BONA NEWS. Mandailing Natal, Sumatera Utara. — Ketua DPRD Kabupaten Mandailing Natal (Madina), Erwin Efendi Lubis, mendesak pemerintah daerah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap seluruh areal perkebunan di wilayah pantai barat Madina, khususnya yang dikelola PT Rendi Permata Raya (RPR) dan PT Palmaris Raya (PR).
Pernyataan ini disampaikan Erwin dalam keterangan kepada wartawan pada Senin, 20 Oktober 2025, sebagaimana diberitakan sejumlah media lokal di Sumatera Utara. Ia menegaskan, DPRD Madina akan mempertimbangkan rekomendasi penghentian operasional bagi perusahaan yang tidak menyelesaikan kewajiban sosial kepada masyarakat.
“Sudah banyak pengaduan masyarakat yang masuk ke DPRD. Kami minta pemerintah daerah tegas mengevaluasi seluruh perkebunan, khususnya di kawasan pantai barat. Kalau konflik terus berlarut dan kewajiban tidak dijalankan, kami akan pertimbangkan rekomendasi penghentian operasional,”
tegas Erwin Efendi Lubis, Senin (20/10/2025).
Pernyataan Erwin muncul di tengah meningkatnya sorotan publik terhadap dua perusahaan sawit besar di Madina, yakni PT Rendi Permata Raya dan PT Palmaris Raya.
Kedua perusahaan ini beroperasi di wilayah strategis pantai barat — meliputi Kecamatan Muara Batang Gadis dan Batahan — yang selama ini menjadi pusat ekonomi sekaligus sumber sengketa lahan antara perusahaan dan warga.
Warga Desa Singkuang I dan II melaporkan bahwa hingga kini perusahaan belum merealisasikan kewajiban plasma 20 % dari total lahan perkebunan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26 Tahun 2007.
Sementara itu, PT Palmaris Raya juga tengah menghadapi gugatan sengketa lahan seluas 18,5 hektare yang masih berproses di Pengadilan Negeri Madina sejak awal Oktober 2025.
“Kami tidak menolak investasi, tapi jangan sampai rakyat kecil kehilangan haknya. Plasma itu kewajiban perusahaan, bukan belas kasihan,”
kata Amiruddin, tokoh masyarakat Desa Singkuang, saat ditemui usai audiensi di DPRD Madina, Selasa (14/10/2025).
Menanggapi desakan DPRD, Asisten I Setdakab Madina, Zainal Arifin Nasution, menyatakan bahwa pemerintah daerah sedang membentuk tim verifikasi lintas dinas untuk mengevaluasi izin dan praktik perkebunan di wilayahnya.
“Kami sedang menyiapkan langkah evaluasi terpadu. Ini bukan hanya karena tekanan politik, tapi bagian dari penegakan aturan HGU dan kemitraan plasma,”
ujarnya dalam pernyataan tertulis, Senin (20/10/2025).
Zainal menyebut, hasil awal dari tinjauan lapangan menunjukkan perlunya verifikasi ulang peta HGU dan izin lokasi milik beberapa perusahaan, termasuk PT Rendi Permata Raya dan PT Palmaris Raya. Jika ditemukan pelanggaran administratif, pemerintah akan merekomendasikan sanksi penghentian sementara atau pencabutan izin.
DPRD Bahas Rekomendasi Resmi
Ketua Komisi II DPRD Madina, Kamaruddin Nasution, membenarkan bahwa lembaganya telah menyusun rekomendasi sanksi administratif untuk PT Rendi Permata Raya karena dugaan pelanggaran kewajiban plasma.
“Draf rekomendasi sudah selesai. Kami menunggu tanda tangan Ketua DPRD untuk diteruskan ke Bupati Madina,”
ujar Kamaruddin di kantor DPRD, Senin (20/10/2025).
Rekomendasi itu menyebutkan bahwa luas izin PT Rendi mencapai lebih dari 5.000 hektare, tetapi realisasi plasma baru sebagian kecil.
Komisi II menilai hal itu menunjukkan ketidakpatuhan terhadap regulasi kemitraan perkebunan dan perlu tindakan administratif.
Jejak Sengketa dan Dampak Sosial
Dalam catatan Forum Pemerhati Agraria Madina (FPAM), terdapat 13 titik konflik lahan perkebunan yang belum terselesaikan hingga 2025. Sebagian besar terjadi di wilayah pantai barat, terutama di Batahan dan Muara Batang Gadis.
Warga mengaku kehilangan lahan pertanian dan sumber air akibat ekspansi kebun.
Badan Lingkungan Hidup Madina dalam laporan pengawasan 2024 mencatat adanya indikasi pelanggaran baku mutu air limbah oleh salah satu pabrik pengolahan sawit di kawasan tersebut, yang kini sedang dalam proses verifikasi laboratorium.
“Kami kehilangan sawah dan air bersih. Dulu bisa menanam padi, sekarang air sungai berubah warna karena limbah kebun,”
tutur Siti Marlina, warga Singkuang II, Senin (20/10/2025).
Hingga berita ini ditulis, pihak manajemen PT Rendi Permata Raya dan PT Palmaris Raya belum memberikan keterangan resmi.
Namun dalam rapat dengar pendapat awal Oktober 2025, perwakilan PT Rendi mengklaim sudah menyalurkan sebagian plasma kepada kelompok tani binaan secara bertahap.
“Kami jalankan program plasma sesuai kemampuan finansial dan pembangunan kebun. Semua diawasi pemerintah,”
ujar salah satu manajer operasional perusahaan dalam RDP (3/10/2025).
Pernyataan itu dibantah warga yang hadir, karena menilai realisasi plasma hanya diterima oleh sebagian kecil masyarakat yang memiliki hubungan dekat dengan pihak perusahaan.
Pentingnya Transparansi HGU
Langkah DPRD dan Pemkab Madina merupakan momentum untuk memperbaiki tata kelola agraria di daerah perkebunan.
“Persoalan plasma dan HGU di Madina adalah cermin ketimpangan struktural. Banyak perusahaan memegang izin besar, tapi kewajiban sosial minim,”
ujar Bobby Apriliano, Pemerhati. Sosial dan Kebijakan Publik, saat dihubungi, Senin (20/10/2025).
Ia menambahkan, reformasi harus dimulai dari publikasi data HGU dan peta plasma agar masyarakat bisa ikut mengawasi.
“Transparansi data adalah kunci. Publikasikan luas HGU dan lokasi plasma, supaya publik tahu siapa yang patuh dan siapa yang melanggar,” kata Bobby Apriliano.
Lembaga GRIB Jaya Madina juga menyoroti PT Palmaris Raya yang dinilai belum memiliki dasar hukum HGU yang lengkap.
Koordinatornya, Hendra Nasution, meminta Satgas Penanganan Konflik Perkebunan dan Kehutanan (PKH) turun langsung ke lapangan.
“Kami minta pemerintah dan BPN tegas. Jangan sampai warga yang tinggal turun-temurun terusir karena lemahnya pengawasan,”
ujarnya, Senin (20/10/2025).
Menurut Hendra, pemerintah daerah harus menyeimbangkan antara investasi dan keadilan sosial sesuai amanat UU Perkebunan Nomor 39 Tahun 2014.
Warga berharap desakan DPRD dan langkah evaluasi pemerintah tidak berhenti pada rapat dan wacana.
“Kalau evaluasi benar dilakukan, kami siap mendukung. Tapi kalau hanya janji, kami akan terus berjuang,”
kata Amiruddin, mewakili kelompok tani Desa Singkuang.
Sejumlah kepala desa di kawasan pantai barat juga mengusulkan pembentukan tim mediasi permanen antara perusahaan, masyarakat, dan pemerintah untuk menuntaskan konflik plasma dan batas wilayah secara berkeadilan.
Desakan Ketua DPRD Madina, Erwin Efendi Lubis, menjadi penanda bahwa masalah agraria di Mandailing Natal telah memasuki tahap krusial.
Dengan total areal sawit mencapai sekitar 180 ribu hektare, Madina menyimpan potensi ekonomi besar namun juga rentan terhadap ketimpangan sosial.
Jika evaluasi yang dijanjikan pemerintah benar-benar dijalankan secara transparan, Madina bisa menjadi contoh bagi daerah lain bahwa perkebunan sawit tak boleh hanya menguntungkan korporasi, tetapi juga masyarakat di sekitarnya.
