BONA NEWS. Islamabad, Pakistan. – Apa yang awalnya dipandang sebagai langkah revolusioner menuju pertanian ramah lingkungan, kini justru memicu kecemasan baru. Di berbagai pelosok Pakistan, ribuan petani beralih menggunakan pompa air bertenaga surya untuk mengairi ladang mereka. Panel surya menjanjikan energi bersih dan murah, mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, serta memperingan beban petani kecil. Namun, keberhasilan itu membawa konsekuensi tak terduga: eksploitasi air tanah yang semakin tak terkendali.
Laporan terbaru dari Reuters pada Kamis (2/10/2025) mengungkapkan bahwa penggunaan pompa surya tanpa regulasi jelas telah mempercepat penurunan cadangan air tanah di sejumlah wilayah utama penghasil pangan Pakistan. Kondisi ini memunculkan peringatan serius dari para pakar, pejabat pemerintah, hingga organisasi internasional: Pakistan bisa menghadapi “bencana air” dalam satu dekade mendatang jika tidak segera ada langkah korektif.
Bagi banyak petani, panel surya adalah anugerah. Selama bertahun-tahun mereka terbebani harga solar yang terus naik untuk menggerakkan pompa diesel. Saat pemerintah memperkenalkan program bantuan panel surya, antusiasme langsung merebak.
“Dengan panel surya, saya tidak perlu lagi membeli diesel. Biayanya jauh lebih hemat. Tapi sekarang sumur saya semakin dalam, biaya pengeborannya yang mahal,”
kata Nasir Ahmed, seorang petani di Sindh, kepada Reuters.
Di satu sisi, petani merasa terbantu. Energi surya tersedia sepanjang hari, gratis, dan bisa dipakai tanpa batas. Namun, di sisi lain, pompa yang dulunya dijalankan secara terbatas karena biaya bahan bakar kini dibiarkan menyedot air tanpa henti.
Menurut laporan lembaga riset lingkungan, banyak petani di Punjab dan Sindh menyalakan pompa hingga lebih dari 12 jam per hari. Hasilnya, sumur-sumur cepat kering dan muka air tanah terus turun dari tahun ke tahun.
Cadangan Air Tanah Turun Drastis
Data dari Kementerian Pertanian Pakistan mencatat bahwa penurunan muka air tanah di Punjab mencapai rata-rata 1 meter per tahun dalam sepuluh tahun terakhir. Beberapa desa bahkan melaporkan penurunan hingga 1,5 meter per tahun.
Sumur yang sebelumnya bisa mencapai air pada kedalaman 30–40 meter kini harus digali hingga 70–80 meter. Biaya pengeboran sumur baru melonjak, membuat petani kecil kembali kesulitan.
“Energi surya memang membantu petani mengurangi biaya, tetapi tanpa regulasi air, ini adalah jalan cepat menuju bencana air tanah,”
jelas Shahbaz Khan, pakar hidrologi di Universitas Punjab.
Ironisnya, pemerintah Pakistan sendiri yang dulu mendorong adopsi energi surya di sektor pertanian. Program ini diluncurkan sebagai bagian dari komitmen mengurangi emisi karbon sekaligus mendukung ketahanan pangan. Namun, regulasi penggunaan air tanah nyaris tidak pernah ditegakkan.
Seorang pejabat dari Kementerian Pertanian Pakistan, yang dikutip Reuters, mengakui dilema tersebut:
“Kami tidak menentang pemanfaatan energi terbarukan, tapi tanpa batasan pengambilan air, petani akan terus memompa tanpa henti. Ini ancaman serius bagi ketahanan pangan.”
Pemerintah kini tengah menggodok aturan baru untuk membatasi jumlah air tanah yang boleh diambil setiap musim tanam. Namun, pengawasan di lapangan menjadi tantangan besar mengingat luasnya lahan pertanian dan keterbatasan sumber daya pemerintah daerah.
Pakistan adalah salah satu produsen gandum dan beras terbesar di Asia Selatan. Jutaan orang menggantungkan hidup pada hasil panen tersebut, baik sebagai konsumen maupun produsen.
Bank Dunia dan FAO (Food and Agriculture Organization) telah memperingatkan bahwa krisis air tanah dapat memicu gagal panen dalam skala besar. Hal ini akan berdampak langsung pada stabilitas harga pangan, lapangan kerja, hingga ekspor.
Seorang peneliti lingkungan di Karachi menyebut kondisi ini sebagai “bom waktu”:
“Energi hijau memang penting, tapi air tanah kita bukan sumber daya tak terbatas. Jika terus dieksploitasi tanpa aturan, Pakistan bisa menghadapi kelaparan.”
Di tingkat akar rumput, para petani sebenarnya menyadari perubahan yang terjadi. Mereka merasakan sendiri sumur semakin dalam, air makin sulit didapat, dan biaya pengeboran sumur baru tidak murah.
Namun, banyak dari mereka tidak punya pilihan lain. Panel surya sudah terlanjur menjadi bagian penting dari operasional pertanian.
“Kalau pompa tidak dinyalakan lama, tanaman saya bisa mati. Jadi meski tahu air makin susah, kami tetap harus menyedot,”
ujar Rashid Khan, petani gandum dari Punjab.
Pakistan dan Bayangan Krisis Global
Pakistan bukan satu-satunya negara yang menghadapi paradoks energi bersih dan krisis air. India, Mesir, dan beberapa negara di Afrika juga melaporkan masalah serupa: pompa surya meningkatkan produktivitas jangka pendek, tapi menekan cadangan air tanah jangka panjang.
Organisasi lingkungan internasional menilai, kasus Pakistan adalah alarm peringatan bagi negara-negara lain yang sedang gencar mendorong pertanian bertenaga surya, termasuk Indonesia.
Indonesia saat ini juga mulai mengembangkan program pompa air tenaga surya di sejumlah daerah kering, seperti Nusa Tenggara dan Jawa Timur. Meski belum sebesar Pakistan, ada risiko yang sama jika regulasi air tanah tidak dirancang sejak awal.
“Penggunaan energi surya harus diimbangi dengan tata kelola air yang ketat. Jangan sampai kita hanya memindahkan masalah dari emisi karbon ke krisis air,”
ujar seorang peneliti sumber daya air di Universitas Gadjah Mada.
Para ahli menawarkan beberapa solusi agar Pakistan tidak jatuh ke jurang krisis:
- Penerapan sensor pintar untuk membatasi jam operasi pompa surya.
- Pengaturan irigasi modern, termasuk sistem tetes yang lebih hemat air.
- Aturan tegas pemerintah tentang jumlah air tanah yang boleh dipompa.
- Kampanye kesadaran petani agar memahami dampak jangka panjang.
Pakistan kini berada di persimpangan jalan: apakah tetap melaju dengan pertanian surya yang tidak terkendali, atau mulai menata ulang agar energi hijau benar-benar sejalan dengan keberlanjutan lingkungan.
Yang jelas, peringatan sudah datang dari berbagai pihak. Jika tidak segera diatasi, ancaman bencana air tanah bisa berubah menjadi krisis pangan nasional – bukan hanya untuk Pakistan, tapi juga dunia yang bergantung pada hasil panen dari negeri tersebut.
