BONA NEWS. Jakarta, Indonesia. — Korupsi tetap menjadi salah satu masalah paling serius yang dihadapi Indonesia. Meskipun pemerintah dan lembaga terkait telah melakukan berbagai upaya pemberantasan, persepsi publik terhadap praktik korupsi di sektor publik masih tergolong tinggi. Salah satu cara untuk mengukur tingkat korupsi di negara-negara di seluruh dunia adalah melalui Corruption Perceptions Index (CPI), yang diterbitkan setiap tahun oleh Transparency International. CPI menilai persepsi publik dan ahli terhadap tingkat korupsi di sektor publik, dengan skor yang berkisar antara 0 sampai 100. Skor 0 menandakan tingkat korupsi yang sangat tinggi, sedangkan skor 100 menunjukkan tingkat korupsi yang sangat rendah.
Pada tahun 2024, negara-negara seperti Singapura, Selandia Baru, dan Australia menempati posisi teratas dalam CPI, dengan skor masing-masing 84, 83, dan 77. Negara-negara ini menunjukkan tata kelola pemerintahan yang relatif bersih, transparan, dan akuntabel. Sebaliknya, negara-negara seperti Korea Utara, Myanmar, dan Afganistan berada di posisi paling rendah dengan skor antara 15 hingga 17, mencerminkan tantangan serius dalam memberantas korupsi, yang sering diperparah oleh konflik internal, kelemahan institusi, dan minimnya transparansi.
Secara keseluruhan, rata-rata skor CPI untuk kawasan Asia-Pasifik mencapai 44. Angka ini sedikit lebih tinggi dari rata-rata global yang berada di angka 43, tetapi tetap menunjukkan bahwa banyak negara di kawasan ini masih memiliki pekerjaan rumah besar dalam mengatasi korupsi. Dalam konteks tersebut, posisi Indonesia menjadi perhatian penting bagi para pengamat, karena negara ini merupakan salah satu ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan memainkan peran strategis dalam politik regional.
Posisi Indonesia di Peta Korupsi Asia
Berdasarkan CPI 2024, Indonesia memiliki skor 37 dari 100. Angka ini menempatkan Indonesia pada peringkat ke-10 di Asia dari total 22 negara. Secara global, Indonesia menempati posisi ke-99 dari 180 negara. Skor tersebut menunjukkan bahwa meskipun ada beberapa perbaikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, praktik korupsi masih menjadi persoalan serius di berbagai sektor publik, mulai dari birokrasi, kepolisian, hingga lembaga keuangan.
Dibandingkan dengan negara tetangga, posisi Indonesia relatif menengah. Singapura berada di peringkat pertama Asia dengan skor 84, disusul oleh Selandia Baru (83), Australia (77), Jepang (73), dan Malaysia (50). Di sisi lain, negara-negara seperti Thailand (34), Filipina (33), dan Myanmar (16) menunjukkan skor yang lebih rendah. Dengan skor 37, Indonesia masih berada di bawah rata-rata kawasan Asia-Pasifik, yang menunjukkan bahwa upaya pemberantasan korupsi di negara ini perlu lebih diperkuat.
Beberapa faktor utama yang mempengaruhi skor CPI Indonesia meliputi kelemahan institusi, rendahnya tingkat transparansi, dan budaya korupsi yang telah mengakar. Kelemahan institusi terlihat pada kurang efektifnya lembaga penegak hukum dalam menindak praktik korupsi, baik di tingkat pusat maupun daerah. Seringkali, aparat pemerintah yang seharusnya menjadi pengawas malah terlibat dalam praktik penyalahgunaan wewenang.
Rendahnya transparansi dalam pengelolaan anggaran dan kebijakan publik juga menjadi faktor penting. Publik sering kesulitan mengakses informasi mengenai penggunaan anggaran negara, proyek pembangunan, atau pengadaan barang dan jasa. Ketidakjelasan ini mempermudah praktik suap, pemerasan, dan penyelewengan anggaran. Budaya korupsi yang telah mengakar dalam birokrasi dan masyarakat memperburuk situasi. Beberapa kalangan melihat korupsi sebagai “bagian dari sistem” yang harus ditoleransi untuk bisa mendapatkan sesuatu, sehingga upaya pemberantasan menghadapi hambatan kultural yang sulit diatasi.
Tahun 2024 menunjukkan beberapa contoh konkret mengenai korupsi di Indonesia. Misalnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan penggeledahan di kantor Otoritas Jasa Keuangan terkait dugaan penyalahgunaan dana corporate social responsibility (CSR). Kasus semacam ini menyoroti bagaimana pengawasan terhadap lembaga publik dan sektor swasta yang bersinggungan dengan pemerintah masih lemah. Selain itu, terdapat laporan mengenai pemerasan oleh aparat kepolisian terhadap warga asing, yang menjadi bukti nyata bahwa praktik korupsi tidak hanya terjadi di tingkat administratif, tetapi juga berdampak langsung pada masyarakat.
Pemerintah Indonesia, di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, telah menunjukkan komitmen dalam upaya pemberantasan korupsi. Dalam pidato kenegaraan 2024, Presiden menekankan pentingnya transparansi, akuntabilitas, dan penegakan hukum yang tegas. Beberapa langkah yang dilakukan termasuk penghematan anggaran perjalanan dinas dan pengeluaran kantor, menindak kartel pangan, dan mengembalikan lahan kelapa sawit yang dikelola secara ilegal. Pemerintah juga mendorong penguatan lembaga antikorupsi dan penerapan teknologi untuk meningkatkan transparansi anggaran.
Namun, meskipun ada inisiatif positif, tantangan tetap besar. Reformasi kelembagaan perlu diperkuat, pengawasan internal harus ditingkatkan, dan masyarakat perlu lebih aktif dalam memantau kinerja pemerintah. Partisipasi publik menjadi salah satu kunci untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan akuntabel.
Pelajaran dari Negara Lain di Asia
Perbandingan dengan negara-negara Asia menunjukkan bahwa ada banyak pelajaran yang bisa diambil. Singapura, yang menempati posisi pertama di Asia, berhasil membangun sistem pemerintahan yang efisien, transparan, dan bebas dari praktik korupsi, berkat lembaga penegak hukum yang kuat, pengawasan ketat terhadap birokrasi, dan budaya antikorupsi yang telah tertanam. Jepang dan Korea Selatan juga menunjukkan bahwa komitmen politik yang kuat dan penegakan hukum yang konsisten mampu menekan tingkat korupsi meskipun negara memiliki birokrasi besar.
Bagi Indonesia, belajar dari pengalaman negara-negara ini berarti memperkuat institusi, meningkatkan transparansi, dan membangun budaya antikorupsi sejak dini melalui pendidikan dan kampanye publik. Tanpa upaya sistematis, peringkat CPI Indonesia sulit mengalami perbaikan signifikan.
Untuk memperbaiki skor CPI dan persepsi publik, beberapa strategi penting perlu diterapkan. Pertama, reformasi kelembagaan harus dilakukan secara menyeluruh untuk memperkuat lembaga penegak hukum dan memastikan independensi mereka. Kedua, transparansi anggaran dan pengadaan publik harus ditingkatkan, termasuk melalui teknologi digital yang memungkinkan masyarakat mengakses informasi secara mudah. Ketiga, pendidikan antikorupsi sejak dini di sekolah-sekolah dan kampanye publik secara luas dapat membantu membentuk karakter masyarakat yang menolak praktik korupsi.
Selain itu, partisipasi aktif masyarakat dalam memantau penggunaan anggaran dan kinerja aparat pemerintah juga menjadi kunci. Lembaga swadaya masyarakat, media, dan komunitas lokal dapat berperan sebagai pengawas independen yang membantu memastikan praktik pemerintahan berjalan dengan bersih dan akuntabel.
Meskipun Indonesia menunjukkan sedikit perbaikan dalam CPI 2024, tantangan pemberantasan korupsi tetap besar. Skor 37 dan peringkat ke-10 di Asia menempatkan Indonesia di posisi menengah-bawah kawasan, jauh dari standar negara-negara dengan tata kelola bersih seperti Singapura, Selandia Baru, dan Australia. Masalah ini tidak hanya berdampak pada persepsi publik, tetapi juga pada efisiensi pemerintahan, investasi, dan kesejahteraan masyarakat.
Upaya pemerintah dalam reformasi kelembagaan, penguatan lembaga antikorupsi, dan penerapan teknologi transparansi harus terus didorong. Masyarakat juga harus berperan aktif, tidak hanya sebagai penonton, tetapi sebagai pengawas dan penggerak perubahan. Dengan kerja sama antara pemerintah, lembaga penegak hukum, dan masyarakat, Indonesia memiliki peluang untuk memperbaiki skor CPI dan membangun pemerintahan yang lebih bersih, transpar
