BONA NEQS. Doha, Qatar. –  Konferensi tingkat tinggi global untuk pembangunan sosial, Second World Summit for Social Development (WSSD2), resmi dibuka hari ini di Doha, Qatar, dan dijadwalkan berlangsung hingga 6 November 2025. Dilansir dari United Nations Department of Economic and Social Affairs (UN DESA), acara ini diselenggarakan berdasarkan resolusi Majelis Umum PBB A/RES/78/261 dan A/RES/78/318.

Pra-pertemuan (pre-summit) telah dimulai sejak 3 November 2025, menekankan kolaborasi lintas sektor antara pemerintah, organisasi masyarakat sipil, sektor swasta, dan akademisi untuk memperkuat upaya pembangunan sosial global.

WSSD2 menitikberatkan tiga pilar sosial yang telah menjadi tonggak sejak KTT pertama di Kopenhagen pada 1995:

  1. Pengentasan kemiskinan – mengurangi jumlah orang yang hidup di bawah garis kemiskinan dan memastikan akses terhadap layanan sosial dasar, termasuk kesehatan, pendidikan, dan kebutuhan pokok.
  2. Pekerjaan layak dan produktif – menjamin perlindungan tenaga kerja, kesempatan kerja yang setara, upah yang adil, serta pembangunan kapasitas bagi tenaga kerja muda dan kelompok rentan.
  3. Integrasi sosial dan inklusi – memastikan tidak ada kelompok masyarakat yang tertinggal, termasuk perempuan, anak-anak, penyandang disabilitas, dan masyarakat marginal.

Dokumen resmi Doha Political Declaration yang akan diadopsi di KTT menyatakan:

“The Declaration reaffirms that poverty eradication, full and productive employment and decent work for all, and social integration are essential to achieving sustainable development.”
Kutipan ini diambil dari ikhtisar dokumen inter-pemerintah yang diterbitkan oleh SDG Knowledge Hub. Dokumen tersebut juga menekankan bahwa:
“Social justice cannot be attained in the absence of peace and security or in the absence of respect for all human rights and fundamental freedoms.”

KTT ini juga menghadirkan sesi-sesi khusus dan meja bundar tingkat tinggi yang menekankan implementasi kebijakan sosial berbasis bukti dan inovasi, termasuk strategi pemberdayaan komunitas, pengembangan ekonomi lokal, dan penanganan ketimpangan digital.

Sekretaris-Jenderal PBB, António Guterres, dalam sambutannya menyampaikan:

“The Summit outcome could be an update of the 1995 Copenhagen Declaration on Social Development and give momentum towards achieving the Sustainable Development Goals.”

Sheikha Alya Ahmed bin Saif Al-Thani, Duta Besar Qatar untuk PBB, menambahkan:

“It is an opportunity after 30 years to build momentum, to reaffirm our commitment to the Copenhagen plan of action and to adopt a new outcome that will galvanize the achievement of the 2030 Agenda.”

Sementara itu, Li Junhua, Under-Secretary-General UN DESA, dilansir mengatakan:

“The Second World Summit for Social Development will be very uniquely positioned to build on previous commitments and deliver a meaningful outcome that addresses social issues and also generates more impact on people’s lives and livelihoods.”

Menurut laporan Economic Commission for Latin America and the Caribbean (ECLAC), WSSD2 muncul di tengah tantangan global yang semakin kompleks: percepatan digitalisasi, perubahan demografi, urbanisasi masif, dan ketimpangan ekonomi yang masih tinggi.
ECLAC menegaskan bahwa “tiga dekade setelah KTT Kopenhagen 1995, sangat penting menempatkan pengalaman dan harapan negara berkembang di pusat debat global.”

Selain itu, KTT ini menjadi kesempatan untuk meninjau kemajuan tiga pilar sosial, menilai kesenjangan yang masih ada, serta mendorong inovasi kebijakan di tingkat nasional dan internasional.

Bagi Indonesia, WSSD2 bukan sekadar forum diplomasi, tetapi juga kesempatan strategis untuk memperkuat kebijakan sosial nasional. Beberapa peluang yang dapat dimanfaatkan antara lain:

  • Penguatan kebijakan nasional: Memperluas jaring pengaman sosial, perlindungan sosial bagi pekerja, dan inklusi digital untuk wilayah terpencil.
  • Dialog dan pertukaran praktik terbaik: Mengadopsi pengalaman negara lain dalam pengentasan kemiskinan, pekerjaan layak, dan integrasi sosial.
  • Posisi di forum global: Menegaskan Indonesia sebagai negara berkembang yang berkomitmen pada pembangunan sosial berkelanjutan.

Namun, para pengamat menekankan bahwa adopsi deklarasi bukanlah akhir dari proses. Tantangan terbesar adalah implementasi nyata, termasuk alokasi anggaran yang memadai, koordinasi lintas kementerian, monitoring, dan akuntabilitas. Sebagaimana diingatkan dalam laporan pers PBB:

“Unless we act with foresight, the gaps we seek to close will only deepen.”

Pembukaan WSSD2 di Doha menandai kembalinya isu sosial sebagai agenda prioritas global. Deklarasi Doha Political Declaration akan menjadi pedoman, tetapi keberhasilan sesungguhnya ditentukan oleh bagaimana negara-negara, termasuk Indonesia, menerjemahkan komitmen tersebut menjadi aksi nyata di lapangan.

Seperti ditegaskan oleh Sekretaris-Jenderal PBB:

“Without global commitment to social development, sustainable development cannot be achieved.”

Bagi Indonesia dan negara berkembang lainnya, KTT ini adalah momentum strategis untuk memastikan bahwa pembangunan sosial inklusif bukan sekadar slogan, tetapi menjadi kenyataan bagi seluruh masyarakat.