BONA NEWS. Jakarta, Indonesia.  — Dalam upaya menjaga stabilitas sistem keuangan dan melindungi konsumen di era digital, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat capaian penting sepanjang satu tahun terakhir. Lembaga ini berhasil mencegah potensi kerugian masyarakat senilai sekitar Rp 376,8 miliar, atau setara dengan US$ 22,7 juta, melalui pemblokiran 94.344 rekening bank yang terindikasi terlibat dalam praktik penipuan keuangan daring (online fraud).

Laporan resmi OJK menyebut periode penindakan ini berlangsung dari 22 November 2024 hingga 16 Oktober 2025. Angka tersebut menggambarkan betapa seriusnya ancaman kejahatan finansial di ruang digital, dan seberapa besar upaya otoritas untuk memutus mata rantai perputaran uang hasil tindak penipuan yang terus berkembang secara masif di Indonesia.

94.344 Rekening Diblokir, Kerugian Rp 376,8 Miliar Berhasil Dicegah

Menurut OJK, ribuan rekening yang diblokir tersebut merupakan hasil kolaborasi lintas lembaga, di antaranya Satgas Pemberantasan Aktivitas Keuangan Ilegal (Satgas PASTI), Asosiasi Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran, serta dukungan dari sejumlah bank dan lembaga penegak hukum.

Pemblokiran rekening dilakukan setelah OJK menerima laporan masyarakat, analisis transaksi mencurigakan, hingga pelacakan lintas platform terhadap akun-akun yang digunakan untuk menipu korban. Melalui kerja cepat, lembaga tersebut dapat menghambat aliran dana yang sudah terlanjur ditransfer oleh korban, sehingga kerugian tidak semakin meluas.

“Kami memperkuat sistem pelaporan dan deteksi dini agar aktivitas keuangan mencurigakan bisa ditindak sebelum merugikan masyarakat. Keberhasilan ini menunjukkan pentingnya sinergi antara OJK, perbankan, dan masyarakat,”
ujar Friderica Widyasari Dewi, Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen OJK kepada Wartawan, Minggu (19/10/2025)

Selain pemblokiran rekening, OJK juga mengembangkan sistem pelaporan cepat (quick response) untuk mendeteksi rekening dan dompet digital yang diduga digunakan oleh pelaku kejahatan finansial. Mekanisme ini memungkinkan pelaporan korban ditindaklanjuti dalam waktu kurang dari 24 jam, terutama bila dana masih tertahan di sistem perbankan.

Ledakan Laporan: 299.000 Kasus Penipuan dalam Setahun

Sepanjang periode tersebut, OJK menerima lebih dari 299.000 laporan dugaan penipuan yang dilaporkan masyarakat melalui berbagai kanal — baik melalui Kontak OJK 157, situs waspadainvestasi.ojk.go.id, maupun laporan langsung ke Satgas PASTI.

Berdasarkan peta sebaran, lima provinsi dengan laporan terbanyak adalah Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Banten. Tingginya angka laporan di wilayah ini berkaitan erat dengan tingginya penetrasi internet, aktivitas perdagangan daring, dan penggunaan layanan keuangan digital yang sangat masif.

“Kebanyakan korban berasal dari kelompok masyarakat produktif berusia 20–40 tahun, yang aktif bertransaksi online. Sayangnya, pengetahuan digital security mereka belum cukup kuat,” jelas Friderica.

OJK menegaskan bahwa angka tersebut hanyalah puncak gunung es dari keseluruhan kasus yang terjadi. Banyak korban tidak melapor karena malu, enggan berurusan dengan hukum, atau tidak tahu harus ke mana melapor.

Modus Baru dan Lama yang Terus Berevolusi

Dari hasil analisis OJK dan Satgas PASTI, setidaknya ada empat modus utama penipuan digital yang mendominasi laporan masyarakat:

1. Belanja Online Palsu

Modus klasik ini tetap menduduki peringkat teratas. Pelaku membuka toko fiktif di platform e-commerce atau media sosial, menawarkan produk dengan harga sangat murah, lalu menghilang setelah korban melakukan pembayaran.
Beberapa bahkan mengirimkan barang palsu atau berbeda dari pesanan untuk menambah kesan “transaksi nyata”.

2. Tawaran Kerja Palsu

Sejak 2024, penipuan bermodus lowongan kerja palsu meningkat pesat. Pelaku menawarkan pekerjaan jarak jauh dengan imbalan besar, tetapi meminta korban membayar “uang administrasi”, “alat kerja”, atau “biaya pelatihan”.
Modus ini kerap berujung pada permintaan pengunduhan file APK berisi malware yang mencuri data pribadi.

3. Investasi Bodong

Janji “keuntungan 10% per minggu” masih menjadi senjata ampuh para penipu. Mereka menggunakan skema mirip Ponzi, di mana keuntungan investor lama dibayar dari uang investor baru.
Mereka juga memanfaatkan platform media sosial dengan tampilan meyakinkan — lengkap dengan testimoni palsu dan logo menyerupai lembaga resmi.

4. APK Ilegal dan Social Engineering

Fenomena ini menjadi momok baru di 2025. File APK berbahaya dikirim melalui WhatsApp atau SMS, biasanya dengan kedok bukti pembayaran, undangan, atau pesan dari kurir.
Setelah korban menginstalnya, pelaku dapat mengakses data perbankan dan mentransfer dana tanpa izin.
Beberapa kasus juga melibatkan phishing dan social engineering tingkat lanjut, di mana korban dimanipulasi untuk mengungkapkan data rahasia secara sukarela.

Tren Digitalisasi: Sisi Gelap Kemudahan Finansial

Kemajuan teknologi finansial (fintech) membawa kemudahan luar biasa bagi masyarakat. Namun, di sisi lain, digitalisasi juga membuka celah baru bagi pelaku kejahatan.
OJK mencatat, pada 2025 ini, lebih dari 60% transaksi keuangan masyarakat dilakukan secara digital, baik melalui perbankan online, e-wallet, maupun platform investasi.

Kecepatan teknologi sering kali tidak diimbangi dengan peningkatan kesadaran keamanan pengguna. Masyarakat senang dengan kepraktisan, tapi sering lupa memeriksa legalitas dan keamanan. Pelaku kejahatan justru memanfaatkan kebiasaan terburu-buru ini. Edukasi literasi digital harus menjadi bagian dari kebijakan perlindungan konsumen.

Dalam menindak kasus-kasus penipuan, OJK tidak bekerja sendirian. Sinergi dengan Polri, Kominfo, Bank Indonesia, dan Asosiasi Penyelenggara Jasa Keuangan menjadi kunci penting.

OJK membentuk mekanisme blokir cepat bersama perbankan agar rekening pelaku segera dibekukan setelah laporan diterima.
Selain itu, OJK bekerja sama dengan Kominfo untuk menurunkan situs dan aplikasi ilegal, serta melakukan patroli siber terhadap platform yang menawarkan investasi tanpa izin.

Satgas PASTI juga menjadi garda terdepan dalam mengkoordinasikan laporan lintas lembaga. Dalam periode satu tahun terakhir, lebih dari 5.000 entitas ilegal telah dihentikan operasinya.

“Kami menindak tidak hanya pelaku, tetapi juga saluran distribusi, afiliasi, dan iklan digital yang membantu penyebaran konten ilegal,” tegas perwakilan Satgas PASTI dalam konferensi pers.

Beberapa kasus yang sempat viral di media sosial memperlihatkan bagaimana penipuan digital berkembang dengan cepat.
Salah satu contohnya adalah modus APK palsu dengan logo ekspedisi ternama. Korban menerima pesan yang mengaku dari jasa pengiriman, diminta mengklik tautan untuk melacak paket. Setelah file terinstal, akun mobile banking korban dikuras habis.

Dalam kasus lain, sejumlah warga tergiur investasi “crypto farming” dengan imbal hasil tetap 15% per bulan. Setelah menginvestasikan uangnya, situs tersebut menghilang dalam hitungan minggu. OJK menemukan bahwa platform itu tidak memiliki izin apa pun dan menggunakan server luar negeri.

Kasus-kasus seperti ini menunjukkan bahwa kejahatan finansial kini tidak lagi dilakukan oleh individu tunggal, melainkan oleh jaringan terorganisir yang memanfaatkan celah digital lintas negara.

Sebagai langkah pencegahan, OJK terus memperkuat program edukasi dan literasi keuangan melalui kampanye “Waspada Investasi Ilegal” serta kegiatan roadshow ke berbagai daerah.
Program ini menyasar kelompok masyarakat produktif, pelajar, mahasiswa, serta pelaku UMKM.

Selain itu, OJK juga memperkenalkan kanal “Laporkan Segera”, yang memungkinkan masyarakat mengirimkan laporan dugaan penipuan langsung melalui WhatsApp resmi OJK.
Langkah ini diharapkan dapat mempercepat penanganan dan memperluas kesadaran publik untuk tidak ragu melapor.

“Kami ingin masyarakat tidak takut melapor. Justru laporan itulah yang membantu kami menindak cepat pelaku,” ujar Friderica menegaskan.

Pesan untuk Publik: Jangan Mudah Percaya

OJK menegaskan beberapa langkah pencegahan sederhana yang bisa dilakukan masyarakat agar tidak menjadi korban penipuan:

  1. Selalu cek legalitas lembaga di situs resmi OJK sebelum menaruh dana.
  2. Waspadai tawaran keuntungan tinggi tanpa risiko — tidak ada investasi yang menjamin untung besar dengan cepat.
  3. Jangan sembarang klik tautan atau file APK dari nomor tidak dikenal.
  4. Gunakan rekening atas nama sendiri, jangan pinjamkan rekening kepada pihak lain.
  5. Laporkan segera jika menemukan indikasi penipuan melalui situs waspadainvestasi.ojk.go.id atau Kontak OJK 157.

“Prinsip dasarnya sederhana: kalau terlalu bagus untuk jadi kenyataan, maka hampir pasti itu penipuan,” tutup Friderica.

Fenomena maraknya penipuan digital menunjukkan bahwa kemajuan teknologi tidak selalu berbanding lurus dengan keamanan pengguna. Di tengah derasnya arus digitalisasi, kepercayaan publik menjadi aset penting yang harus dijaga.

OJK berharap masyarakat semakin cerdas dalam mengelola keuangannya di ruang digital. Pemerintah, lembaga keuangan, dan penyedia teknologi juga diminta untuk terus meningkatkan keamanan sistem dan edukasi publik.

Capaian OJK dalam mencegah potensi kerugian Rp 376,8 miliar hanyalah satu langkah awal dari perjuangan panjang menghadapi kejahatan finansial generasi baru.
Kedepannya, sinergi lintas sektor dan kesadaran masyarakat akan menjadi benteng utama melawan ancaman yang terus berevolusi di dunia maya.