BONA NEWS. Jakarta, Indonesia.  – Menjelang pemilihan legislatif di Israel, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu kembali menghidupkan agenda besar kebijakan luar negeri: menormalisasi hubungan diplomatik dengan dua negara berpenduduk mayoritas Muslim, Arab Saudi dan Indonesia.

Langkah ini disebut-sebut sebagai upaya memperkuat citra Netanyahu di tengah tekanan politik dalam negeri. Namun, peta peluang keduanya berbeda tajam: Saudi Arabia dinilai masih “terbuka terbatas”, sementara Indonesia tegas menolak normalisasi selama isu kemerdekaan Palestina belum terselesaikan.

Arab Saudi: Dialog Masih Terbuka, Tapi Syarat Tegas Palestina Merdeka

Arab Saudi menjadi target diplomasi utama Netanyahu. Dalam pidatonya di Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Jumat, 22 September 2023, Netanyahu menyatakan bahwa Israel “berada di ambang kesepakatan bersejarah dengan Arab Saudi.”

“We are at the cusp of a historic peace agreement between Israel and Saudi Arabia,”
Benjamin Netanyahu, Perdana Menteri Israel, UN General Assembly, New York (22/9/2023), sumber: AP News.

Meski begitu, Kementerian Luar Negeri Arab Saudi menegaskan bahwa tidak ada normalisasi sebelum terbentuknya negara Palestina yang merdeka dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kota.
Dalam pernyataan resmi pada Rabu, 5 Februari 2025, juru bicara Kemenlu Saudi menyampaikan:

“There will be no diplomatic normalization with Israel without the establishment of an independent Palestinian state.”
Kementerian Luar Negeri Arab Saudi, Riyadh (5/2/2025), sumber: The Jakarta Post.

Utusan khusus Israel, Ron Dermer, menurut The Washington Post (25 April 2025), diketahui terus menjalin komunikasi informal dengan pejabat Saudi dan Amerika Serikat dalam upaya mempercepat proses diplomatik tersebut.

Indonesia: Dukungan ke Palestina Masih Jadi Garis Merah

Berbeda dengan Arab Saudi, peluang normalisasi dengan Indonesia masih sangat kecil.
Netanyahu dalam wawancara dengan The Times of Israel pada 3 Januari 2024 pernah menyerukan agar Israel dan Indonesia “membuka hubungan normal demi perdamaian dunia Islam.”

Namun, Pemerintah Indonesia menegaskan bahwa tidak ada pembicaraan resmi dan bahwa dukungan kepada Palestina adalah prinsip utama diplomasi RI.

Presiden Prabowo Subianto pada Rabu, 28 Mei 2025, dalam wawancara dengan Reuters di Jakarta, menyatakan:

“Indonesia is ready to open diplomatic relations with Israel only if Israel recognizes and grants full independence to Palestine.”
Prabowo Subianto, Presiden Republik Indonesia (28/5/2025), sumber: Reuters.

Sementara itu, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI Lalu Muhammad Iqbal menegaskan kembali pada Kamis, 12 Juni 2025, bahwa Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel dan tidak akan mempertimbangkan normalisasi tanpa kemajuan signifikan dalam isu Palestina.

“Indonesia consistently supports the struggle of the Palestinian people and has no diplomatic relations with Israel.”
Lalu Muhammad Iqbal, Juru Bicara Kemlu RI (12/6/2025), sumber: Kemlu.go.id.

Motif Politik Menjelang Pemilu Israel

Analis menilai langkah Netanyahu ini memiliki dimensi politik yang kuat. Dengan pemilu legislatif dijadwalkan pada Desember 2025, Netanyahu berupaya menampilkan diri sebagai pemimpin yang mampu memperluas jaringan diplomatik Israel.

Namun, para pengamat menilai bahwa Arab Saudi dan Indonesia memiliki pertimbangan yang jauh berbeda.
Analis hubungan internasional dari Universitas Gadjah Mada, Dr. Luthfi Rahman, mengatakan pada 18 Oktober 2025:

“Bagi Saudi, diplomasi ini berkaitan erat dengan kepentingan geopolitik dan hubungan dengan Amerika Serikat. Sedangkan bagi Indonesia, isu ini sangat ideologis dan terkait langsung dengan solidaritas terhadap Palestina.”
Dr. Luthfi Rahman, Pengamat HI UGM (18/10/2025), 

Jika normalisasi Israel–Arab Saudi benar-benar terjadi, dampaknya akan mengguncang peta politik Timur Tengah dan memperkuat Abraham Accords — jaringan perjanjian damai Israel dengan UEA, Bahrain, dan Maroko.

Namun, bagi Indonesia, perubahan sikap terhadap Israel akan membawa konsekuensi politik dan sosial yang besar, mengingat dukungan publik terhadap Palestina masih sangat kuat.
Posisi Indonesia di OKI, ASEAN, dan G20 juga menjadikan keputusan semacam itu berdampak luas terhadap reputasi diplomatik kawasan.

Upaya Netanyahu menormalisasi hubungan dengan Arab Saudi dan Indonesia mencerminkan ambisi politik luar negeri yang besar menjelang pemilu.
Tetapi hingga kini, hanya dialog dengan Arab Saudi yang memiliki peluang realistis, sementara Indonesia tetap memegang teguh dukungan terhadap Palestina.

Normalisasi penuh dengan kedua negara tampaknya masih akan menjadi wacana panjang yang menunggu perubahan besar dalam konflik Israel–Palestina.