kemungkinan tercapainya kesepakatan, banyak pengamat menekankan bahwa tantangan masih besar. Perbedaan pandangan antara Israel dan Hamas, keraguan Palestina terhadap pihak internasional, serta tekanan politik domestik dan internasional membuat proses ini tetap penuh ketidakpastian. Namun, bagi Trump dan Netanyahu, pertemuan ini merupakan kesempatan strategis untuk menunjukkan kemampuan mereka dalam menangani salah satu konflik paling kompleks di dunia saat ini.

Negosiasi lanjutan dijadwalkan akan dilakukan dalam beberapa minggu mendatang, dengan tujuan membahas secara rinci mekanisme gencatan senjata, pengelolaan Gaza oleh Otoritas Transisi Internasional, dan langkah-langkah untuk memastikan bantuan kemanusiaan tersalurkan dengan aman. Semua pihak berharap bahwa proses diplomasi ini akan menghasilkan solusi yang dapat diterima semua pihak, meskipun jalan menuju perdamaian masih panjang dan penuh tantangan.

Dalam kesimpulannya, pertemuan Trump dan Netanyahu di Gedung Putih menandai langkah penting dalam upaya mencapai perdamaian di Gaza. Meskipun berbagai kontroversi dan tantangan tetap ada, dialog ini menunjukkan adanya kemauan politik untuk mencari solusi damai. Keberhasilan rencana ini akan sangat bergantung pada komitmen semua pihak, kerja sama internasional, serta kemampuan untuk mengatasi tekanan politik yang kompleks. Dunia kini menunggu hasil negosiasi berikutnya, dengan harapan bahwa langkah-langkah diplomatik ini dapat membawa kedamaian bagi rakyat Gaza dan stabilitas yang lebih luas di Timur Tengah.