BONA NEWS. Jakarta, Indonesia. — Pada 14 Agustus 2025, bioskop-bioskop di Indonesia disambangi oleh sebuah karya ambisius: film animasi Merah Putih: One for All. Dirilis tepat sebelum peringatan HUT ke-80 Kemerdekaan Indonesia, film ini bertujuan menyampaikan semangat nasionalisme melalui kisah delapan anak dari berbagai daerah yang tergabung dalam Tim Merah Putih. Misi mereka sederhana namun penuh simbolisme: memastikan bendera Merah Putih yang hilang dapat dibawa kembali untuk upacara kemerdekaan.
Secara konsep, film ini mengangkat tema yang sangat relevan: persatuan, kerja sama, dan cinta tanah air. Namun, respon publik menunjukkan bahwa ambisi besar tidak selalu sejalan dengan eksekusi yang memuaskan. Sejak penayangan perdana, Merah Putih: One for All menjadi sorotan, bukan hanya karena pesan nasionalismenya, tetapi juga kritik tajam terhadap kualitas produksi dan teknis animasinya.
Film ini mengisahkan petualangan delapan anak muda dari berbagai daerah di Indonesia yang tergabung dalam Tim Merah Putih. Mereka menyusuri berbagai wilayah, menghadapi rintangan fisik dan tantangan emosional, sembari belajar menghargai perbedaan dan memperkuat solidaritas.
Cerita film ini secara naratif sederhana namun sarat pesan moral. Setiap karakter memiliki latar belakang budaya berbeda, dari Sabang sampai Merauke, mencerminkan keberagaman Indonesia. Mereka belajar bahwa kekuatan bangsa terletak pada kemampuan warganya untuk bersatu, bekerja sama, dan menghormati perbedaan.
Misi menemukan bendera Merah Putih yang hilang menjadi metafora kuat: menjaga identitas dan harga diri bangsa bukan sekadar tugas pemerintah, tetapi tanggung jawab kolektif seluruh warga.
Kritik Publik: Ambisi vs Realitas Produksi
Meskipun konsep dan cerita film menjanjikan, publik menyoroti sejumlah kekurangan yang signifikan. Kritik utama muncul dari kualitas visual, teknis produksi, alur cerita, dan dugaan pelanggaran hak cipta.
1. Kualitas Visual yang Kurang Memadai
Salah satu sorotan utama adalah kualitas animasi. Gerakan karakter dinilai kaku, ekspresi wajah terbatas, dan rendering adegan tertentu terlihat terburu-buru. Banyak netizen membandingkan kualitas visual film ini dengan grafis game era PlayStation 2, sebuah sindiran yang mencerminkan ekspektasi penonton terhadap animasi modern.
Seorang penonton bioskop yang menonton di Jakarta mengungkapkan, “Kisahnya menarik, tapi visualnya membuat saya sulit fokus. Beberapa adegan terlihat seperti belum selesai.” Kritik serupa muncul di berbagai media sosial, memperkuat persepsi bahwa meskipun pesan nasionalisme kuat, kualitas teknis film masih jauh dari harapan.
2. Dugaan Penggunaan Aset Murah
Beberapa pengamat animasi menduga film ini menggunakan aset digital yang dibeli dari toko online dengan harga murah. Misalnya, aset “Street of Mumbai” dari Daz3D muncul di beberapa adegan tanpa pengolahan yang cukup untuk menyesuaikan dengan setting Indonesia.
Akun YouTube Yono Jambul bahkan menyoroti bahwa beberapa aset tampak seperti copy-paste, bukan hasil kreasi orisinal tim produksi. Dugaan ini memunculkan pertanyaan soal kreativitas dan integritas produksi: apakah pesan nasionalisme bisa maksimal jika materi visual menggunakan aset yang “dipinjam” begitu saja?
3. Produksi Kilat
Film ini dibuat dengan anggaran sekitar Rp 6,7 miliar, namun hanya membutuhkan waktu kurang dari satu bulan untuk menyelesaikan proses produksi. Kecepatan pengerjaan ini dianggap menjadi penyebab utama kualitas visual dan animasi yang kurang matang.
Seorang pengamat industri animasi Indonesia menekankan, “Animasi adalah medium yang membutuhkan detail dan waktu. Tidak mungkin menghasilkan kualitas tinggi dalam hitungan minggu.” Perbandingan dengan film animasi lain, seperti Jumbo, yang memiliki anggaran lebih kecil namun kualitas visual lebih halus, semakin memperkuat kritik terhadap pendekatan produksi kilat ini.
4. Alur Cerita yang Datar dan Klise
Selain masalah teknis, alur cerita film ini juga menjadi sorotan. Beberapa penonton menilai narasinya terlalu linear dan penuh klise, sehingga mudah ditebak. Dialog karakter dianggap terlalu sederhana dan tidak menonjolkan konflik internal yang bisa membuat penonton terikat secara emosional.
Kritikus film dari s1filmanimasi.fbs.unesa.ac.id menulis, “Film ini memiliki niat yang mulia, namun penyampaian ceritanya datar. Plot terasa seperti iklan layanan masyarakat yang disederhanakan.” Kritik ini menunjukkan bahwa pesan moral saja tidak cukup tanpa pengembangan karakter dan cerita yang matang.
5. Isu Hak Cipta Karakter
Film ini juga menghadapi dugaan pelanggaran hak cipta. Beberapa karakter disebut mirip dengan karakter yang dijual di platform Reallusion, termasuk Jayden (diciptakan oleh Junaid Miran) dan Tommy (diciptakan oleh Chihuahua Studios). Tidak ada lisensi resmi yang diperoleh tim produksi, sehingga muncul pertanyaan etis tentang penggunaan karakter digital pihak ketiga.
Junaid Miran menyatakan, “Tidak ada tim produksi yang menghubungi saya untuk mendapatkan lisensi atau memberikan kredit. Hal ini penting untuk menjaga integritas industri animasi.”
Sutradara Hanung Bramantyo mengakui keterbatasan produksi film ini, terutama karena waktu yang dipaksakan agar tayang bertepatan dengan perayaan kemerdekaan. Ia menyatakan, “Kami ingin menyampaikan pesan nasionalisme, meski kualitas teknisnya belum sempurna. Film ini adalah langkah awal, bukan akhir dari perjalanan animasi Indonesia.”
Di sisi publik, reaksi sangat beragam. Sebagian penonton menghargai niat baik film ini dan memuji pesan moral yang dibawa, sementara sebagian lain mengekspresikan kekecewaan melalui media sosial, terutama soal kualitas audio, visual, dan alur cerita yang membingungkan. Media sosial pun ramai dengan perbandingan film ini dengan animasi Indonesia lain yang lebih halus dan profesional meski dengan anggaran lebih kecil.
Refleksi untuk Industri Animasi Indonesia
Kasus Merah Putih: One for All menjadi cermin bagi industri animasi tanah air. Film ini menunjukkan bahwa niat baik dan pesan positif tidak cukup jika tidak didukung oleh eksekusi teknis yang matang.
Kualitas animasi, perencanaan produksi, dan pengembangan cerita menjadi faktor utama agar film animasi Indonesia bisa bersaing di level internasional. Pelajaran penting dari film ini adalah bahwa ambisi nasionalisme harus disertai dengan standar profesionalisme, kreativitas tinggi, dan manajemen produksi yang realistis.
Selain itu, kritik terhadap penggunaan aset digital murah dan dugaan pelanggaran hak cipta menegaskan pentingnya etika profesional dalam industri kreatif. Integritas produksi menjadi modal utama untuk membangun reputasi industri animasi Indonesia yang lebih kredibel dan dihormati dunia.
Merah Putih: One for All adalah contoh ambisi besar yang berhadapan dengan realitas teknis dan produksi. Film ini menawarkan ide yang positif: persatuan, solidaritas, dan nasionalisme. Namun, keterbatasan kualitas visual, cerita, dan waktu produksi membuat film ini menuai kritik tajam.
Kritik tersebut bukan sekadar sindiran, tetapi refleksi harapan publik agar industri animasi Indonesia terus berkembang, meningkatkan kualitas, dan mampu menghasilkan karya yang tidak hanya menghibur tetapi juga membanggakan bangsa.
Meski penuh kekurangan, film ini tetap memiliki nilai inspiratif. Ia mengingatkan bahwa industri kreatif Indonesia memiliki potensi besar dan tantangan besar yang harus dihadapi. Dengan kerja keras, dedikasi, dan kreativitas, animasi Indonesia bisa menghasilkan karya yang layak bersaing di panggung internasional, sekaligus menegaskan identitas dan nilai-nilai bangsa.
