BONA NEWS. Medan, Sumatera Utara. — Kota Medan kembali menjadi sorotan setelah terkuak dugaan penyimpangan dana perjalanan dinas di lingkungan Sekretariat DPRD Kota Medan.

Temuan audit resmi Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) Perwakilan Sumatera Utara) mengungkap adanya kelebihan bayar perjalanan dinas sebesar Rp 7,6 miliar, dengan sisa Rp 4,43 miliar yang belum dikembalikan ke kas daerah hingga pertengahan 2025.

Temuan ini bukan sekadar kesalahan administratif, melainkan indikasi adanya praktik penyalahgunaan anggaran secara sistematis.
Kini kasus tersebut sedang ditangani oleh Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejati Sumut), namun hingga awal November 2025, belum ada satu pun tersangka yang diumumkan.

Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI Perwakilan Sumut Nomor 43.B/LHP/XVIII.MDN/05/2024, audit terhadap penggunaan APBD Tahun Anggaran 2023 menunjukkan berbagai kejanggalan serius.

Temuan BPK meliputi:

  • Bukti hotel dan tiket pesawat yang tidak sesuai fakta lapangan (pegawai/anggota DPRD tidak menginap).
  • Pembayaran ganda terhadap transportasi dan penginapan.
  • Tidak adanya laporan hasil kegiatan dari ratusan perjalanan dinas.
  • Tarif penginapan dan transportasi yang melebihi standar Pemko Medan.

BPK menyebut bahwa total kelebihan bayar mencapai Rp 7.609.326.799,
dengan Rp 3.177.653.100 telah dikembalikan, dan Rp 4.431.673.699 masih belum disetor ke kas daerah.

Lebih lanjut, dalam LHP BPK tahun berikutnya (No. 49.B/LHP/XVIII.MDN/05/2025), disebutkan bahwa tindak lanjut atas temuan tersebut belum sepenuhnya dilakukan oleh DPRD maupun Sekretariat DPRD Medan.

Laporan berbagai media menyebutkan bahwa sebanyak 43 orang diduga terlibat dalam penggunaan dana perjalanan dinas yang tidak sesuai ketentuan.
Rinciannya terdiri dari:

  • 32 anggota dan mantan anggota DPRD Medan, serta
  • 11 aparatur sipil negara (ASN) di Sekretariat DPRD Medan.

Ke-43 nama tersebut tercantum dalam audit BPK sebagai pihak yang belum mengembalikan dana kelebihan bayar ke kas daerah. Namun sampai saat ini, belum ada publikasi resmi dari Kejati maupun Pemko Medan mengenai siapa saja mereka.

Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasi Penkum) Kejati Sumut, Husairi, menyampaikan bahwa penyelidikan terhadap kasus ini masih berlangsung:

“Benar, kami sedang melakukan penyelidikan terhadap dugaan kelebihan bayar perjalanan dinas di Sekretariat DPRD Medan. Saat ini kami masih mengumpulkan data, dokumen, dan keterangan saksi. Belum ada penetapan tersangka.” ujar Husairi kepada wartawan Katakabar.com (16 September 2025)

Hingga kini, proses baru berada di tahap klarifikasi dokumen dan pemeriksaan administratif, sebelum menentukan apakah ada unsur tindak pidana korupsi (Tipikor) yang memenuhi unsur hukum.

Sekwan DPRD Medan: Bungkam di Tengah Sorotan

Sementara publik menantikan penjelasan dari Sekretaris DPRD Kota Medan, M. Ali Sipahutar, namun hingga kini belum ada pernyataan resmi yang disampaikan kepada media.
Beberapa jurnalis yang mencoba mengonfirmasi langsung melalui pesan maupun telepon tidak mendapatkan tanggapan.

Ketiadaan klarifikasi dari pihak Sekretariat DPRD menimbulkan pertanyaan besar di masyarakat.
Apakah masalah ini sedang diselesaikan diam-diam secara internal, atau memang dibiarkan tanpa kepastian?

Sementara itu, Inspektorat Kota Medan menyebut masih melakukan klarifikasi administratif terkait temuan BPK, namun belum memberikan laporan hasil secara terbuka kepada publik.

Dugaan penyimpangan ini menunjukkan lemahnya integritas pengawasan internal DPRD. Praktik semacam ini sering terjadi dalam bentuk laporan fiktif dan dokumen pendukung palsu.

Manipulasi pertanggungjawaban perjalanan dinas bukan hal baru. Biasanya dilakukan dengan dokumen fiktif, laporan copy-paste, dan tanda tangan ganda. Jika nilainya sampai miliaran, itu bukan kesalahan administrasi biasa.

Kasus ini berpotensi menjadi contoh buruk bagi tata kelola keuangan daerah. Banyak netizen mengingikan agar Kejatisu harus berani naikkan kasus ini ke penyidikan karenu Uang Rp 4,4 miliar itu milik rakyat. Jika dibiarkan maka citra lembaga legislatif akan rusak total.

Saatnya Revolusi Etika di DPRD

Pemerhati Sosial dan Kebijakan Publik, Bobby Apriliano, turut memberikan pandangan tajam atas kasus ini.
Menurutnya, penyimpangan dalam perjalanan dinas bukan sekadar masalah akuntansi, melainkan masalah moral dan integritas wakil rakyat.

“Kita tidak hanya bicara angka Rp 4,4 miliar, tetapi soal nilai kejujuran dalam pelayanan publik. DPRD seharusnya menjadi pengawas anggaran, bukan pelaku penyimpangan. Ini ironi besar dalam demokrasi lokal,” ujar Bobby Apriliano, Sabtu (1/11/2025).

Bobby menambahkan, praktik pengembalian uang tanpa proses hukum tidak menyelesaikan akar persoalan:

“Sering kali kasus seperti ini ditutup dengan alasan administratif. Tapi publik butuh transparansi dan tanggung jawab moral, bukan sekadar formalitas pengembalian dana.” jelas Bobby Apriliano.

Ia juga mendesak agar laporan tindak lanjut BPK dan hasil penyelidikan Kejati dibuka ke publik secara transparan, agar masyarakat mengetahui sejauh mana proses penegakan integritas dijalankan.

“Kalau kita ingin membangun kepercayaan publik, kuncinya adalah keterbukaan,” tegas Bobby Apriliano.

Dari Audit ke Ranah Hukum: Proses yang Harus Tegak Lurus

Secara hukum, temuan BPK tidak otomatis berarti adanya korupsi.
Namun jika terbukti ada unsur penyalahgunaan wewenang, perbuatan melawan hukum, dan kerugian negara, maka pelaku dapat dijerat Pasal 2 atau 3 UU Tipikor dengan ancaman maksimal 20 tahun penjara.

Ketiadaan tersangka hingga kini menandakan bahwa kasus ini masih di zona “abu-abu”, antara pelanggaran administratif dan indikasi pidana.
Jika tak ada progres hukum, publik bisa menilai bahwa kasus ini akan berakhir di meja kompromi, bukan keadilan.

Dalam rekomendasinya, BPK meminta Wali Kota Medan untuk:

  • Memerintahkan Sekwan menagih seluruh dana kelebihan bayar,
  • Memberikan sanksi kepada pejabat yang lalai,
  • Melaporkan hasil tindak lanjut kepada BPK dalam waktu 60 hari.

Namun, dalam laporan pemantauan Mei 2025, BPK mencatat bahwa baru 58% rekomendasi yang ditindaklanjuti, sementara sisanya masih dalam proses atau belum dilakukan sama sekali.

Hal ini memperlihatkan adanya lambannya respon birokrasi terhadap akuntabilitas publik.

Integritas dan Kepercayaan Publik di Ujung Tanduk

Kasus dugaan korupsi perjalanan dinas DPRD Medan membuka kembali luka lama tentang rendahnya budaya integritas di lembaga wakil rakyat.
Dengan fakta:

  • Temuan BPK: Rp 7,6 miliar kelebihan bayar,
  • Sisa Rp 4,43 miliar belum dikembalikan,
  • 43 nama dalam audit,
  • Belum ada tersangka, dan
  • Sekwan masih bungkam,

maka publik berhak bertanya: “Siapa yang bertanggung jawab atas uang rakyat ini?”

Sebagaimana disampaikan Bobby Apriliano,

“Integritas bukan hanya soal tidak mencuri, tapi juga soal berani mempertanggungjawabkan kesalahan di depan publik. Medan butuh pemimpin yang jujur, bukan yang pandai bersembunyi di balik laporan.”

Kasus ini kini menjadi ujian bagi Kejati Sumut, BPK, dan DPRD Medan — apakah mereka akan menegakkan keadilan, atau justru membiarkan keheningan menjadi pelindung bagi penyimpangan.