BONA NEWS. Medan, Sumatera Utara. — Setiap kali seseorang menonton video, mengirim pesan, atau menyimpan file ke cloud, jutaan bit data berpindah dalam sekejap. Namun di balik kemudahan itu, ada infrastruktur raksasa yang jarang disadari: jaringan kabel serat optik bawah tanah dan bawah laut yang menjadi tulang punggung dunia digital modern.
Kabel-kabel ini bukan sekadar pipa data. Mereka adalah urat nadi internet global yang menghubungkan benua, negara, hingga pusat data di berbagai belahan dunia. Tanpa mereka, kecepatan dan kestabilan internet yang kita nikmati hari ini tidak akan pernah ada.
Meski publik lebih sering mendengar tentang satelit atau jaringan 5G, faktanya lebih dari 99 persen lalu lintas internet internasional justru melewati kabel fisik yang terbentang di dasar laut dan tertanam di bawah tanah.
Laporan resmi Federal Communications Commission (FCC) Amerika Serikat bertanggal 17 Juli 2025 menegaskan bahwa konektivitas digital global masih sepenuhnya bergantung pada kabel serat optik sebagai jalur utama transmisi data lintas benua.
Kabel-kabel tersebut mampu membawa data hingga terabit per detik, dengan latensi sangat rendah dan keandalan jauh melampaui teknologi nirkabel. Keunggulan inilah yang membuat perusahaan global seperti Google, Meta, Amazon, dan Microsoft berlomba membangun kabel mereka sendiri, agar tidak bergantung pada operator telekomunikasi tradisional.
Perusahaan raksasa SoftBank Corp., dalam pernyataannya tanggal 22 September 2025, mengumumkan dimulainya proyek kabel bawah laut baru yang menghubungkan Asia Timur dengan kawasan Pasifik.
“Dengan kemajuan pesat kecerdasan buatan dan Internet of Things, kebutuhan komunikasi internasional melonjak drastis. Kami berkomitmen membangun sistem kabel generasi baru dengan kapasitas lebih tinggi dan efisiensi energi yang lebih baik,” tulis SoftBank dalam siaran resminya.
Menurut data riset pasar internasional 2025, nilai industri kabel bawah laut global diperkirakan mencapai lebih dari 23 miliar dolar AS tahun ini, dan tumbuh hingga 37 miliar dolar AS pada 2029. Angka ini mencerminkan percepatan masif dalam investasi infrastruktur data lintas benua.
Kabel bawah tanah pun mengalami perkembangan serupa. Di kota-kota besar seperti Tokyo, London, dan Singapura, kabel komunikasi kini tidak lagi digantung di tiang, tetapi ditanam dalam kanal bawah tanah khusus. Hal ini dilakukan demi keamanan, efisiensi ruang, dan estetika kota.
Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan lebih dari 17 ribu pulau, memiliki posisi strategis sekaligus tantangan besar. Untuk menyatukan konektivitas nasional, pemerintah membangun jaringan serat optik nasional yang menghubungkan barat hingga timur Nusantara melalui proyek Palapa Ring.
Data resmi Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menunjukkan, hingga pertengahan 2025, total panjang jaringan serat optik nasional — baik bawah laut maupun bawah tanah — telah mencapai lebih dari 224.000 kilometer. Angka ini terus bertambah seiring ekspansi jaringan ke wilayah Indonesia timur dan daerah terpencil.
Sekretaris Jenderal Kominfo, Ismail, dalam siaran pers Kominfo tanggal 20 September 2025, menegaskan bahwa pembangunan kabel bawah tanah dan bawah laut adalah fondasi utama menuju kedaulatan digital nasional.
“Infrastruktur kabel bawah tanah merupakan tulang punggung transformasi digital Indonesia. Konektivitas ini akan mendukung pusat data, layanan publik, dan ekonomi berbasis teknologi,” ujar Ismail di Jakarta, Jumat (20/9/2025).
Selain proyek nasional, pemerintah daerah juga mulai menata ulang jaringan di tingkat kota. Wali Kota Balikpapan, Rahmad Mas’ud, menyampaikan pada Kamis, 2 Januari 2025, bahwa pemindahan kabel udara ke bawah tanah menjadi langkah penting untuk menata kota sekaligus memperkuat konektivitas digital.
“Transformasi infrastruktur bawah tanah bukan sekadar estetika. Ini kebutuhan strategis agar jaringan komunikasi kota lebih tertib dan tahan terhadap cuaca ekstrem,” katanya.
Langkah serupa juga dilakukan di Kabupaten Gresik. Wakil Bupati Asluchul Alif menegaskan pada 27 September 2025 bahwa sistem kanal atau ducting bawah tanah akan diterapkan di jalur utama kota.
“Banyak warga mengeluh kabel udara semrawut dan rawan bahaya. Dengan sistem bawah tanah, jaringan lebih aman dan kota terlihat rapi,” ujarnya.
Teknologi di Balik Kabel Serat Optik
Kabel bawah tanah dibuat dari serat optik ultra-tipis — kaca murni yang menyalurkan sinyal cahaya dengan kecepatan hampir setara kecepatan cahaya di ruang hampa. Setiap helai mampu mentransfer data hingga ratusan gigabit per detik.
Kabel tersebut dibungkus dalam beberapa lapisan pelindung: baja, plastik, dan bahan anti-lembap untuk menahan tekanan tanah, getaran, dan korosi. Di bawah laut, lapisan tambahan digunakan untuk melindungi dari aktivitas kapal, arus laut, dan hewan laut.
Untuk memantau kondisi jaringan, operator menggunakan sistem pemantauan berbasis sensor dan kecerdasan buatan (AI). Teknologi ini dapat mendeteksi perubahan suhu, tekanan, atau getaran di sepanjang kabel, sehingga potensi gangguan bisa diidentifikasi lebih cepat.
Meskipun tertanam jauh di bawah tanah, kabel serat optik tidak sepenuhnya bebas dari ancaman. Di wilayah perkotaan, kabel dapat terganggu akibat pekerjaan galian proyek atau bencana alam seperti tanah longsor. Di bawah laut, ancaman datang dari jangkar kapal, gempa bumi, atau sabotase.
Pada 25 September 2024, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat bersama Uni Eropa dan negara-negara G7 mengeluarkan Joint Statement on the Security and Resilience of Undersea Cables, menyerukan kerja sama global untuk melindungi infrastruktur kabel internasional dari ancaman geopolitik.
Selain faktor keamanan, biaya juga menjadi tantangan besar. Pemasangan kabel bawah laut bisa menelan biaya hingga ratusan juta dolar AS per 1.000 kilometer, tergantung kondisi geografis dan kedalaman laut.
Tren Masa Depan: Kabel Pintar dan Kapasitas Petabit
Riset terbaru di bidang serat optik menargetkan pengembangan kabel berkapasitas hingga 1 petabit per detik — setara dengan mentransfer seluruh konten Netflix global hanya dalam hitungan detik.
Beberapa proyek eksperimental di Jepang dan Amerika telah berhasil menguji kabel jenis ini di laboratorium pada 2025. Kabel generasi baru ini tidak hanya lebih cepat, tetapi juga memiliki sistem pemantauan pintar yang bisa mendeteksi dan memperbaiki gangguan kecil secara otomatis tanpa campur tangan manusia.
Di sisi lain, kota-kota besar di Asia Tenggara mulai menyiapkan jaringan ducting terintegrasi untuk menggabungkan jalur listrik, telekomunikasi, dan data dalam satu sistem bawah tanah. Pendekatan ini tidak hanya efisien secara teknis, tetapi juga memperindah tata kota dan mengurangi risiko gangguan visual dari kabel udara.
Keberadaan kabel bawah tanah dan bawah laut berpengaruh langsung terhadap percepatan ekonomi digital nasional. Internet cepat dan stabil menjadi syarat utama bagi sektor-sektor seperti perbankan, e-commerce, pendidikan jarak jauh, dan layanan publik berbasis data.
Menurut catatan Kementerian Investasi tahun 2025, pembangunan infrastruktur digital, termasuk kabel serat optik dan pusat data, telah menarik investasi asing senilai lebih dari 10 miliar dolar AS dalam lima tahun terakhir.
Baca Juga Nih :
Pemerintah menargetkan, dengan infrastruktur digital yang merata, Indonesia bisa menjadi pusat konektivitas Asia Tenggara pada 2030.
“Kabel serat optik bukan sekadar proyek teknologi, tapi pondasi ekonomi masa depan,” kata Mantan Menkominfo Budi Arie Setiadi, dalam Forum Ekonomi Digital Nasional, Rabu (10/9/2025).
“Dengan konektivitas kuat, kita mempercepat pemerataan pendidikan, ekonomi, dan layanan publik. Inilah infrastruktur masa depan bangsa.”
Kabel bawah tanah dan bawah laut memang tak terlihat, namun tanpa mereka, dunia digital tidak akan berdetak. Di balik setiap unggahan, pesan, dan transaksi daring, ada jaringan rumit yang bekerja tanpa henti — menyalurkan cahaya, bukan listrik, tetapi kehidupan digital kita.
Dari pusat data di Amerika hingga pesisir Papua, dari koridor bawah tanah Jakarta hingga dasar Samudra Hindia, kabel-kabel raksasa itu menghubungkan miliaran manusia dalam satu sistem global.
Di masa depan, kabel-kabel ini tidak hanya menjadi penghubung data, tetapi juga simbol peradaban yang bergantung pada kecepatan, keamanan, dan kolaborasi lintas batas.
Mereka mungkin tersembunyi jauh di bawah tanah, tetapi denyutnya terasa di setiap detik kehidupan digital modern.
Baca Selengkapnya :
