Bona News. Medan, Sumatera Utara.  Dinamika politik lokal di Sumatera Utara (Sumut) kembali menjadi sorotan setelah sejumlah indikator sosial dan politik menunjukkan penurunan kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah serta lembaga legislatif. Gejolak tersebut menciptakan situasi yang disebut para pakar sebagai masa paling tidak stabil dalam satu dekade terakhir.

Sejumlah data, kritik publik, dan evaluasi organisasi sipil menunjukkan bahwa arah politik lokal di Sumut berada dalam kondisi yang perlu segera direspons dengan kebijakan yang lebih transparan dan berbasis kepentingan publik.

KONDISI TERKINI: KEPRIHATINAN SOAL LEGITIMASI POLITIK

Dalam tiga tahun terakhir, hasil survei opini publik dari beberapa lembaga nasional menunjukkan tren penurunan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga politik lokal.

  • IndoBarometer (dikutip 2024) mencatat tingkat kepuasan publik Sumut terhadap lembaga legislatif hanya 38%, salah satu yang terendah di Pulau Sumatra.
  • Lembaga Survei Indonesia (LSI) (dilansir 2025) menemukan 47% responden di Sumut menilai kebijakan pemerintah daerah tidak konsisten dan tidak berpihak pada kebutuhan masyarakat.
  • Sementara itu, laporan Pusat Kajian Politik Daerah pada awal 2025 menyebutkan meningkatnya polarisasi elite dinilai menjadi faktor dominan instabilitas politik.

Data tersebut memperlihatkan pola yang konsisten: publik semakin kehilangan kepercayaan, dan politisi daerah belum mampu membangun ruang dialog yang efektif.

FRAGMENTASI ELITE: PERSAINGAN YANG MENGHAMBAT PEMBANGUNAN

Salah satu faktor ketidakstabilan yang paling sering disebut para analis adalah fragmentasi elite politik di Sumut. Rivalitas internal partai, perebutan pengaruh dalam birokrasi, serta kompetisi menjelang Pilkada 2024–2025 membuat pengambilan keputusan di tingkat daerah cenderung tidak solid.

Menurut catatan Forum Pemerintahan Daerah Sumatera Utara, setidaknya ada 7 konflik terbuka antarelite di kabupaten/kota sepanjang 2023–2025. Konflik tersebut tidak hanya mengganggu stabilitas politik, tetapi juga menghambat:

  • pengesahan anggaran,
  • rotasi jabatan strategis,
  • hingga proyek prioritas daerah.

‘INSTABILITAS TERJADI KARENA LEMAHNYA PENGAWASAN’

Bobby Apriliano, pemerhati sosial dan kebijakan publik di Sumatera Utara, menilai bahwa krisis kepercayaan publik dipicu oleh ketidakharmonisan antara lembaga eksekutif dan legislatif. Dalam penjelasan yang diterima media pada Selasa, 2 Desember 2025, Bobby mengatakan bahwa masyarakat kini semakin kritis terhadap keputusan-keputusan politik yang dianggap tidak transparan.

“Krisis ini terjadi bukan hanya karena kesalahan satu pihak. Eksekutif dan legislatif sama-sama perlu memperkuat etika politik dan fungsi pengawasan,” ujar Bobby Apriliano, Minggu, 30 November 2025.

Ia menambahkan bahwa publik melihat adanya ketidaksinkronan kebijakan yang membuat program pembangunan berjalan tidak konsisten.

“Masyarakat sekarang menginginkan pemerintahan yang lebih terbuka. Ketika proses politik tertutup, kepercayaan publik otomatis runtuh,” tambahnya.

Pandangan ini sejalan dengan laporan organisasi masyarakat sipil yang menyoroti lemahnya komunikasi politik pemerintah daerah.

AKSI PUBLIK: MAHASISWA DAN ORGANISASI SIPIL SEMAKIN VOKAL

Di sepanjang 2024–2025, Sumut menjadi salah satu provinsi dengan intensitas aksi mahasiswa tertinggi. Berdasarkan laporan Aliansi Mahasiswa Sumatera Utara, terdapat lebih dari 30 aksi besar yang mengkritik:

  • lemahnya fungsi pengawasan DPRD,
  • dugaan kompromi politik,
  • isu tata kelola anggaran,
  • hingga keberpihakan politik lokal terhadap kelompok tertentu.

Aksi terbesar terjadi pada 28 Juli 2025, ketika Aliansi BEM SI Daerah Sumut menggelar demonstrasi bertajuk “Indonesia (C)emas” yang memuat 13 tuntutan resmi, dilansir dari dokumen aksi yang disampaikan ke media.

Gerakan-gerakan ini menunjukkan bahwa masyarakat, khususnya kaum muda, semakin tidak puas dengan kondisi politik lokal. Pemerintah daerah dianggap gagal membangun komunikasi yang konstruktif.

KETIMPANGAN PEMBANGUNAN: SUMUT UTARA MAJU, PESISIR SERTA DAERAH SELATAN TERTINGGAL

Ketimpangan pembangunan antarwilayah juga berkontribusi signifikan terhadap ketidakstabilan politik.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) Sumut 2025 menunjukkan:

  • Kota Medan, Binjai, dan Deli Serdang menyumbang lebih dari 52% PDRB provinsi.
  • Sebaliknya, kabupaten-kabupaten di wilayah pesisir timur dan selatan masih berada di kategori rendah hingga sangat rendah dalam indeks pembangunan manusia (IPM).
  • Kesempatan kerja juga terkonsentrasi di tiga wilayah tersebut, menciptakan kecemburuan politik antardaerah.

Ketimpangan ini menciptakan persepsi bahwa pemerintah provinsi lebih fokus pada “kota-kota besar”, sementara daerah lain merasa diabaikan.

BISNIS DAN POLITIK: PENGARUH KELOMPOK EKONOMI SEMAKIN KUAT

Analisis dari Institute for Regional Governance Studies pada pertengahan 2025 menyebutkan bahwa ketergantungan politik lokal pada kelompok ekonomi dominan semakin memperburuk stabilitas. Keterlibatan sejumlah pengusaha besar dalam penentuan kandidat Pilkada dan dalam distribusi proyek daerah memperkuat sentimen negatif di masyarakat.

Laporan tersebut menyebutkan setidaknya 11 kasus indikasi konflik kepentingan antara elite politik dan pelaku bisnis yang mempengaruhi agenda pembangunan. Meski banyak tudingan belum terbukti secara hukum, persepsi publik semakin tergerus. 

‘SEKARANG SEMUA TERLIHAT DI MATA PUBLIK’

Dalam analisis lanjutan, Bobby Apriliano menilai bahwa ruang digital membuat masyarakat semakin peka terhadap dinamika kekuasaan.

“Dulu orang sulit mengakses informasi politik, sekarang tidak lagi. Publik melihat, menganalisis, dan membandingkan. Karena itu, elite harus lebih hati-hati menjalankan kekuasaan,” tegas Bobby, Minggu, 30 November 2025.

Ia menambahkan bahwa stabilitas politik tidak mungkin dicapai tanpa kejujuran komunikasi, terutama dalam isu anggaran dan rotasi jabatan.

MASALAH KLASIK: ROTASI PEJABAT BERMUATAN POLITIK

Salah satu akar ketidakstabilan adalah mutasi pejabat yang terlalu sering dan bernuansa politik. Sepanjang 2023–2025, media lokal mencatat sedikitnya 230 rotasi pejabat di lingkup provinsi dan kabupaten/kota.

Organisasi ASN Reform Watch menyebutkan bahwa:

  • 40% jabatan eselon II dan III diganti lebih dari sekali dalam kurun dua tahun.
  • Rotasi tersebut tidak selalu sejalan dengan prinsip meritokrasi.
  • Akibatnya, program pembangunan tidak berjalan konsisten.

Isu mutasi pejabat menjadi salah satu penyebab utama ketidakpuasan aparatur serta keresahan publik.

PERAN MEDIA DAN INFORMASI DIGITAL

Di tengah naiknya tensi politik, media lokal dan media sosial memainkan peran sangat besar dalam membentuk persepsi publik.

Namun, maraknya informasi tidak terverifikasi memicu:

  • polarisasi,
  • persepsi keliru terhadap kebijakan,
  • dan meningkatnya emosi publik terhadap pejabat tertentu.

Karena itu, analis menekankan pentingnya pemerintah daerah untuk membangun narasi berbasis data, bukan sekadar defensif.

LANGKAH MENGATASI KRISIS KEPERCAYAAN PUBLIK

Berdasarkan analisis data, masukan publik, dan pandangan pakar, ada sejumlah langkah yang dianggap prioritas untuk memperbaiki stabilitas politik Sumatera Utara.

1. Transparansi Kebijakan

Semua proses harus terbuka: mulai dari anggaran, proyek, hingga mutasi pejabat.

2. Reformasi Birokrasi

Rotasi pejabat harus kembali pada asas kompetensi dan kinerja, bukan politik.

3. Penguatan Fungsi DPRD

DPRD harus membuka ruang dengar pendapat secara rutin dan menegaskan posisi sebagai pengawas kebijakan.

4. Pemerataan Pembangunan

Fokus tidak boleh hanya di Medan–Binjai–Deli Serdang; wilayah selatan dan pesisir butuh perhatian setara.

5. Dialog Terbuka dengan Publik

Ruang diskusi dengan mahasiswa, masyarakat sipil, dan tokoh daerah perlu dijadwalkan secara berkala.

6. Etika Politik

Pejabat publik harus memprioritaskan integritas, bukan kepentingan pribadi atau kelompok.

SUMUT BUTUH POLITIK YANG JUJUR DAN TER UKUR

Krisis kepercayaan publik yang terjadi hari ini merupakan peringatan keras bagi struktur politik di Sumatera Utara. Ketika masyarakat mulai ragu terhadap lembaga politik, stabilitas daerah ikut terancam.

Namun, krisis ini juga bisa menjadi titik balik menuju tata kelola politik yang lebih baik. Dengan komunikasi yang lebih jujur, kebijakan berbasis data, serta komitmen yang kuat dari seluruh pemangku kepentingan, Sumut dapat kembali membangun legitimasi dan kepercayaan publik.

Seperti disampaikan Bobby Apriliano:

“Jangan biarkan krisis kepercayaan menjadi permanen. Ini saatnya memperbaiki arah politik lokal dengan transparansi dan keberanian.”