BONA NEWS. Medan, Sumatera Utara. — Di tengah meningkatnya kesadaran lingkungan, Indonesia masih berhadapan dengan kenyataan pahit: gunungan sampah plastik terus bertambah, sementara tingkat daur ulang belum juga mencapai target. Pertanyaannya, apakah daur ulang benar-benar solusi, atau sekadar tren hijau yang belum menyentuh akar masalah?
Gunung Plastik yang Tak Pernah Reda
Menurut Kementerian Lingkungan Hidup (BPLH), Indonesia menghasilkan sekitar 7,8 juta ton sampah plastik setiap tahun. Dari jumlah tersebut, 4,9 juta ton tidak tertangani dengan baik, dan sebagian besar berakhir di laut serta sungai.
Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq, yang dilantik sejak 21 Oktober 2024, menegaskan bahwa upaya pengelolaan plastik tidak bisa berhenti di tahap daur ulang semata.
“Kita tidak bisa berharap pada daur ulang saja. Solusi sejati ada pada pengurangan dari sumbernya dan perbaikan sistem pengumpulan,” ujarnya dalam konferensi pers Hari Lingkungan Hidup Sedunia, Juni 2025, di Jakarta.
Hanif menekankan pentingnya ekonomi sirkular yang kuat, di mana setiap tahap produksi dan konsumsi dirancang untuk meminimalkan limbah sejak awal.
Tantangan di Balik Industri Daur Ulang
Ketua Umum Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia (ADUPI), Christine Halim, mengungkapkan bahwa sistem daur ulang nasional belum mampu menampung seluruh limbah plastik domestik.
“Daur ulang di Indonesia baru menyentuh sekitar 22 persen dari total limbah plastik yang dihasilkan. Sebagian besar justru masih diolah oleh sektor informal yang tidak tercatat secara resmi,” jelas Christine saat diskusi nasional ADUPI, Agustus 2025, di Surabaya.
Ia menilai, masalah utama terletak pada keterbatasan fasilitas dan rantai logistik. Banyak daerah belum memiliki infrastruktur pengumpulan yang memadai, dan sebagian besar pelaku daur ulang masih beroperasi tanpa perlindungan sosial maupun dukungan modal.
Pandangan Dunia Usaha
Sektor swasta dinilai memiliki peran penting dalam memperkuat sistem sirkular. Dharsono Hartono, Vice Chairman Indonesia Business Council for Sustainable Development (IBCSD), menyebut bahwa keterlibatan industri besar masih rendah.
“Sebagian perusahaan memang sudah punya komitmen nol limbah, tapi implementasinya belum sistemik. Masih banyak yang berhenti di level kampanye,” katanya saat ditemui dalam forum Sustainability Summit di Jakarta, September 2025.
Dharsono menambahkan, industri butuh insentif agar mau berinvestasi pada bahan baku daur ulang dan teknologi ramah lingkungan. Tanpa dorongan kebijakan fiskal, harga plastik daur ulang akan tetap kalah bersaing dengan plastik murni.
Suara Aktivis: Ubah Paradigma Produksi
Menurut Tiza Mafira, Direktur Eksekutif Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik (GIDKP), kebijakan pengurangan plastik harus menekan produsen, bukan hanya menyalahkan konsumen.
“Beban terlalu sering diletakkan di masyarakat, padahal sumber masalah ada di desain produk dan sistem distribusi,” ujarnya dalam diskusi publik GIDKP di Bandung, Juli 2025.
Tiza menegaskan, daur ulang bukan alasan untuk terus memproduksi plastik sekali pakai. Ia mendorong penerapan penuh kebijakan Extended Producer Responsibility (EPR) agar produsen wajib menanggung pengelolaan limbah kemasannya.
Inovasi dari Akar Rumput
Meskipun sistem nasional masih berbenah, banyak inisiatif lokal menunjukkan hasil nyata.
Di Bandung, startup Octopus Indonesia bekerja sama dengan pemerintah daerah dalam program penukaran sampah berbasis aplikasi digital. Sistem ini melibatkan ribuan pengepul yang terdata dan diawasi secara transparan.
Di Medan, komunitas “Plastik Pulang ke Rumah” memberdayakan ibu rumah tangga untuk memilah sampah sejak dari sumber. Sampah yang terkumpul dijual ke pabrik daur ulang lokal, sementara sebagian dijadikan bahan kerajinan yang bernilai jual tinggi.
Program-program seperti ini dinilai berhasil mengubah perilaku masyarakat, sekaligus membuka peluang ekonomi baru.
Sejak pemisahan antara Kementerian Lingkungan Hidup (BPLH) dan Kementerian Kehutanan pada 2024, fokus pengelolaan limbah semakin diarahkan pada tata kelola terpadu lintas daerah.
Namun, Menteri Hanif Faisol mengakui bahwa implementasi masih lambat.
“Koordinasi antar-daerah masih jadi kendala. Kita sedang siapkan sistem pelaporan digital nasional agar data pengelolaan limbah lebih akurat,” ungkapnya pada Rapat Koordinasi Nasional Lingkungan Hidup, Oktober 2025.
Selain itu, pelaksanaan kebijakan EPR baru mencakup sebagian kecil produsen besar, dan belum memiliki sanksi tegas bagi pelaku usaha yang mengabaikan tanggung jawabnya.
Realitas Ekonomi dan Konsumen
Menurut sosiolog lingkungan dari Universitas Indonesia, Dr. Retno Adiwibowo, tantangan utama bukan hanya teknologi, tapi perilaku ekonomi masyarakat.
“Selama harga plastik konvensional tetap paling murah, perubahan perilaku konsumsi sulit terjadi,” jelas Retno dalam wawancara, September 2025.
Ia menilai, pemerintah perlu mempertimbangkan pajak plastik atau insentif fiskal bagi bahan ramah lingkungan untuk menyeimbangkan harga pasar.
Menuju Transformasi Sirkular
Meski perjalanan masih panjang, sejumlah capaian menunjukkan kemajuan. BPLH mencatat peningkatan 12% tingkat pengumpulan plastik sejak 2023, terutama di kota besar seperti Surabaya, Makassar, dan Bandung.
Namun, para ahli sepakat: ukuran keberhasilan bukan dari seberapa banyak plastik yang didaur ulang, tetapi seberapa sedikit yang berakhir mencemari bumi.
“Daur ulang bukan tren,” tegas Hanif Faisol Nurofiq. “Ia bagian dari sistem ekonomi berkelanjutan yang harus melibatkan semua pihak — pemerintah, industri, dan masyarakat.”
Daur ulang plastik di Indonesia belum menjadi solusi penuh, tetapi merupakan langkah penting menuju sistem ekonomi sirkular yang sesungguhnya.
Tanpa perubahan perilaku, kebijakan tegas, dan dukungan industri, upaya ini akan tetap berhenti sebagai slogan.
Kini tantangannya jelas: berani bertransformasi, bukan sekadar berdaur ulang.
