BONA NEWS. Jakarta. Indonesia. — Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pertahanan (Kemenhan) memastikan bahwa rencana pengadaan 42 unit pesawat tempur Chengdu J-10C buatan China kini berada pada tahap akhir proses persiapan.

Kepastian itu disampaikan langsung oleh Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin dalam pernyataan kepada wartawan di Jakarta pada Rabu, 15 Oktober 2025.

“Mereka [pesawat-pesawat itu] akan segera terbang di langit Jakarta,” ujar Sjafrie,

Pernyataan tersebut menjadi sinyal terkuat sejauh ini bahwa pemerintah telah memantapkan pilihan strategisnya dalam upaya modernisasi kekuatan udara nasional.

Langkah pengadaan J-10C merupakan bagian dari program besar modernisasi alat utama sistem pertahanan (alutsista) Indonesia. Kebutuhan ini sudah lama mendesak seiring dengan menurunnya kesiapan sejumlah armada tempur lama seperti F-5 Tiger II dan Sukhoi Su-27/Su-30.

Selama beberapa tahun terakhir, Indonesia telah menjajaki sejumlah opsi pesawat tempur modern, termasuk Dassault Rafale dari Prancis dan F-15EX dari Amerika Serikat. Namun, proses negosiasi dan penyerahan dua tipe jet tersebut berjalan lambat akibat faktor biaya, politik, dan teknis.

Di tengah situasi tersebut, Tiongkok menawarkan Chengdu J-10C, pesawat generasi 4.5+ yang telah dioperasikan oleh Angkatan Udara China (PLAAF) sejak 2018. Menhan Sjafrie menilai pilihan ini sebagai solusi realistis untuk memperkuat pertahanan udara nasional dengan cepat dan efisien.

Spesifikasi dan Keunggulan J-10C

J-10C merupakan pesawat tempur multirole dengan kemampuan menyerang dan bertahan yang seimbang. Jet ini dibekali:

  • Radar AESA (Active Electronically Scanned Array) dengan jangkauan deteksi hingga 200 km,
  • Mesin WS-10B Taihang buatan dalam negeri dengan dorongan hingga 13 ton,
  • Kemampuan membawa rudal udara-ke-udara PL-15 berjangkauan 150 km,
  • Sistem komunikasi terenkripsi dan data link untuk operasi jaringan (network-centric warfare),
  • Serta desain aerodinamis delta-canard yang memungkinkan manuver ekstrem di udara.

Kemampuan teknis tersebut menjadikan J-10C sekelas dengan jet tempur Barat seperti Rafale dan F-16V Viper, namun dengan biaya operasional yang lebih rendah.

Menurut beberapa analis pertahanan, konfigurasi ini akan memperkuat kemampuan TNI AU dalam patroli udara jarak menengah serta misi pengamanan wilayah perbatasan, terutama di kawasan Laut Natuna Utara yang kerap menjadi titik rawan ketegangan geopolitik.

Nilai Kontrak dan Tahapan Pengiriman

Laporan dari sejumlah media pertahanan Asia seperti Defense Security Asia dan Army Recognition menyebutkan nilai kontrak pembelian 42 unit J-10C diperkirakan mencapai USD 9 miliar.
Angka ini mencakup:

  • Paket pesawat tempur,
  • Sistem senjata dan pelatihan pilot,
  • Dukungan logistik serta perawatan jangka panjang.

Rencana awal menyebutkan bahwa pengiriman tahap pertama terdiri dari 12 unit J-10C yang akan tiba di Indonesia pada pertengahan 2026, dengan batch kedua dan ketiga menyusul hingga 2028.
Kemenhan juga tengah mempersiapkan program pelatihan pilot dan teknisi TNI AU di China untuk mempercepat adaptasi sistem dan prosedur operasi pesawat tersebut.

Pernyataan Menhan Sjafrie pada Oktober ini mempertegas arah kebijakan pertahanan Indonesia: memperkuat kemandirian strategis tanpa bergantung pada satu blok kekuatan tertentu.

Langkah membuka kerja sama dengan Tiongkok dinilai sejalan dengan prinsip politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif.
Alih-alih berpihak pada Barat atau Timur, Indonesia berupaya memanfaatkan peluang kerja sama dari kedua sisi untuk memperkuat kapabilitas nasional.

Sejumlah pengamat menilai keputusan ini juga merupakan bentuk realpolitik pertahanan di tengah situasi global yang semakin kompleks.
Dengan tekanan geopolitik yang meningkat di Laut Cina Selatan dan perlombaan teknologi militer antarnegara besar, Indonesia berupaya mengambil posisi tengah — memperkuat diri sambil menjaga stabilitas kawasan.

Kabar terbaru dari Jakarta segera menarik perhatian di berbagai ibu kota dunia.

  • Beijing menyambut positif langkah ini. Dalam laporan Global Times, pemerintah China memuji Indonesia sebagai “mitra strategis baru dalam kerja sama pertahanan yang saling menguntungkan.”
  • Washington menanggapi dengan hati-hati. Sejumlah analis pertahanan AS menilai keputusan Indonesia “sepenuhnya sah secara kedaulatan,” meski mereka mengingatkan adanya risiko “ketergantungan teknologi dari mitra non-transparan.”
  • Paris di sisi lain tetap yakin bahwa kontrak Rafale akan berjalan paralel tanpa gangguan.

Sementara itu, pengamat pertahanan dari The Diplomat menilai bahwa langkah Indonesia menunjukkan kemampuan memainkan politik keseimbangan antara Barat dan Timur.

“Indonesia menempatkan dirinya sebagai kekuatan netral dengan kemampuan udara yang tangguh. Ini meningkatkan posisi tawar Indonesia di kawasan,” tulis analis pertahanan regional James Harland, Jum’at (17/10/2025).

Jika pengadaan ini terealisasi, Indonesia akan menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang mengoperasikan J-10C.
Dengan kombinasi Rafale (Prancis) dan J-10C (China), TNI Angkatan Udara akan memiliki dua sistem utama dari dua kubu teknologi dunia — menjadikan Indonesia salah satu kekuatan udara paling berimbang di Asia Tenggara.

Langkah ini juga berpotensi mengubah dinamika kekuatan regional.
Negara seperti Singapura dan Malaysia, yang lebih mengandalkan pesawat buatan Barat, diperkirakan akan menyesuaikan strategi pertahanannya untuk menyeimbangkan postur baru Indonesia.

Meskipun pernyataan Menhan sudah menegaskan arah kebijakan, proses administrasi pengadaan masih menunggu tahapan resmi dari DPR RI dan Kementerian Keuangan.
Komisi I DPR, yang membidangi urusan pertahanan, dijadwalkan membahas pembiayaan proyek J-10C pada akhir Oktober 2025.

Sejumlah pihak di parlemen menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam proyek besar ini agar tidak menimbulkan beban fiskal berlebihan.
Namun, dengan pernyataan terbuka Menhan Sjafrie, arah kebijakan pemerintah sudah jelas — modernisasi kekuatan udara menjadi prioritas utama pertahanan nasional tahun 2025–2030.

Kemenhan menyebut kemungkinan kerja sama dengan PT Dirgantara Indonesia (PTDI) dalam aspek pemeliharaan dan produksi suku cadang ringan.
Beijing dikabarkan terbuka terhadap skema transfer teknologi terbatas, terutama dalam bidang pelatihan teknisi dan perawatan sistem avionik.

Meski belum ada kesepakatan resmi, langkah ini diharapkan membuka peluang bagi industri pertahanan Indonesia untuk meningkatkan kemampuan teknologinya secara bertahap.

Pernyataan Menhan Sjafrie pada 15 Oktober 2025 menandai babak baru dalam arah strategis pertahanan Indonesia.
Rencana pembelian 42 unit J-10C bukan hanya keputusan militer, tetapi juga langkah diplomatik yang mencerminkan kemandirian Indonesia di tengah dinamika global yang penuh tekanan.

Dengan kemampuan tempur modern dan jangkauan operasi luas, J-10C akan memperkuat posisi Indonesia sebagai kekuatan udara utama di Asia Tenggara.
Namun, di balik itu semua, tantangan utama tetap sama: memastikan bahwa setiap kerja sama luar negeri mendukung kepentingan nasional dan tidak menciptakan ketergantungan baru.

Menhan Sjafrie menutup pernyataannya dengan nada optimis:

“Modernisasi ini bukan perlombaan senjata, tetapi investasi untuk menjaga perdamaian dan kedaulatan,” akhir Sjafrie, Rabu (15/10/2025).

Dengan kalimat itu, Indonesia menegaskan komitmennya: memperkuat diri bukan untuk berperang, tetapi untuk memastikan langit Nusantara tetap aman dan berdaulat.