BONA NEWS. Medan, Sumatera Utara. – Demokrasi yang Kian Hampa Makna, Indonesia kerap membanggakan diri sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia. Setiap lima tahun, jutaan rakyat mendatangi bilik suara untuk memilih pemimpin dari tingkat desa hingga presiden. Namun di balik gemerlap pesta demokrasi, muncul pertanyaan mendasar: apakah demokrasi kita masih berjiwa? Atau justru telah kehilangan nilai dan nurani yang menjadi ruhnya?

Demokrasi semestinya menjadi sistem yang menempatkan rakyat sebagai sumber kekuasaan tertinggi. Tetapi dalam praktiknya, demokrasi kini sering kali menjadi panggung elite politik untuk mempertahankan kekuasaan, bukan memperjuangkan kepentingan publik. Fenomena ini membuat banyak pihak menilai bahwa demokrasi Indonesia sedang mengalami “kehilangan jiwa” — kehilangan idealisme, etika, dan arah moral.

Politik Transaksional: Ketika Suara Rakyat Jadi Komoditas

Salah satu ciri utama dari demokrasi tanpa jiwa adalah maraknya politik transaksional. Dalam banyak pemilihan umum, suara rakyat seolah telah menjadi komoditas yang bisa diperjualbelikan. Politik uang, yang semula dianggap praktik busuk, kini justru mulai dianggap “lumrah” oleh sebagian masyarakat.

Data dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menunjukkan, pada Pemilu 2024 terdapat lebih dari 800 kasus pelanggaran politik uang di berbagai daerah. Angka ini meningkat dibanding Pemilu 2019 yang mencatat sekitar 500 kasus serupa. Ironisnya, sebagian besar pelaku tidak pernah mendapat hukuman berat, bahkan ada yang tetap melenggang menjadi pejabat publik.

“Fenomena ini menunjukkan bahwa politik uang sudah bukan lagi praktik tersembunyi, melainkan menjadi bagian dari budaya politik yang korosif,” ujar Dr. Wahyudi Rahmat, pengamat politik, dalam sebuah diskusi publik di Yogyakarta, Selasa (5/11/2025).

Ia menilai, selama masyarakat masih melihat politik sebagai ajang “bagi-bagi rezeki” sesaat, maka demokrasi hanya akan menjadi ritual formal tanpa nilai moral.

Partai Politik Kehilangan Ideologi

Selain persoalan transaksional, lemahnya ideologi partai juga menjadi tanda pudarnya jiwa demokrasi. Hampir semua partai besar di Indonesia kini mengklaim sebagai partai nasionalis, religius, atau kerakyatan — namun tanpa penjelasan ideologis yang konkret.

Menurut riset Lembaga Survei Nasional (LSN) 2025, sebanyak 72% responden tidak mengetahui secara jelas perbedaan ideologi antarpartai politik. Bahkan, 61% menyatakan memilih calon berdasarkan popularitas atau bantuan sosial, bukan program kerja.

“Partai politik seharusnya menjadi sekolah demokrasi, tempat rakyat belajar tentang nilai dan gagasan,” kata Bobby Apriliano, pemerhati sosial dan kebijakan publik asal Sumatera Utara, Jumat (7/11/2025). “Tapi kini partai berubah menjadi korporasi politik. Loyalitas kader bukan lagi kepada ideologi, melainkan kepada pemilik modal dan elit kekuasaan.”

Pernyataan itu menggambarkan kenyataan bahwa demokrasi tanpa pendidikan politik yang sehat hanya akan melahirkan generasi pragmatis — politisi yang mahir berjanji, namun miskin integritas.

Rakyat yang Apatis, Pemimpin yang Sinis

Fenomena lain yang memperkuat gejala “demokrasi tanpa jiwa” adalah meningkatnya apatisme publik. Banyak warga yang merasa suaranya tak lagi berarti karena kebijakan pemerintah sering kali tidak berpihak pada kepentingan mereka.

Menurut Survei Indikator Politik Indonesia (Agustus 2025), tingkat kepercayaan publik terhadap partai politik hanya berada di angka 28%, sementara terhadap DPR bahkan lebih rendah, yakni 23%. Angka ini merupakan yang terendah dalam satu dekade terakhir.

Rakyat kehilangan kepercayaan karena tidak melihat perubahan nyata. Pemilu datang dan pergi, tapi kehidupan mereka tetap sama, Ketika publik apatis dan elite politik sinis, maka demokrasi berhenti hanya pada prosedur — bukan pada semangat.

Demokrasi Tanpa Nurani: Ketika Kekuasaan Menjadi Tujuan Akhir

Demokrasi yang sejati seharusnya melahirkan kepemimpinan berjiwa nurani, yakni pemimpin yang mendengar jeritan rakyat kecil dan menolak praktik korupsi. Namun kini, nurani politik seolah mati perlahan.

Kasus korupsi pejabat publik, dari kepala daerah hingga menteri, masih terus berulang. Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan, sejak 2020 hingga 2025 terdapat lebih dari 420 pejabat publik yang ditangkap karena korupsi. Ironisnya, sebagian besar berasal dari partai-partai besar yang mengaku memperjuangkan rakyat.

Fenomena ini memperlihatkan bahwa demokrasi tanpa etika akan mudah tergelincir menjadi oligarki terselubung — di mana segelintir orang mengendalikan kekuasaan melalui uang dan jaringan politik.

“Demokrasi kita semakin kehilangan arah moral. Kekuasaan bukan lagi alat untuk memperbaiki nasib rakyat, tapi menjadi tujuan itu sendiri. Inilah yang saya sebut sebagai demokrasi tanpa jiwa,” tegas Bobby Apriliano, Pendiri BASL Center.

Meski demikian, harapan belum sepenuhnya sirna. Di tengah kemerosotan moral politik, masih ada kelompok masyarakat sipil, jurnalis independen, dan aktivis muda yang terus berjuang menjaga nurani demokrasi.

Media yang bebas dan kritis memiliki peran vital untuk mengembalikan akal sehat publik. Namun, di era digital saat ini, tantangan terbesar datang dari disinformasi dan propaganda politik yang membanjiri ruang media sosial.

Menurut laporan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), selama masa Pemilu 2024, terdapat lebih dari 5.000 konten hoaks politik yang tersebar di berbagai platform digital. Propaganda semacam ini tidak hanya menyesatkan publik, tetapi juga merusak kepercayaan terhadap sistem demokrasi itu sendiri.

Jalan Menuju Demokrasi yang Bernurani

Demokrasi sejati membutuhkan jiwa — nilai, etika, dan tanggung jawab moral. Ia bukan sekadar tentang hak memilih, tetapi juga tentang kesadaran untuk memilih dengan hati dan pikiran yang jernih.

Para pemimpin perlu kembali memahami bahwa kekuasaan hanyalah amanah. Rakyat perlu disadarkan bahwa kedaulatan bukan hanya hak untuk mencoblos, tetapi juga kewajiban untuk mengawasi.

Demokrasi tanpa nilai hanyalah mesin kosong yang berisik. Ia berjalan, tapi tanpa arah. Jiwa demokrasi adalah nurani — tanpa itu, kita hanya punya sistem, bukan peradaban.

Demokrasi Indonesia sedang berada di persimpangan. Di satu sisi, ia masih menjadi sistem terbaik untuk menampung aspirasi rakyat. Namun di sisi lain, ia tengah mengalami krisis jiwa yang mengancam masa depannya.

Jika politik terus kehilangan nilai dan nurani, maka demokrasi hanya akan menjadi topeng bagi kekuasaan. Saat itu terjadi, rakyat bukan lagi pemilik negeri ini — melainkan penonton dalam panggung politik yang semakin jauh dari keadilan.

Sudah saatnya bangsa ini merenung: apakah kita masih memiliki demokrasi yang hidup dengan nilai dan nurani, atau hanya sekadar demokrasi tanpa jiwa?