BONA NEWS. Jakarta, Indonesia. — Pemerintah Indonesia tengah mempertimbangkan langkah tegas terhadap konten video game yang dinilai mengandung unsur kekerasan. Wacana ini mencuat usai insiden ledakan di SMA Negeri 72 Jakarta, yang menimbulkan kepanikan publik dan membuka kembali perdebatan tentang dampak psikologis permainan digital terhadap anak dan remaja.
Meskipun hasil investigasi belum dirilis secara lengkap, sejumlah pihak menilai bahwa kebiasaan bermain game kekerasan bisa saja turut mempengaruhi perilaku pelaku insiden. Dalam merespons kekhawatiran itu, pemerintah mulai membahas kemungkinan pembatasan atau pengetatan regulasi terhadap game tertentu.
Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi mengatakan bahwa Presiden Prabowo Subianto telah meminta kementerian terkait untuk melakukan kajian menyeluruh mengenai dampak konten digital terhadap perilaku anak muda.
“Presiden meminta agar evaluasi dilakukan secara komprehensif. Jangan sampai game yang mengandung kekerasan beredar bebas tanpa pengawasan usia dan konten,” ujar Prasetyo Hadi di Jakarta, Sabtu (8/11/2025).
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) disebut akan menjadi ujung tombak pengkajian ini. Dalam waktu dekat, Kominfo akan meninjau ulang sistem klasifikasi dan distribusi game interaktif elektronik, khususnya yang mengandung unsur senjata api, pertempuran, dan kekerasan ekstrem.
Sumber di internal Kominfo mengonfirmasi bahwa pembahasan dilakukan dalam kerangka Peraturan Menteri Kominfo Nomor 2 Tahun 2024 tentang Klasifikasi Permainan Interaktif Elektronik. Regulasi ini sebelumnya sudah mengatur sistem rating usia, mulai dari 3+, 7+, 13+, 15+, hingga 18+, namun evaluasi akan difokuskan pada aspek penegakan dan sanksi terhadap pelanggaran distribusi.
KPAI Dukung Pembatasan: Perlindungan Anak Harus Jadi Prioritas
Dukungan terhadap wacana pembatasan datang dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Lembaga ini menilai, pengawasan terhadap konten digital anak masih lemah dan memerlukan pembaruan aturan agar sesuai dengan perkembangan zaman.
“KPAI mendukung langkah pemerintah untuk memperketat pengawasan game perang atau game yang mengandung kekerasan. Ini penting sebagai bagian dari perlindungan psikologis anak,” kata Retno Listyarti, Komisioner Bidang Pendidikan KPAI, dalam keterangan tertulisnya, Minggu (9/11/2025).
Menurut KPAI, game seperti PlayerUnknown’s Battlegrounds (PUBG), Call of Duty, dan beberapa game simulasi perang lainnya berpotensi menormalisasi kekerasan jika dimainkan tanpa batas usia dan waktu. Lembaga itu mendorong kerja sama antara Kominfo, Kementerian Pendidikan, dan platform distributor game untuk memastikan penerapan rating dilakukan secara nyata, bukan formalitas.
Sementara itu, kalangan psikolog menilai pentingnya kehati-hatian dalam menarik kesimpulan. Menurut Dr. Dini Rahmawati, psikolog anak dari Universitas Indonesia, perilaku agresif remaja biasanya muncul dari berbagai faktor, bukan semata karena game.
“Game kekerasan bisa menjadi stimulus, tapi bukan penyebab tunggal. Faktor lingkungan, pola asuh, tekanan sosial, dan kondisi emosional anak jauh lebih kompleks,” kata Dini kepada wartawan, Sabtu (8/11/2025).
Ia menyarankan agar pemerintah tidak serta-merta menyalahkan game, tetapi memperkuat pendidikan karakter, literasi digital, dan pengawasan keluarga. “Pencegahan yang efektif adalah kombinasi antara regulasi dan edukasi,” tambahnya.
Hingga Minggu (9/11/2025), belum ada keputusan resmi mengenai pembatasan atau pelarangan game tertentu. Pemerintah baru sebatas melakukan kajian internal lintas kementerian.
Menurut sumber di Kominfo, opsi yang sedang dibahas meliputi:
- Pembatasan distribusi game dengan konten kekerasan ke anak di bawah usia 18 tahun;
- Peninjauan ulang izin edar game dengan unsur kekerasan berlebihan;
- Penerapan sistem verifikasi usia pengguna;
- Sanksi administratif untuk platform yang tidak menerapkan rating usia dengan benar.
Namun, rencana tersebut masih bersifat wacana dan belum ada target waktu penerapan.
Konteks Global: Negara Lain Juga Batasi Game Kekerasan
Indonesia bukan satu-satunya negara yang mempertimbangkan pembatasan konten game. Tiongkok, Korea Selatan, dan Jerman telah menerapkan aturan ketat terhadap permainan dengan unsur kekerasan dan pembelian dalam aplikasi (in-app purchase) bagi anak di bawah umur.
Di Tiongkok, misalnya, pemerintah membatasi waktu bermain online untuk remaja hanya tiga jam per minggu. Sementara di Jerman, game seperti Mortal Kombat dan Manhunt sempat dilarang beredar karena dinilai terlalu brutal.
Langkah-langkah seperti ini menjadi referensi bagi pembuat kebijakan di Indonesia untuk menyesuaikan dengan konteks sosial dan budaya lokal.
Meski banyak yang mendukung, wacana pembatasan ini juga memunculkan kekhawatiran dari komunitas gamer dan pelaku industri kreatif. Mereka khawatir kebijakan yang terlalu ketat justru akan mematikan ekosistem e-sports dan industri game nasional yang tengah tumbuh pesat.
Ketua Asosiasi Game Indonesia (AGI), Andri Setiawan, mengingatkan bahwa pembatasan perlu dilakukan dengan pendekatan yang proporsional.
“Game adalah bagian dari industri kreatif. Jangan sampai satu kasus membuat pemerintah menutup peluang besar ekonomi digital yang sedang berkembang,” ujarnya.
Menurutnya, solusi terbaik adalah memperkuat sistem rating dan literasi digital keluarga, bukan pelarangan sepihak.
“Anak-anak tetap bisa bermain, asal orang tua tahu game apa yang mereka mainkan dan berapa lama mereka bermain,” tambah Andri.
Regulasi dan Literasi Digital
Menkominfo akan menggelar forum koordinasi nasional pekan depan dengan melibatkan KPAI, Kemdikbudristek, dan pelaku industri game. Agenda utama adalah membahas skema pengawasan dan sistem rating yang lebih transparan serta mekanisme pelaporan konten berisiko tinggi.
Jika disepakati, rencana pembatasan ini akan dituangkan dalam revisi peraturan menteri pada awal 2026. Pemerintah juga berencana menggelar kampanye literasi digital nasional untuk meningkatkan kesadaran orang tua terhadap dampak konten digital terhadap anak.
Wacana pembatasan video game kekerasan pasca insiden ledakan di SMA Negeri 72 Jakarta menandai babak baru hubungan antara dunia digital dan kebijakan publik di Indonesia. Pemerintah kini dihadapkan pada dilema: bagaimana menjaga keamanan dan moralitas generasi muda tanpa menghambat kebebasan berekspresi dan pertumbuhan ekonomi kreatif.
Selagi kajian terus berjalan, publik menantikan keseimbangan antara perlindungan anak, tanggung jawab industri, dan kebijakan yang berkeadilan bagi semua pihak.
