BONA NEWS. Medan, Sumatera Utara.  – Polemik razia kendaraan berpelat Provinsi Aceh (BL) di Provinsi Sumatera Utara (Sumut) menjadi isu hangat beberapa pekan terakhir. Peristiwa ini menimbulkan pro dan kontra, terutama karena dianggap sebagai bentuk diskriminasi terhadap identitas Aceh. Namun, jika ditelusuri lebih dalam, polemik ini sebenarnya berakar pada persoalan pajak kendaraan dan distribusi ekonomi antarprovinsi. Plat nomor kendaraan bermotor di Indonesia diatur secara nasional oleh Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Setiap provinsi memiliki kode wilayah tertentu. Aceh mendapat kode BL, sedangkan Sumatera Utara menggunakan BK untuk Medan dan sekitarnya, serta BB untuk Tapanuli. Secara hukum, semua plat nomor tersebut sah dan memiliki kedudukan yang sama. Kendaraan dengan plat Aceh dapat beroperasi di seluruh Indonesia tanpa hambatan legal.

Namun, masalah muncul ketika banyak kendaraan asal Aceh, khususnya truk dan mobil niaga, beroperasi penuh di wilayah Sumut. Mereka beraktivitas mencari nafkah, mengangkut barang, bahkan membuka usaha tetap di Medan dan sekitarnya. Akan tetapi, pajak kendaraannya tetap dibayarkan di Aceh. Kondisi ini dianggap merugikan Sumut karena potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari pajak kendaraan bermotor justru mengalir ke provinsi tetangga.

Kronologi Polemik & Pernyataan Narasumber

  1. Bobby Nasution – Gubernur Sumatera Utara (Sabtu, 28 September 2025)
    Awal polemik terjadi ketika sebuah video menampilkan Gubernur Sumut, Bobby Nasution, menghentikan truk berpelat BL di Kabupaten Langkat. Dalam video itu, Bobby meminta agar kendaraan yang beroperasi di Sumut mengganti pelatnya menjadi BK atau BB. Pernyataan ini memicu kegaduhan karena dipahami sebagian masyarakat Aceh sebagai bentuk pelarangan pelat BL masuk ke Sumut.

    “Kalau bapak cari makan di sini, pajaknya juga di sini. Kalau tidak, ya ganti pelatnya jadi BK atau BB,” ujar Bobby. (Detik.com, 28/9/2025)

  2. Erwin Harahap – Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Sumut (Senin, 30 September 2025)
    Menyusul viralnya video tersebut, Pemprov Sumut melalui Erwin Harahap menyampaikan klarifikasi dan permohonan maaf. Ia menegaskan tidak ada kebijakan resmi yang melarang kendaraan berpelat BL melintas di Sumut.

    “Kami luruskan, tidak ada razia khusus pelat BL. Yang dilakukan hanya sosialisasi soal kewajiban pajak kendaraan bermotor sesuai domisili operasional,” jelas Erwin. (Waspada.id, 30/9/2025)

  3. Muzakir Manaf (Mualem) – Gubernur Aceh (Rabu, 1 Oktober 2025)
    Pernyataan Bobby ditanggapi beragam di Aceh. Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, meminta masyarakat tetap tenang dan tidak terprovokasi.

    “Kita tetap sabar. Jangan sampai persoalan kecil ini membesar jadi konflik. Kalau sudah gatal, kita garuk, tapi kita sabar dulu,” ujar Mualem. (AJNN.net, 1/10/2025)

  4. Irmawan – Anggota DPR RI asal Aceh, Fraksi PKB (Selasa, 30 September 2025)
    Irmawan meminta pemerintah pusat turun tangan. Menurutnya, plat BL adalah identitas resmi Aceh dan pengaturannya berada di bawah kewenangan nasional.

    “Jangan sampai ada kebijakan daerah yang mengesankan diskriminasi. Plat BL itu sah secara nasional. Ini ranah Polri, bukan ranah gubernur,” katanya. (Acehnews.id, 30/9/2025)

  5. Fuadri – Anggota DPR Aceh (Selasa, 30 September 2025)
    Fuadri menilai pernyataan Bobby tidak tepat dan meminta klarifikasi resmi.

    “Pernyataan Gubernur Sumut sangat disayangkan. Kita minta ada klarifikasi jelas supaya tidak terjadi kesalahpahaman di masyarakat,” katanya. (AJNN.net, 30/9/2025)

  6. Sudirman alias Haji Uma – Senator (DPD RI) asal Aceh (Senin, 29 September 2025)
    Haji Uma mengingatkan agar kebijakan ini tidak menimbulkan sentimen Aceh–Sumut.

    “Jangan sampai hal seperti ini memicu perpecahan. Hubungan Aceh dan Sumut sudah sangat erat, jangan dirusak hanya karena persoalan administratif,” ujarnya. (Detik.com, 29/9/2025)

Pantauan di Medan dan sekitarnya memperlihatkan bahwa memang ada banyak kendaraan pelat BL yang beroperasi secara penuh di Sumut. Truk-truk pengangkut barang dari Aceh bahkan menjadikan Medan sebagai basis distribusi utama ke berbagai daerah. Namun, mayoritas kendaraan itu tetap membayar pajak di Aceh.

Bagi Pemprov Sumut, kondisi ini tidak adil. Mereka menanggung beban infrastruktur jalan yang digunakan kendaraan tersebut, tetapi tidak memperoleh kontribusi pajak. Inilah yang menjadi latar belakang munculnya teguran dari Gubernur Sumut.

Kesalahpahaman di Masyarakat Aceh

Bagi sebagian masyarakat Aceh, razia pelat BL dipahami sebagai pelarangan total kendaraan Aceh masuk ke Sumut. Padahal faktanya, tidak ada peraturan seperti itu. Kesalahpahaman ini diperparah oleh viralnya video yang tidak dilengkapi konteks penuh.

Beberapa sopir truk mengaku khawatir dan merasa diperlakukan diskriminatif. Namun, mereka juga mengakui belum pernah ada pernyataan resmi bahwa plat BL dilarang melintas.

“Kami sebenarnya takut saja kalau nanti dilarang bawa barang. Padahal tiap hari kami antar kebutuhan ke Medan,” ujar Bengel, seorang sopir truk asal Aceh Besar.

Jika tidak segera diredam, polemik ini bisa berdampak pada hubungan dagang Aceh–Sumut. Setiap hari, ratusan truk dari Aceh membawa hasil bumi, ikan, dan barang industri ke Medan. Jika distribusi terganggu, harga barang bisa naik dan mengganggu kestabilan pasokan.

Asosiasi pengusaha logistik di Sumut juga menyampaikan agar isu ini segera ditangani. Mereka meminta kepastian hukum supaya distribusi barang tidak terhambat.

“Kami minta kepastian aturan. Jangan sampai pengusaha bingung harus bayar pajak di mana. Kalau sistemnya jelas, kami ikut. Jangan sampai distribusi barang terganggu,” ujar salah seorang pengurus asosiasi.

Meski menimbulkan kegaduhan, polemik ini juga membawa sisi positif:

  1. Mendorong Dialog Antarprovinsi – Pemerintah Aceh dan Sumut kini terdorong untuk duduk bersama mencari solusi soal pajak kendaraan lintas daerah.
  2. Evaluasi Sistem Pajak Nasional – Kasus ini membuka ruang bagi pemerintah pusat untuk mengevaluasi mekanisme pembayaran pajak kendaraan antarprovinsi agar lebih adil.
  3. Kesadaran Identitas Daerah – Reaksi Aceh menunjukkan pentingnya menjaga identitas daerah, sekaligus memperkuat komitmen nasional untuk menghargai keberagaman.
  4. Transparansi Pemerintah – Permintaan maaf dari Pemprov Sumut menunjukkan adanya sikap akuntabilitas terhadap kebijakan yang keliru.
  5. Peluang Perbaikan Distribusi – Kritik dari pengusaha dapat menjadi momentum memperbaiki sistem distribusi barang antarprovinsi.

Polemik razia pelat BL di Sumut memperlihatkan betapa sensitifnya isu identitas dan keadilan ekonomi antarprovinsi. Dari sisi masyarakat Aceh, pernyataan Gubernur Sumut dipahami sebagai diskriminasi. Namun dari sisi Pemprov Sumut, persoalannya murni soal pajak kendaraan dan kontribusi PAD.

Agar tidak berlarut-larut, pemerintah pusat perlu hadir memberi penjelasan dan merumuskan mekanisme yang adil. Dengan demikian, distribusi barang antarprovinsi tetap lancar, hubungan Aceh–Sumut terjaga harmonis, dan keadilan fiskal dapat ditegakkan.