BONA NEWS. Medan, Sumatera Utara. +-+ Pertarungan diplomatik baru antara Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE) meletus di arena Organisasi Maritim Internasional (IMO) — lembaga di bawah PBB yang mengatur pelayaran global.

Isu yang memicu benturan kali ini: rencana penerapan sistem harga karbon global untuk kapal besar yang beroperasi lintas negara.

Proposal ini, yang disebut Net-Zero Framework (NZF), menjadi perdebatan utama dalam sidang luar biasa Komite Perlindungan Lingkungan Laut (MEPC) yang digelar 14–17 Oktober 2025 di London.
Kerangka ini bertujuan menekan emisi gas rumah kaca (GRK) dari industri pelayaran internasional — sektor yang menyumbang sekitar 3% dari total emisi CO₂ dunia, setara dengan gabungan emisi Jerman dan Jepang.

Apa Itu Net-Zero Framework (NZF)?

Dalam proposal IMO, NZF mencakup dua elemen utama:

  1. Standar intensitas bahan bakar laut — kapal diwajibkan menurunkan emisi per ton muatan per kilometer secara bertahap mulai 2027.
  2. Mekanisme harga karbon (GHG Pricing Mechanism) — kapal yang melebihi batas emisi harus membeli “remedial units” (unit perbaikan karbon), sedangkan kapal rendah emisi bisa menjual kreditnya.

Pendapatan dari mekanisme ini akan masuk ke IMO Net-Zero Fund, dana global yang digunakan untuk membantu negara berkembang melakukan transisi energi maritim.

Menurut Sekretaris Jenderal IMO, Arsenio Dominguez, tujuan kerangka ini adalah memastikan “keadilan dalam transisi menuju pelayaran nol emisi.”

“Kita membutuhkan langkah nyata agar industri pelayaran tidak tertinggal dalam agenda iklim global,” ujar Dominguez dalam pernyataannya di laman resmi IMO (April 2025).

Blok Uni Eropa menjadi motor utama di balik usulan harga karbon global.
Menurut Komisioner Lingkungan Uni Eropa, Virginijus Sinkevičius, regulasi internasional dibutuhkan agar transisi energi di sektor maritim “tidak bersifat regional dan diskriminatif.”

“Kita sudah menerapkan sistem ETS (Emissions Trading System) di Eropa. Namun dunia butuh kerangka global agar tidak terjadi kebocoran karbon lintas benua,” kata Sinkevičius dikutip dari Reuters (Senin, 13 Oktober 2025).

Negara-negara seperti Norwegia, Jepang, dan Korea Selatan ikut mendukung proposal Uni Eropa. Mereka menilai kebijakan ini akan memberikan kepastian ekonomi jangka panjang bagi investor energi bersih dan mempercepat penggunaan bahan bakar alternatif seperti metanol hijau dan amonia.

Amerika Serikat Menolak Keras, Sebut “Pajak Global Ilegal”

Sementara itu, Amerika Serikat menolak seluruh isi kerangka NZF dan menilai kebijakan tersebut “tidak memiliki dasar hukum internasional.”
Dalam pernyataan resmi Departemen Luar Negeri AS tertanggal 11 Oktober 2025, Washington menyebut NZF sebagai bentuk “pajak karbon global terselubung” yang dapat merugikan perdagangan internasional.

“Amerika Serikat tidak akan membiarkan lembaga PBB memungut pajak karbon global tanpa otoritas dari negara-negara berdaulat,” ujar Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS, Matthew Miller, dalam rilis pers di situs state.gov.

Sebagai respons, AS bahkan mengancam akan menerapkan tindakan timbal balik terhadap negara-negara yang mendukung NZF.
Ancaman tersebut meliputi:

  • Pembatasan visa bagi pejabat negara pendukung kebijakan;
  • Biaya tambahan bagi kapal yang berlabuh di pelabuhan AS;
  • Pembatasan akses kapal dari negara pendukung ke pelabuhan strategis AS;
  • Potensi sanksi ekonomi terhadap entitas yang berpartisipasi dalam NZF.

Langkah keras ini dikritik banyak pihak sebagai upaya melemahkan koordinasi iklim global yang sudah lama dinegosiasikan di PBB.

Tidak hanya AS, beberapa negara berkembang juga menyuarakan kekhawatiran.
Brasil, India, dan Arab Saudi menilai kebijakan harga karbon kapal berisiko menaikkan biaya logistik dan ekspor, terutama bagi negara yang bergantung pada jalur laut untuk komoditas seperti minyak dan hasil pertanian.

“Levy karbon ini dapat berdampak pada daya saing ekspor negara berkembang,” ujar Duta Besar Brasil untuk PBB, Maria Nazareth Farani Azevêdo, kepada The Guardian (17 Februari 2025).

Negara-negara tersebut menuntut agar dana dari Net-Zero Fund dialokasikan secara proporsional untuk membantu modernisasi armada kapal dan infrastruktur energi di Global South.
Namun hingga kini, pembagian dana dan mekanisme transparansinya masih menjadi bahan perdebatan sengit di meja IMO.

Hingga laporan terakhir Reuters (13 Oktober 2025), belum ada konfirmasi resmi bahwa Net-Zero Framework telah diadopsi penuh oleh IMO.
Pertemuan luar biasa MEPC yang berlangsung 14–17 Oktober 2025 di London masih memproses voting akhir terhadap dokumen tersebut.

Sebelumnya, pada 7–11 April 2025, IMO telah menyetujui draft regulasi NZF untuk dibawa ke tahap adopsi. Jika disetujui bulan Oktober, regulasi itu akan berlaku pada 2027, memberi waktu dua tahun bagi industri menyesuaikan diri.

Dalam siaran pers IMO, disebutkan bahwa keputusan final akan “berdasarkan konsensus dua pertiga negara anggota MARPOL Annex VI.”

“Kami berupaya memastikan bahwa semua negara, besar dan kecil, memiliki suara dalam menentukan arah dekarbonisasi maritim global,” kata Sekjen IMO Arsenio Dominguez.

Pertarungan Kepentingan dan Masa Depan Dekarbonisasi

Tarik-menarik kepentingan antara AS dan Uni Eropa di IMO mencerminkan pertarungan geopolitik baru di bidang iklim dan perdagangan.
UE berusaha menanamkan standar iklim global yang sejalan dengan kebijakan Green Deal, sedangkan AS menjaga kepentingan industri pelayaran dan energi domestiknya dari regulasi global yang dianggap “intervensif”.

Sementara itu, negara berkembang berada di tengah dilema — di satu sisi mendukung aksi iklim global, di sisi lain khawatir terhadap efek ekonomi dan logistiknya.

Bagi sektor pelayaran, mekanisme ini dapat menjadi awal revolusi industri laut.
Jika berhasil, NZF bisa menciptakan insentif besar bagi investasi energi bersih dan mendorong inovasi bahan bakar alternatif seperti:

  • Metanol hijau (green methanol),
  • Amonia netral karbon,
  • Dan teknologi wind-assisted shipping.

Namun jika gagal mencapai konsensus, IMO berisiko kehilangan kredibilitas sebagai lembaga yang memimpin dekarbonisasi transportasi global.

Bank Dunia memperkirakan, jika diterapkan, mekanisme harga karbon kapal dapat menambah biaya logistik global hingga 3–5%, tergantung jenis rute dan bahan bakar.
Namun, potensi dana yang terkumpul dari levy karbon ini mencapai US$ 80–100 miliar per tahun, yang dapat dialokasikan untuk riset energi bersih maritim.

Lembaga penelitian International Council on Clean Transportation (ICCT) menilai bahwa setiap tahun tanpa kebijakan karbon maritim berarti kehilangan peluang mengurangi 200 juta ton CO₂ dari atmosfer.

Outlook: Dunia Menunggu Putusan Akhir IMO

Menjelang akhir 2025, dunia menanti hasil sidang IMO di London.
Apakah sistem harga karbon kapal akan benar-benar disetujui dan menjadi tonggak sejarah iklim global, atau justru terhambat oleh veto politik dari negara besar seperti AS?

Satu hal pasti: perdebatan ini menunjukkan bahwa perang terhadap emisi kini bukan hanya soal lingkungan, tapi juga soal kedaulatan ekonomi dan diplomasi internasional.