BONA NEWS. Sidoarjo, Jawa Timur. — Tragedi runtuhnya bangunan di kompleks Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny, Kecamatan Buduran, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, menjadi salah satu musibah paling memilukan yang terjadi di dunia pendidikan Islam Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Musibah itu terjadi pada Senin, 29 September 2025, sekitar pukul 15.35 WIB, tepat ketika ratusan santri sedang melaksanakan salat Ashar berjamaah di musala ponpes.
Hingga Jumat (3/10/2025), tim pencarian dan pertolongan (SAR) gabungan telah menemukan tiga jenazah santri yang menjadi korban. Lebih dari seratus orang berhasil dievakuasi dalam kondisi hidup, meski sebagian besar mengalami luka. Sementara puluhan lainnya masih dilaporkan hilang dan diduga tertimbun reruntuhan.
Di balik duka yang menyelimuti keluarga korban, para santri, dan masyarakat luas, muncul berbagai tanda tanya besar. Mengapa bangunan itu bisa runtuh? Bagaimana bisa sebuah musala yang setiap hari dipakai ratusan santri ambruk dalam sekejap? Apakah ada kelalaian dalam proses pembangunan? Artikel ini mencoba mengurai kronologi, fakta-fakta, serta dampak sosial dari tragedi tersebut, lengkap dengan kesaksian sejumlah narasumber.
Kronologi Runtuhnya Bangunan
Menurut kesaksian sejumlah santri, musala berlantai empat itu digunakan untuk salat Ashar berjamaah. Diperkirakan sekitar 140 santri berada di dalam ruangan saat kejadian. Suasana semula berjalan normal, hingga beberapa orang merasakan getaran kecil di lantai. Tidak lama kemudian, terdengar suara retakan keras di bagian struktur atas.
Hanya dalam hitungan detik, atap dan lantai musala runtuh secara beruntun. Peristiwa ini dikenal sebagai pancake collapse, di mana lantai demi lantai ambruk dan menumpuk ke bawah. Suara teriakan santri bercampur dengan debu pekat menyelimuti area sekitar.
Sebagian santri berhasil menyelamatkan diri keluar dari pintu samping, namun puluhan lainnya tertimbun. Santri yang selamat menyebutkan kondisi begitu cepat hingga tak sempat menyadari apa yang terjadi.
“Awalnya kami sedang salat Ashar berjamaah. Tiba-tiba lantainya bergetar, lalu terdengar suara keras seperti retakan. Dalam hitungan detik, atap dan lantai runtuh. Saya hanya bisa lari ke pintu samping. Banyak teman saya tidak sempat keluar.”
— Ahmad Fauzi (15 tahun), santri selamat, Senin 29 September 2025.
Tak lama setelah kejadian, aparat kepolisian, TNI, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), hingga relawan dan warga sekitar berbondong-bondong menuju lokasi. Proses evakuasi berlangsung dramatis karena reruntuhan beton sangat berat.
Tim SAR menggunakan peralatan manual seperti linggis dan pemotong besi pada hari pertama. Pada hari kedua dan ketiga, peralatan berat mulai didatangkan, meski penggunaannya terbatas karena dikhawatirkan meruntuhkan sisa bangunan dan membahayakan korban yang mungkin masih hidup.
Dalam 72 jam pertama, tim SAR berhasil menyelamatkan lebih dari 100 orang santri, sebagian dalam kondisi luka parah. Namun, setelah tiga hari berlalu, harapan menemukan korban hidup semakin tipis. Tim beralih fokus dari operasi penyelamatan ke evakuasi jenazah.
“Kondisi reruntuhan cukup berat, struktur beton bertumpuk sehingga menyulitkan proses evakuasi. Kami menggunakan kombinasi peralatan manual dan alat berat. Prioritas kami tetap menemukan korban, hidup maupun meninggal.”
— Supriyanto, Komandan SAR Sidoarjo, Rabu 1 Oktober 2025
Hingga Jumat, tiga jenazah santri ditemukan, sementara puluhan lainnya masih dinyatakan hilang.
Sejumlah fakta terungkap dari hasil penyelidikan awal:
- Bangunan tanpa izin resmi
Musala yang runtuh ternyata tidak memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB). - Penambahan lantai tanpa perhitungan matang
Bangunan awalnya direncanakan hanya dua lantai. Namun, kemudian ditambah menjadi empat lantai tanpa perencanaan teknis yang memadai. - Ada tanda-tanda sebelum runtuh
Sejumlah santri mengaku pernah merasakan musala bergetar, terutama ketika dipenuhi jamaah. - Jumlah korban besar
Sekitar 140 santri berada di lokasi saat kejadian. Sebanyak 102 berhasil dievakuasi hidup-hidup, tiga meninggal dunia, dan lebih dari 30 masih hilang. - Dugaan kelalaian kontraktor
Polisi mulai menyelidiki pihak kontraktor pembangunan.
Di Desa Buduran, duka begitu terasa. Ratusan orang memadati area ponpes setiap hari, baik untuk menunggu kabar keluarga, membantu logistik, maupun sekadar memberikan doa. Tangis pecah setiap kali jenazah berhasil dievakuasi dari reruntuhan.
“Anak saya baru sebulan mondok di Al Khoziny. Saya tak menyangka musala tempat anak-anak belajar agama bisa runtuh seperti ini. Saya hanya ingin melihat wajahnya terakhir kali.”
— Siti Aminah, orang tua korban hilang, Selasa 30 September 2025.
Pemerintah Kabupaten Sidoarjo mengaku kecolongan atas berdirinya bangunan tanpa izin tersebut.
“Kami sangat berduka. Pemerintah daerah akan memperketat pengawasan pembangunan di lingkungan pesantren. Fakta bahwa bangunan ini tidak berizin akan menjadi evaluasi besar agar hal serupa tidak terulang.”
— Ahmad Muhdlor Ali, Bupati Sidoarjo, Rabu 1 Oktober 2025
Kementerian Agama juga menyampaikan belasungkawa sekaligus janji untuk melakukan evaluasi menyeluruh.
“Pesantren adalah lembaga pendidikan penting, keselamatan santri harus jadi prioritas. Kami akan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap standar sarana prasarana di pesantren seluruh Indonesia.”
— Yaqut Cholil Qoumas, Menteri Agama RI, Kamis 2 Oktober 2025
Kepolisian Resor Sidoarjo sudah memanggil sejumlah pihak terkait.
“Kami sudah memeriksa pihak kontraktor dan pengurus pondok. Ada dugaan kelalaian dalam pembangunan. Jika terbukti ada unsur pidana, tentu akan diproses hukum.”
— AKBP Rio Indah, Kapolres Sidoarjo, Kamis 2 Oktober 2025
Reaksi Masyarakat dan Dunia Maya
Tragedi ini memicu simpati luas dari masyarakat. Tagar #PrayForSidoarjo dan #PonpesAlKhoziny sempat menjadi trending topic. Lembaga kemanusiaan juga membuka donasi serta mengirimkan relawan.
Pakar konstruksi menyebut ada tiga faktor utama penyebab bangunan runtuh: desain struktur yang lemah, material di bawah standar, dan kurangnya pengawasan teknis.
“Dari analisis awal, runtuhnya musala Ponpes Al Khoziny menyerupai pola pancake collapse. Fondasi awal tidak didesain untuk empat lantai, sehingga penambahan beban tanpa perkuatan struktur sangat berisiko. Ini murni masalah teknis dan pengawasan.”
— Prof. Ir. Budi Santosa, M.Eng., Ph.D., pakar konstruksi ITS, Jumat 3 Oktober 2025.
Tragedi ini menimbulkan trauma mendalam bagi masyarakat sekitar, khususnya para santri dan keluarga korban. Banyak orang tua menjemput anaknya untuk sementara waktu karena khawatir.
Tragedi runtuhnya bangunan Pondok Pesantren Al Khoziny Sidoarjo adalah duka mendalam bagi bangsa. Keselamatan santri harus menjadi prioritas utama. Pembangunan sarana pendidikan tidak boleh dilakukan sembarangan tanpa izin dan standar teknis yang benar.
Peristiwa ini menjadi pengingat keras bahwa kelalaian sekecil apa pun bisa berujung bencana besar. Semoga para korban mendapat tempat terbaik di sisi Allah, dan tragedi serupa tidak terulang kembali.