BONA NEWS. Doba, Qatar. Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menyampaikan permintaan maaf resmi kepada Perdana Menteri Qatar, Mohammed bin Abdulrahman Al Thani, menyusul serangan udara Israel di Doha yang menewaskan enam orang, termasuk seorang petugas keamanan Qatar, pada 9 September 2025. Langkah ini dilakukan untuk meredakan ketegangan diplomatik antara kedua negara dan membuka jalan bagi kelanjutan proses perdamaian di Gaza.

Permintaan maaf tersebut terjadi melalui panggilan telepon yang difasilitasi Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, di Gedung Putih pada 29 September 2025. Dilansir Reuters, Netanyahu mengakui bahwa serangan itu merupakan pelanggaran kedaulatan Qatar dan menyampaikan penyesalan mendalam atas jatuhnya korban jiwa.

Menurut laporan Wikipedia, pada 9 September 2025, Israel melancarkan serangan udara di distrik Leqtaifiya, Doha. Serangan ini menargetkan fasilitas yang digunakan oleh pemimpin Hamas yang tengah membahas gencatan senjata dengan mediator Qatar. Serangan tersebut menimbulkan kecaman internasional karena menembus wilayah berdaulat Qatar, yang selama ini menjadi peran penting sebagai mediator perdamaian di Gaza.

Akibat serangan itu, enam orang tewas, termasuk seorang petugas keamanan Qatar, dan beberapa lainnya mengalami luka-luka. Qatar langsung menanggapi insiden tersebut dengan menuntut permintaan maaf resmi dari Israel sebagai syarat kelanjutan peran mereka sebagai mediator.

Pemerintah Qatar mengecam serangan udara Israel sebagai pelanggaran terang-terangan terhadap kedaulatan negara. Dilansir The Times, Qatar menangguhkan semua upaya mediasi hingga Israel memberikan pernyataan resmi dan permintaan maaf. Insiden ini menempatkan Qatar dalam posisi diplomatik yang sulit, karena negara tersebut selama ini aktif memfasilitasi dialog antara Hamas dan pihak Israel untuk mencapai gencatan senjata.

Qatar menegaskan bahwa serangan udara ini menimbulkan kerugian serius, tidak hanya secara manusia tetapi juga diplomatik, karena mengganggu jalannya negosiasi yang sedang berlangsung dan menimbulkan ketidakpercayaan terhadap Israel.

Presiden Donald Trump memainkan peran kunci dalam memediasi permintaan maaf antara kedua pemimpin. Dilansir Politico, Trump mengatur panggilan tiga arah antara Netanyahu dan Al Thani di Gedung Putih. Tujuannya adalah meredakan ketegangan, memastikan Israel tidak mengulangi serangan, dan mendukung rencana perdamaian yang lebih luas untuk Gaza.

Trump menyatakan bahwa diplomasi cepat ini penting untuk menjaga stabilitas regional dan memastikan mediator seperti Qatar tetap aktif dalam proses perdamaian. Pihak AS berharap permintaan maaf Netanyahu akan membantu membuka jalan bagi implementasi rencana perdamaian 21 poin yang mencakup gencatan senjata, reformasi di Gaza, dan perlindungan terhadap sandera.

Isi Permintaan Maaf Netanyahu

Dalam panggilan telepon tersebut, Netanyahu menyampaikan penyesalan mendalam dan menegaskan bahwa Israel tidak akan melakukan serangan serupa di masa mendatang. Dilansir New York Post, Netanyahu menyebut tindakan itu sebagai “pelanggaran yang tidak disengaja terhadap kedaulatan Qatar” dan menekankan komitmen Israel untuk menghormati wilayah Qatar ke depannya.

Pernyataan ini dianggap penting karena membuka jalan bagi dialog yang konstruktif antara Israel dan Qatar, yang selama ini memiliki hubungan terbatas akibat perbedaan pandangan terhadap konflik Palestina-Israel. Permintaan maaf resmi ini juga menjadi langkah simbolis yang menunjukkan bahwa Israel menyadari dampak diplomatik dari tindakan militernya.

Di dalam negeri Israel, respons terhadap permintaan maaf Netanyahu beragam. Beberapa anggota parlemen dari partai sayap kanan mengkritik tindakan ini, menilai permintaan maaf sebagai tanda kelemahan. Namun, analis politik menilai langkah ini pragmatis, terutama dalam konteks menjaga stabilitas regional dan mendukung rencana perdamaian Gaza.

Menurut Reuters, Netanyahu menghadapi tekanan dari berbagai pihak untuk tetap mempertahankan kebijakan keras terhadap Hamas, tetapi langkah diplomatik ini dianggap strategis untuk memastikan dukungan Qatar tetap ada dalam negosiasi gencatan senjata.

Permintaan maaf ini terkait erat dengan upaya Amerika Serikat dalam memperkenalkan rencana perdamaian untuk Gaza. Dilansir Politico, rencana ini mencakup:

  1. Gencatan senjata yang diawasi oleh mediator internasional.
  2. Reformasi politik dan keamanan di Gaza.
  3. Perlindungan terhadap warga sipil dan sandera.
  4. Dukungan keuangan untuk pembangunan kembali wilayah terdampak konflik.

Qatar berperan sebagai mediator utama dalam implementasi rencana tersebut. Dengan meredakan ketegangan diplomatik, Israel diharapkan dapat berpartisipasi lebih aktif dalam proses perdamaian tanpa menimbulkan keraguan dari pihak mediator.

Permintaan maaf Netanyahu membuka peluang bagi pemulihan hubungan bilateral. Kedua negara memiliki kepentingan bersama dalam mencapai stabilitas regional, terutama terkait konflik Gaza. Dilansir The Times, meskipun masih ada tantangan, seperti kepercayaan yang harus dibangun kembali, langkah ini diharapkan memperkuat posisi diplomatik Qatar dan memudahkan Israel untuk melanjutkan perannya dalam proses perdamaian.

Jika kedua negara dapat mengatasi tantangan ini, mereka memiliki potensi untuk memainkan peran konstruktif dalam membentuk masa depan Timur Tengah. Selain itu, keterlibatan AS sebagai mediator dapat memberikan tekanan positif bagi kedua pihak untuk menjaga komitmen terhadap perdamaian.

Permintaan maaf Perdana Menteri Israel kepada Qatar merupakan langkah diplomatik penting yang menandai keseriusan Israel dalam meredakan ketegangan akibat serangan udara di Doha. Dilansir Reuters dan Politico, langkah ini bukan hanya penting bagi hubungan bilateral, tetapi juga bagi stabilitas kawasan Timur Tengah secara keseluruhan.

Dengan dukungan Amerika Serikat dan komitmen kedua negara untuk menghormati kedaulatan, ada harapan proses perdamaian Gaza dapat berlanjut. Langkah ini menunjukkan bahwa meskipun konflik dan ketegangan militer tetap ada, diplomasi yang tepat dapat membuka jalan bagi solusi jangka panjang yang lebih stabil.