BONA NEWS. Jakarta, Indonesia. — Pemerintah Indonesia sedang menyiapkan kebijakan baru dalam pemanfaatan energi terbarukan melalui penerapan mandatori biodiesel B50 pada tahun 2026. Program ini merupakan kelanjutan dari kebijakan biodiesel sebelumnya, seperti B20, B30, dan B40, dengan tujuan utama mengurangi ketergantungan terhadap impor solar (gasoil) sekaligus memperkuat kemandirian energi nasional.

Indonesia adalah salah satu negara pertama di dunia yang menerapkan kebijakan pencampuran bahan bakar nabati dengan solar secara nasional. Setelah sukses dengan B30 dan B40, pemerintah kini menargetkan implementasi B50, yaitu campuran 50 persen biodiesel (berasal dari minyak sawit atau FAME) dengan 50 persen solar fosil.

Program ini diharapkan menjadi tonggak penting menuju transisi energi bersih, sekaligus memperkecil ketergantungan pada impor bahan bakar fosil yang selama ini membebani neraca perdagangan. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), program biodiesel sejak 2020 hingga 2025 telah menghemat devisa negara hingga lebih dari USD 40 miliar.

Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menegaskan bahwa penerapan B50 adalah keputusan strategis untuk memperkuat kemandirian energi nasional.

“Atas arahan Bapak Presiden, sudah diputuskan bahwa pada tahun 2026, insya Allah kita akan dorong ke B50. Dengan begitu, Indonesia tidak lagi melakukan impor solar,” kata Bahlil dalam sambutannya di Investor Daily Summit 2025 di Jakarta, Kamis, 9 Oktober 2025.

Ia menambahkan bahwa kebijakan ini tidak hanya soal energi, tetapi juga soal kedaulatan ekonomi nasional.

“Kita ingin Indonesia berdiri di atas kaki sendiri dalam urusan energi. Kita punya bahan baku, kita punya teknologi, dan kita punya industri yang mampu memproduksi biodiesel dalam skala besar,” ujarnya.

Pemerintah telah menuntaskan uji laboratorium terhadap campuran biodiesel B50 pada Agustus 2025. Hasil awal menunjukkan bahwa bahan bakar campuran 50 persen biodiesel dapat berfungsi dengan baik pada sejumlah mesin diesel modern. Namun, tahap selanjutnya adalah uji jalan (road test) di berbagai jenis kendaraan dan mesin, seperti truk, kapal, kereta api, serta alat berat di sektor pertambangan dan perkebunan.

Menurut Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Eniya Listiani Dewi, uji jalan akan menjadi penentu keberhasilan kebijakan ini.

“Uji laboratorium sudah selesai. Sekarang kami masuk ke tahap uji dinamis atau uji jalan. Kami akan memastikan performa B50 di berbagai sektor berjalan optimal sebelum diterapkan secara nasional,” ujarnya di Jakarta, Senin, 6 Oktober 2025.

Eniya menyebut, proses uji jalan ini akan memakan waktu antara enam hingga delapan bulan. Dengan demikian, penerapan B50 kemungkinan besar baru bisa dilakukan pada semester kedua tahun 2026, bukan sejak awal tahun.

“Kami ingin memastikan kesiapan teknis sepenuhnya, karena mesin-mesin di sektor transportasi dan industri memiliki karakteristik berbeda,” jelasnya.

Sementara itu, Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI) menyatakan dukungan penuh terhadap kebijakan ini. Sekretaris Jenderal APROBI Ernest Gunawan mengatakan bahwa industri biodiesel nasional siap meningkatkan kapasitas produksi untuk memenuhi kebutuhan B50.

“Kapasitas terpasang kami saat ini sekitar 19,6 juta kiloliter dengan tingkat utilisasi 85 persen. Untuk memenuhi B50, diperlukan tambahan sekitar 4 juta kiloliter, dan kami siap melakukan ekspansi kapasitas itu,” kata Ernest di Jakarta, Selasa, 7 Oktober 2025.

Penerapan B50 akan meningkatkan kebutuhan biodiesel secara signifikan. Dari sekitar 15,6 juta kiloliter kebutuhan FAME (Fatty Acid Methyl Ester) pada program B40, diperkirakan kebutuhan akan naik menjadi 19 hingga 20 juta kiloliter pada tahap B50 tahun depan.

Kementerian ESDM memperkirakan bahwa pengurangan impor solar melalui B50 akan menekan impor bahan bakar hingga 4,9 juta kiloliter per tahun, yang setara dengan penghematan devisa mencapai USD 10,8 miliar setiap tahun. Selain itu, kebijakan ini diyakini dapat menyerap jutaan tenaga kerja di sektor hulu dan hilir industri sawit.

“Program biodiesel bukan hanya soal energi, tetapi juga membuka lapangan kerja baru di sektor pertanian, industri pengolahan, dan distribusi. Dari kebijakan ini, potensi serapan tenaga kerja bisa mencapai lebih dari dua juta orang di sektor perkebunan sawit,” ujar Bahlil Lahadalia.

Dari sisi bahan baku, Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia dinilai memiliki pasokan cukup untuk menopang program ini. Pemerintah juga tengah menyiapkan kebijakan untuk memastikan ketersediaan CPO (Crude Palm Oil) di dalam negeri, baik melalui intensifikasi lahan maupun penyesuaian ekspor.

“Kita tidak akan kekurangan bahan baku. Indonesia memiliki kapasitas sawit yang cukup besar. Namun, kita akan atur agar ekspor dan kebutuhan domestik tetap seimbang,” kata Bahlil.

Ia menambahkan bahwa langkah ini juga sejalan dengan kebijakan hilirisasi yang tengah digenjot pemerintah untuk meningkatkan nilai tambah produk kelapa sawit.

Meski penuh optimisme, sejumlah tantangan masih mengadang. Salah satu yang utama adalah kesiapan infrastruktur dan kapasitas produksi biodiesel nasional. Saat ini, kapasitas produksi biodiesel memang cukup besar, namun belum semua pabrik beroperasi penuh karena kendala logistik dan distribusi bahan baku.

APROBI menilai perlu adanya insentif dan kemudahan investasi bagi pabrikan untuk meningkatkan kapasitas serta memperluas jaringan distribusi.

“Pemerintah perlu memastikan kepastian pasokan CPO dan dukungan infrastruktur agar transisi ke B50 berjalan lancar,” ujar Ernest Gunawan.

Selain itu, beberapa pengamat energi menilai, aspek teknis dan performa mesin juga harus diperhatikan secara cermat. Campuran biodiesel yang lebih tinggi bisa memengaruhi sistem pembakaran dan performa mesin tertentu jika tidak diadaptasi dengan baik. Oleh karena itu, uji jalan yang menyeluruh dianggap penting untuk memastikan kompatibilitas bahan bakar B50 di seluruh jenis mesin diesel yang beroperasi di Indonesia.

Dari sisi lingkungan, sebagian kalangan juga mengingatkan agar kebijakan ini tidak berujung pada ekspansi lahan sawit yang berlebihan. Pemerintah menyatakan akan memastikan produksi bahan baku biodiesel berasal dari sumber berkelanjutan dan tidak membuka hutan baru.

“Kita pastikan bahwa produksi biodiesel berasal dari perkebunan yang sudah ada. Tidak ada pembukaan hutan baru. Prinsip keberlanjutan menjadi pegangan utama,” kata Eniya Listiani Dewi.

Kebijakan B50 berpotensi mengubah peta perdagangan energi Indonesia. Dengan pengurangan impor solar, tekanan terhadap neraca transaksi berjalan akan berkurang, sementara posisi Indonesia sebagai eksportir CPO bisa bergeser karena sebagian pasokan dialihkan untuk kebutuhan domestik.

Sejumlah ekonom memperkirakan, penerapan B50 bisa memperkuat nilai tukar rupiah karena mengurangi permintaan dolar AS untuk impor bahan bakar. Selain itu, peningkatan penggunaan biodiesel juga bisa memperbesar kontribusi sektor energi terbarukan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Namun, pengalihan sebagian besar CPO untuk biodiesel juga dapat memengaruhi ekspor dan harga sawit di pasar global. Pemerintah menyatakan akan menyeimbangkan kebijakan agar kebutuhan dalam negeri terpenuhi tanpa mengorbankan ekspor.

“Biodiesel adalah bentuk hilirisasi yang konkret. Kalau dulu kita ekspor bahan mentah, sekarang kita olah menjadi energi yang bernilai tambah tinggi. Tapi kita juga tidak ingin mengganggu pasar ekspor. Harus seimbang,” kata Bahlil Lahadalia.

Uji Jalan sebagai Kunci Keberhasilan

Kementerian ESDM menegaskan bahwa hasil uji jalan nasional akan menjadi dasar keputusan akhir penerapan B50. Pemerintah tidak ingin tergesa-gesa menerapkan kebijakan tanpa memastikan kesiapan teknis dan infrastruktur.

Eniya Listiani Dewi mengatakan bahwa tim pengujian sudah menyiapkan berbagai skenario, termasuk uji performa kendaraan, konsumsi bahan bakar, emisi, hingga dampak jangka panjang pada mesin.

“Kami bekerja sama dengan berbagai institusi, termasuk PT Pertamina dan lembaga riset otomotif, untuk memastikan B50 aman dan efisien,” ujarnya.

Hasil uji jalan ini nantinya akan dilaporkan secara resmi kepada Menteri ESDM pada paruh pertama 2026. Jika hasilnya positif, kebijakan B50 akan diterapkan secara bertahap pada semester II tahun yang sama.

Pemerintah optimistis bahwa penerapan B50 akan menjadi tonggak sejarah baru dalam transisi energi nasional. Dengan langkah ini, Indonesia diharapkan mampu mengurangi emisi karbon dari sektor transportasi sekaligus memperkuat ekonomi berbasis sumber daya alam dalam negeri.

“Indonesia harus menjadi contoh bagi negara lain bahwa transisi energi bisa dilakukan dengan mengandalkan kekuatan domestik,” ujar Bahlil Lahadalia.

Ia juga menekankan bahwa keberhasilan B50 akan membuka jalan bagi program lanjutan, seperti B60 dan bahkan B100, di masa depan. “B50 bukan tujuan akhir. Ini adalah jembatan menuju energi bersih berbasis sumber daya lokal,” kata Bahlil.

Rencana penerapan mandatori B50 pada 2026 menjadi langkah ambisius pemerintah untuk menghentikan impor solar dan memperkuat kemandirian energi nasional. Kebijakan ini diharapkan mampu memberikan dampak positif bagi perekonomian, lingkungan, serta ketahanan energi jangka panjang.

Meski tantangan masih banyak — mulai dari kesiapan teknis, kapasitas industri, hingga isu pasokan bahan baku — pemerintah menunjukkan komitmen kuat untuk menjadikan B50 sebagai simbol kemandirian energi Indonesia.

Dengan sinergi antara pemerintah, industri, dan masyarakat, B50 bisa menjadi salah satu tonggak penting dalam perjalanan Indonesia menuju masa depan energi yang berkelanjutan, efisien, dan berdaulat.