BONA NEWS. Medan, Sumatera Utara. — Kasus dugaan korupsi dalam penjualan aset milik PT Perkebunan Nusantara (PTPN) I Regional I menjadi sorotan publik nasional. Kasus ini melibatkan PT Nusa Dua Propertindo (NDP) sebagai anak perusahaan PTPN I dan PT Deli Megapolitan Kawasan Residensial (DMKR), anak perusahaan PT Ciputra Land. Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejati Sumut) telah menyita uang sebesar Rp150 miliar dari pihak terkait sebagai bagian dari upaya pemulihan kerugian negara.
Artikel ini membahas secara komprehensif kasus ini: latar belakang, proses hukum, profil tersangka, dampak terhadap masyarakat, dan langkah pemulihan negara. Dengan pemaparan ini, pembaca diharapkan memahami konteks hukum dan ekonomi kasus yang kompleks ini.
Latar Belakang Kasus
Sejarah Aset PTPN I
PTPN I memiliki aset lahan yang luas, termasuk lahan seluas 8.077 hektare yang terletak di Sumatera Utara. Lahan ini awalnya berstatus Hak Guna Usaha (HGU), yang berarti lahan dimiliki negara namun dikelola PTPN I untuk kegiatan perkebunan. Pada 2022, PT NDP mengajukan perubahan status lahan dari HGU menjadi Hak Guna Bangunan (HGB). Status HGB memungkinkan pihak swasta memiliki hak jual-beli yang lebih fleksibel, termasuk menjual kepada pihak ketiga.
Penjualan Lahan dan Dugaan Korupsi
Setelah perubahan status lahan disetujui, PT NDP menjual lahan tersebut kepada PT DMKR, yang kemudian mengembangkan kawasan perumahan CitraLand. Namun, dalam proses ini muncul dugaan penyalahgunaan wewenang oleh pejabat BPN Sumut dan pihak PT NDP. Hal ini menyebabkan negara dirugikan karena 20% dari luas lahan seharusnya menjadi hak negara tetapi tidak diserahkan.
Kejati Sumut telah menetapkan tiga orang tersangka utama:
- AKS – Mantan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumatera Utara tahun 2022–2024. Diduga mengeluarkan persetujuan perubahan status lahan secara tidak prosedural.
- ARL – Mantan Kepala Kantor BPN Deli Serdang tahun 2023–2025. Terlibat dalam proses administrasi perubahan status HGU menjadi HGB yang diduga merugikan negara.
- IS – Direktur PT Nusa Dua Propertindo (NDP). Bertanggung jawab atas transaksi penjualan lahan kepada PT DMKR dan dianggap telah mengabaikan kewajiban menyerahkan hak negara sebesar 20% dari luas lahan.
Penyidik Kejati Sumut menyatakan bahwa proses hukum masih terbuka untuk penetapan tersangka tambahan apabila bukti baru ditemukan.
Pada Rabu, 22 Oktober 2025, Kejati Sumut menerima Rp150 miliar dari PT DMKR sebagai pengembalian kerugian negara. Uang ini disimpan sementara di Bank Mandiri Cabang Medan. Kepala Kejati Sumut, Harli Siregar, menyebut bahwa pengembalian dana ini menunjukkan itikad baik dari pihak terkait, namun proses hukum tetap berlanjut untuk memastikan semua pelanggaran hukum terungkap.
Hingga saat ini, belum ada rincian resmi mengenai apakah dana tersebut dibayarkan sekaligus atau melalui mekanisme bertahap, dan tim ahli masih menghitung total kerugian negara secara final.
Kronologi Kasus
- 2022: PT NDP mengajukan perubahan status lahan dari HGU ke HGB ke BPN Sumut.
- 2023: Persetujuan perubahan status dikeluarkan dan PT NDP menjual sebagian lahan kepada PT DMKR.
- 2024–2025: Dugaan korupsi muncul, penyidikan dimulai oleh Kejati Sumut.
- 2025: Penetapan tersangka, pengembalian kerugian negara Rp150 miliar, dan penyitaan aset.
Baca Juga :
Perubahan status lahan HGU ke HGB diatur dalam Undang-Undang Agraria dan peraturan pemerintah terkait pengelolaan aset negara. Jika prosedur tidak dijalankan dengan benar, pejabat dan pihak swasta dapat dikenakan pasal korupsi dan gratifikasi sesuai hukum pidana Indonesia.
Kasus ini berdampak pada beberapa pihak:
- Masyarakat/Konsumen: Pembeli properti CitraLand terpengaruh status hukum lahan yang dipertanyakan.
- Negara: Kerugian akibat tidak diserahkannya hak 20% dari luas lahan.
- Perekonomian: Menurunnya kepercayaan investor terhadap transparansi pengelolaan aset negara.
Kejati Sumut menekankan pentingnya pemulihan keuangan negara dan perlindungan konsumen agar masyarakat tidak dirugikan lebih lanjut.
Kasus dugaan korupsi penjualan aset PTPN I Regional I mengingatkan pentingnya transparansi dan pengawasan dalam pengelolaan aset negara. Dengan penyitaan Rp150 miliar dan proses hukum yang sedang berlangsung, diharapkan keadilan ditegakkan dan hak negara serta masyarakat tetap terlindungi.
