BONA NEWS. Jakarta, Indonesia. — Pemerintah Indonesia resmi menetapkan Presiden ke-2 Republik Indonesia, Almarhum Jenderal Besar TNI Haji Muhammad Soeharto, sebagai Pahlawan Nasional.
Keputusan ini diumumkan dalam upacara kenegaraan di Istana Negara, Jakarta, yang dipimpin langsung oleh Presiden Prabowo Subianto, bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan Nasional 2025.
Upacara penganugerahan gelar tersebut tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 116/TK/Tahun 2025 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional, yang ditandatangani pada 8 November 2025.
Pemerintah menyatakan, gelar diberikan sebagai bentuk penghargaan atas jasa besar Suharto terhadap bangsa dan negara, terutama dalam menjaga stabilitas nasional, pembangunan ekonomi, dan penegakan kedaulatan Indonesia.
Dalam acara yang berlangsung khidmat di Istana Negara, Presiden Prabowo Subianto menyerahkan langsung tanda kehormatan tersebut kepada ahli waris keluarga Soeharto.
Hadir dalam momen tersebut dua anak Suharto, yakni Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut Soeharto) dan Bambang Trihatmodjo, yang menerima penghargaan atas nama keluarga.
“Kami menerima penghargaan ini dengan rasa syukur dan hormat. Bapak (Suharto) telah mendedikasikan hidupnya untuk bangsa, dan keluarga besar kami berterima kasih atas pengakuan ini,” ujar Tutut Suharto saat ditemui wartawan seusai acara (10/11/2025).
Upacara tersebut juga dihadiri oleh sejumlah pejabat tinggi negara, di antaranya Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Fadli Zon, serta Sekretaris Militer Presiden (Sesmilpres) Brigjen TNI Wahyu Yudhayana.
Fokus pada Jasa, Bukan Kontroversi
Pemerintah menegaskan bahwa keputusan pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto bukan langkah politis, melainkan hasil kajian panjang Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.
“Proses penetapan ini melalui mekanisme ketat, sesuai dengan undang-undang dan pertimbangan historis. Kami menilai jasa-jasa besar almarhum dalam menjaga kedaulatan dan stabilitas nasional,” jelas Brigjen TNI Wahyu Yudhayana, Sekretaris Militer Presiden, dalam keterangan tertulis Kemensetneg (9/11/2025).
Senada, Menteri Kebudayaan dan Pendidikan, Fadli Zon, menyebut bahwa Suharto memiliki peran penting dalam transisi pembangunan nasional.
“Kita tidak bisa menghapus fakta bahwa di masa beliau, Indonesia berhasil membangun pondasi ekonomi dan infrastruktur yang kuat. Banyak sekolah, jalan, dan sistem pertanian yang lahir di masa itu,” ujar Fadli Zon dalam wawancara dengan Kompas TV.
Pemerintah juga menegaskan bahwa penilaian terhadap Suharto harus dilakukan secara menyeluruh, dengan mempertimbangkan konteks sejarah dan dampak kebijakannya bagi pembangunan bangsa.
Namun, langkah pemerintah tersebut menimbulkan reaksi keras dari berbagai organisasi masyarakat sipil dan pegiat hak asasi manusia.
Mereka menilai bahwa keputusan tersebut mengabaikan catatan kelam masa pemerintahan Suharto yang ditandai dengan pelanggaran HAM berat, pembatasan kebebasan sipil, serta kasus korupsi besar-besaran.
Yati Andriyani, Direktur Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), menilai gelar tersebut sebagai bentuk “pengabaian terhadap sejarah penderitaan rakyat.”
“Pemerintah seharusnya menegakkan kebenaran sejarah, bukan menghapusnya. Ribuan korban pelanggaran HAM masa lalu belum mendapatkan keadilan hingga kini,” tegas Yati dalam konferensi pers di Jakarta (10/11/2025).
Sementara itu, Amnesty International dalam pernyataan resminya menyebut keputusan ini sebagai “upaya pemutihan sejarah (whitewashing) terhadap masa kelam rezim Orde Baru.”
Organisasi tersebut menilai pemerintah seharusnya fokus pada pemulihan hak-hak korban tragedi 1965–1966 dan Timor Timur.
Dalam laporan Reuters dan AP News, kelompok aktivis dan mahasiswa menggelar aksi protes di depan Istana Negara. Para demonstran membawa poster bertuliskan “Against Hero Title for Dictator” dan “Justice for Victims of 1965”. Aksi berlangsung damai dengan pengawalan aparat keamanan.
Sejarawan Universitas Gadjah Mada, Dr. Asvi Warman Adam, menilai bahwa pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Suharto menunjukkan adanya “ketegangan antara penghargaan terhadap pembangunan dan tanggung jawab moral terhadap masa lalu.”
“Soeharto tidak bisa dilihat hitam putih. Ia punya kontribusi besar dalam pembangunan, tapi juga meninggalkan jejak pelanggaran HAM yang belum terselesaikan. Keputusan ini akan selalu menuai perdebatan,” ujar Asvi kepada wartawan, Senin (10/11/2025).
Menurutnya, keputusan ini juga memperlihatkan dinamika politik di bawah pemerintahan Prabowo Subianto, yang memiliki hubungan historis dengan keluarga Cendana.
“Kedekatan itu pasti menimbulkan persepsi politis, meskipun pemerintah berusaha menekankan sisi prosedural dan historis,” tambahnya.
Pemerhati sosial dan kebijakan publik, Bobby Apriliano menyampaikan bahwa penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden kedua RI, H. M. Soeharto, sebaiknya dipandang secara proporsional.
“Setiap keputusan negara memiliki konteks sejarah dan pertimbangan yang luas. Dalam kasus ini, kita perlu melihat Soeharto tidak hanya dari sisi kontroversinya, tetapi juga dari kontribusi konkret terhadap pembangunan ekonomi dan stabilitas nasional di masanya,” ujar Bobby Apriliano kepada media, Senin (10/11/2025).
Ia menambahkan bahwa keputusan pemerintah memberi gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto merupakan hasil kajian lembaga resmi yang melibatkan unsur akademisi, sejarawan, dan tokoh masyarakat.
“Selama prosesnya dilakukan dengan transparan dan melibatkan berbagai pandangan, penghargaan seperti ini bisa menjadi momentum refleksi sejarah bangsa, bukan sekadar perdebatan politik,” lanjut Bobby Apriliano.
Menurut Bobby Apriliano, yang terpenting setelah penganugerahan ini adalah bagaimana masyarakat dan pemerintah bersama-sama membangun kesadaran sejarah secara seimbang — mengakui jasa, namun juga tidak menutup fakta masa lalu.
“Penghargaan ini seharusnya mendorong masyarakat untuk semakin dewasa dalam menilai sejarah. Kita perlu belajar dari masa lalu agar bangsa ini terus maju dengan semangat persatuan,” tegas Bobby Apriliano.
Latar Belakang Soeharto: Dari Prajurit ke Presiden
H.M. Soeharto lahir di Kemusuk, Yogyakarta, pada 8 Juni 1921, dan memulai karier militernya sebagai prajurit KNIL sebelum bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Ia kemudian dikenal karena perannya dalam menumpas pemberontakan G30S/PKI tahun 1965, yang kemudian mengantarkannya menjadi pemimpin tertinggi militer dan akhirnya Presiden Republik Indonesia pada 1967, menggantikan Soekarno.
Selama 32 tahun berkuasa (1967–1998), masa pemerintahan Soeharto dikenal sebagai era Orde Baru, yang menekankan stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi tinggi.
Di bawah kendalinya, Indonesia mengalami peningkatan signifikan dalam pembangunan infrastruktur, pertanian (Revolusi Hijau), swasembada beras, penurunan angka kemiskinan, ekonomi stabil, niai mata uang Rupiah tinggi terhadap nilai mata uang Dollar yang rendah, dan rakyat sejahtera.
Namun, masa itu juga ditandai dengan otoritarianisme, sensor media, serta penindasan terhadap oposisi politik.
Tragedi kemanusiaan, seperti pembunuhan massal 1965–1966, operasi militer di Timor Timur, dan tragedi 1998, menjadi noda sejarah yang membayangi warisan politiknya.
Keputusan penganugerahan gelar ini juga menarik perhatian publik karena hubungan pribadi antara Prabowo Subianto dan keluarga Soeharto.
Prabowo Subianto merupakan mantan menantu Soeharto, setelah menikah dengan Siti Hediati Hariyadi (Titiek Suharto) pada 1983, sebelum keduanya bercerai di era 1998.
Analis politik dari CSIS, Arya Fernandes, mengatakan bahwa langkah ini memperlihatkan bagaimana pemerintahan Prabowo mencoba menyeimbangkan pengakuan terhadap sejarah pembangunan Orde Baru dengan tuntutan reformasi dan demokratisasi.
“Pemerintah ingin menunjukkan konsistensi dalam menghormati tokoh nasional tanpa mengabaikan sisi kelam sejarah. Namun, publik tetap akan memandangnya dalam konteks politik yang lebih luas,” ujar Arya Fernandes, Senin (10/11/2025).
10 Tokoh Penerima Gelar Pahlawan Nasional 2025
Selain (Alm) H.M. Soeharto, pemerintah juga menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada 9 tokoh lain dari berbagai daerah, berdasarkan Keppres Nomor 116/TK/2025.
Berikut daftarnya seperti dikutip dari Antaranews:
- Almarhumah Marsinah – aktivis buruh, Jawa Timur, Pahlawan Nasional Bidang Perjuangan Sosial dan Kemanusiaan.
- Almarhum K.H. Abdul Rahman Wahid – Pahlawan Nasional Bidang Perjuangan Politik dan Pendidikan Islam.
- Almarhumah Hj. Rahmah el Yunusiah, Pahlawan Nasional Bidang Perjuangan Pendidikan Islam.
- Almarhum Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, Pahlawan Nasional Bidang Perjuangan Hukum dan Politik.
- Almarhum Jenderal TNI (Purn) Sarwo Edhi Wibowo, Pahlawan Nasional Bidang Perjuangan Bersenjata.
- Almarhum Sultan M. Salabuddin, Pahlawan Nasional Bidang Perjuangan Pendidikan dan Diplomasi.
- Almarhum Tuan Randahaim Saragih, Pahlawan Nasional Bidang Perjuangan Bersenjata.
- Almarhum Zainal Abidin Syah, Pahlawan Nasional Bidang Perjuangan Politik dan Diplomasi.
- Almarhum Syaikhona Muhammad Khalil, Pahlawan Nasional Bidang Perjuangan Pendidikan Islam.
- Alamarhum Jenderal Besar TNI H. M. Soeharto – Presiden ke-2 RI, Pahlawan Nasional Bidang Perjuangan Bersenjata dan Politik.
Penetapan (Alm) H.M. Soeharto sebagai Pahlawan Nasional menjadi momen bersejarah yang kompleks bagi Indonesia.
Bagi sebagian masyarakat, keputusan ini merupakan pengakuan atas jasa besar dalam membangun negara dan menjaga stabilitas nasional.
Namun bagi lainnya, ini adalah luka lama yang belum sembuh, mengingat banyak korban yang belum mendapatkan keadilan.
Sejarawan Asvi Warman Adam menutup pandangannya dengan kalimat reflektif:
“Bangsa yang besar bukan yang melupakan masa lalunya, tetapi yang berani menghadapinya dengan jujur.”
Kini, publik menunggu langkah selanjutnya dari pemerintah — apakah penghargaan ini akan diikuti dengan upaya rekonsiliasi dan pengungkapan kebenaran sejarah, atau justru membuka kembali perdebatan panjang tentang memori Orde Baru dalam identitas bangsa Indonesia.
