BONA NEWS. Medan, Sumatera Utara.  – Langit malam di belahan Bumi selatan kembali mendapat tamu kosmik istimewa. Sebuah komet baru bernama C/2025 R2 (SWAN) baru saja ditemukan dan kini dapat diamati dari Bumi. Komet ini mendapat julukan “komet hijau” karena cahaya kehijauan yang khas, dan diperkirakan bisa terlihat sepanjang Oktober 2025, terutama dari wilayah selatan ekuator, termasuk sebagian besar Indonesia.

Dilansir dari Minor Planet Center (MPC), komet ini pertama kali terdeteksi pertengahan September 2025 melalui instrumen Solar Wind ANisotropies (SWAN) yang terdapat pada satelit SOHO (Solar and Heliospheric Observatory) — proyek gabungan NASA dan European Space Agency (ESA).

Penemuan C/2025 R2 (SWAN)

Komet baru ini menambah daftar panjang penemuan oleh instrumen SWAN. Dikutip dari laporan NASA, instrumen tersebut sebenarnya dirancang untuk mengamati interaksi angin Matahari dengan hidrogen di tata surya. Namun, karena sensitif terhadap emisi hidrogen, SWAN sering menjadi “mata pertama” yang menemukan komet baru.

Dr. Karl Battams dari Naval Research Laboratory (NRL), AS, yang sudah lama meneliti komet SOHO, menjelaskan:

“SWAN beberapa kali berhasil menemukan komet terang. C/2025 R2 adalah salah satu penemuan menjanjikan tahun ini. Menurut prediksi, masyarakat bisa melihat cahaya hijau khasnya jika kondisi langit cerah.”

Fenomena warna hijau komet ini bukan kebetulan. Dikutip dari European Southern Observatory (ESO), atmosfer tipis atau coma komet kaya akan molekul karbon diatomik (C₂) yang memancarkan cahaya hijau ketika terkena radiasi ultraviolet Matahari.

Peneliti BRIN, Dr. Emanuel Sungging Mumpuni, turut menegaskan:

“Warna hijau komet berasal dari gas diatomik karbon. Cahaya ini muncul dari bagian coma, bukan dari ekornya. Itu sebabnya kita sering melihat komet seakan bercahaya hijau saat mendekati Matahari.”

Dikutip dari TheSkyLive, komet C/2025 R2 (SWAN) saat ini berada di rasi Libra, dengan ketinggian sekitar 20° di atas ufuk barat-selatan pada waktu senja. Magnitudo komet sekitar +6,2, artinya pengamatan dengan mata telanjang cukup sulit di perkotaan, tetapi bisa dicapai menggunakan binokuler atau teleskop kecil.

Tips mengamati komet, menurut astronom amatir:

  • Waktu terbaik: 18.30–19.30 waktu setempat, segera setelah matahari terbenam.
  • Arah: barat-selatan (azimuth ~197°).
  • Gunakan lokasi dengan ufuk terbuka dan minim polusi cahaya.

Astronom amatir dari Yogyakarta, Mochamad Ridwan, anggota Himpunan Astronomi Amatir Jakarta (HAAJ), mengungkapkan pengalamannya:

“Kemarin saya menangkap komet ini dengan teleskop 80mm. Ekornya tipis tapi cahaya hijaunya sangat nyata. Pengalaman langka seperti ini jarang terjadi.”

Fenomena Langka

Dalam satu dekade terakhir, hanya segelintir komet yang cukup terang untuk dinikmati publik. Dilansir dari arsip MPC, komet populer terakhir yang terlihat jelas dari Indonesia adalah C/2020 F3 (NEOWISE) pada 2020 dan C/2021 A1 (Leonard) pada 2021.

Menurut Prof. Thomas Prince dari Caltech, Pasadena, komet membawa nilai sains yang besar:

“Komet adalah fosil hidup tata surya. Dengan mempelajari komposisinya, kita bisa memahami proses pembentukan planet di masa awal.”

Fenomena ini juga disambut antusias oleh komunitas astronom amatir Indonesia. Dilansir dari akun resmi Planetarium Jakarta, pihaknya menyiapkan program khusus “Malam Komet SWAN” pada pertengahan Oktober 2025 dengan menyediakan teleskop untuk publik.

Kepala Planetarium Jakarta, Gusti Anwar, mengatakan:

“Fenomena ini sangat edukatif. Komet berbeda dari planet atau bintang, sehingga bisa menarik minat pelajar dan masyarakat umum untuk lebih mengenal astronomi.”

Di media sosial, dikutip dari X (Twitter), tagar #KometSWAN mulai trending. Astrofotografer membagikan foto cahaya kehijauan komet dari lokasi berbeda, dari Kupang hingga Bali.

Komet ini juga menjadi objek penelitian internasional. Dilansir dari ESO, teleskop di Chili dan Australia sudah mulai mengumpulkan data spektroskopi C/2025 R2 untuk mengukur kandungan gas dan debu.

Laporan awal menyebutkan adanya dominasi gas karbon diatomik dan sianogen (CN), senyawa umum pada komet. Analisis lebih dalam akan membantu memahami evolusi komet serta interaksinya dengan radiasi Matahari.

Walau aman diamati, pakar mengingatkan bahaya jika salah waktu pengamatan. Menurut Dr. Rhorom Priyatikanto dari BRIN, jangan pernah menatap langsung ke arah Matahari hanya karena ingin mencari komet. Gunakan aplikasi astronomi seperti Stellarium untuk memastikan arah yang tepat.

“Komet SWAN sama sekali tidak berbahaya. Tidak ada risiko menabrak Bumi. Sebaliknya, ini momen emas untuk edukasi publik,” ujarnya.

Komet hijau C/2025 R2 (SWAN) menjadi hadiah langit yang langka. Dilansir dari NASA, perihelion komet akan terjadi pada akhir Oktober 2025, sehingga beberapa pekan ke depan merupakan kesempatan terbaik menyaksikannya.

Bagi masyarakat, fenomena ini bisa menjadi pengalaman langka sekaligus pengingat akan luasnya alam semesta. Dengan sedikit usaha—mencari lokasi gelap, membawa binokuler, dan menengadah ke langit—cahaya hijau komet bisa menjadi kenangan kosmik yang tak terlupakan.

Seperti diungkap Dr. Karl Battams:

“Setiap komet membawa cerita miliaran tahun. Menatapnya, kita seakan melihat kembali sejarah tata surya.”