Kajian, Fakta Lapangan, dan Tuntutan Pembenahan
Penulis : BOBBY APRILIANO
BONA NEWS. Medan, Sumatera Utara. — Dalam beberapa tahun terakhir, kritik terhadap kualitas infrastruktur Kota Medan semakin menguat, terutama menyangkut fasilitas pejalan kaki. Sejumlah laporan warga, catatan komunitas urban, hingga temuan pengamat tata kota menunjukkan bahwa Medan masih jauh dari kategori kota yang nyaman dan aman bagi pedestrian. Kondisi ini kontras dengan upaya pemerintah kota yang menggaungkan program perbaikan infrastruktur secara masif sejak 2021.
Faktanya, berbagai titik pusat keramaian hingga area perumahan masih memperlihatkan trotoar yang sempit, berlubang, tidak terawat, bahkan hilang sama sekali. Di sisi lain, jalur pedestrian juga sering dipakai oleh parkir liar, pedagang kaki lima, sampai utilitas kabel yang semrawut. Kombinasi faktor tersebut menyebabkan pejalan kaki menjadi kelompok paling rentan dalam sistem transportasi kota.
Lalu, apa saja akar persoalan yang membuat infrastruktur Kota Medan dinilai ‘tidak ramah pejalan kaki’? Berikut rangkuman lengkap berdasarkan fakta lapangan, pandangan urban planner, dan data pendukung.
1. Trotoar Banyak Rusak dan Tidak Terstandarisasi
Kritik paling mendasar adalah kondisi fisik trotoar yang tidak merata. Di kawasan seperti Jalan Gatot Subroto, Jalan Sisingamangaraja, Jalan SM Raja, hingga sebagian besar ruas di Medan Baru dan Medan Area, struktur trotoar terlihat tidak proporsional. Ada yang terlalu sempit, terlalu tinggi, dan bahkan tidak memiliki jalur pemandu bagi penyandang disabilitas.
Selain itu, banyak trotoar ditemukan berlubang akibat tiang utilitas, galian proyek, atau paving block yang tidak dipasang dengan standar konstruksi yang benar. Pejalan kaki, terutama lansia, anak-anak, dan disabilitas, menghadapi risiko tersandung atau jatuh.
Di beberapa titik, trotoar yang cukup bagus justru tidak berkesinambungan. Setelah 10–20 meter baik, sisanya putus dan berganti badan jalan. Ketidakterpaduan ini membuat pejalan kaki tidak memiliki jalur yang konsisten sepanjang perjalanan.
2. Trotoar Beralih Fungsi Menjadi Lahan Parkir dan PKL
Fakta berikutnya adalah peralihan fungsi trotoar untuk aktivitas lain selain berjalan.
Parkir Liar
Di pusat kota—seperti Jalan Zainul Arifin, Jalan Perniagaan, Jalan Ahmad Yani, Jalan Brigjen Katamso, serta area Petisah—trotoar sering dijadikan area parkir mobil dan motor. Bahkan di beberapa titik, petugas parkir menjadikannya bagian dari area resmi pungutan parkir tepi jalan.
Fenomena ini membuat pejalan kaki harus turun ke badan jalan dan berdampingan dengan kendaraan bermotor yang melintas, meningkatkan risiko kecelakaan.
Pedagang Kaki Lima (PKL)
Bagi banyak warga, trotoar juga kerap dipenuhi lapak sementara pedagang, terutama pada jam-jam tertentu. Aktivitas ekonomi ini sebenarnya menjadi denyut sosial kota, tetapi tanpa penataan, fungsi trotoar sebagai ruang publik menjadi hilang.
Keberadaan PKL mempersempit ruang gerak pedestrian dan terkadang memblokir trotoar sepenuhnya.
3. Kabel Udara Semrawut dan Utilitas Tidak Tertata
Masalah yang sering dikeluhkan adalah kabel-kabel utilitas yang menggantung rendah atau menumpuk di tepi jalan. Di beberapa ruas jalan, gumpalan kabel hitam yang menjuntai bahkan menyentuh trotoar, mengganggu estetika dan membahayakan pengguna jalan.
Selain kabel, lubang utilitas yang dibiarkan terbuka atau tidak memiliki penutup yang kuat juga menjadi ancaman. Banyak kasus pejalan kaki terpeleset atau cedera karena terperosok ke lubang tersebut.
Minimnya koordinasi antarpenyedia utilitas — listrik, telekomunikasi, hingga air — membuat masalah ini terus berulang.
4. Kurangnya Zebra Cross dan Rambu Penyeberangan
Medan juga kekurangan fasilitas penyeberangan yang memadai. Banyak ruas yang padat aktivitas tidak memiliki zebra cross yang jelas, lampu penyeberangan, atau marka kejut. Ini menyebabkan masyarakat harus menyebrang secara mandiri tanpa bantuan fasilitas keselamatan.
Padahal, menurut standar keselamatan transportasi kota, setiap 100–150 meter di area aktivitas padat seharusnya tersedia fasilitas penyeberangan yang terstandar.
Beberapa zebra cross memang ada, tetapi memudar, tidak dirawat, atau letaknya justru tidak strategis.
5. Lalu Lintas Padat dan Kendaraan Mendominasi Ruang Kota
Struktur ruang Kota Medan masih sangat didominasi kendaraan bermotor. Pelebaran jalan, pembangunan jembatan, hingga peningkatan kapasitas lalu lintas masih menjadi program prioritas, sementara fasilitas pedestrian sering dianggap sekunder.
Akibatnya:
- Kecepatan kendaraan sering tinggi di kawasan pemukiman.
- Ruang publik untuk pejalan kaki minim.
- Tidak ada jalur hijau atau pohon peneduh yang memadai.
Padahal, kota dengan kualitas pedestrian tinggi umumnya menyediakan jalur teduh, akses aman, dan kenyamanan visual.
6. Pembangunan Infrastruktur Tidak Berorientasi pada TOD
Transport Oriented Development (TOD) menekankan keterhubungan antara transportasi publik dan mobilitas pejalan kaki. Namun, di Medan, banyak halte, terminal, dan simpang strategis tidak memiliki akses pedestrian yang baik.
Contoh:
- Akses menuju halte bus di Jalan Adam Malik terputus oleh parkir liar.
- Terminal Amplas dan Pinang Baris belum memiliki jalur pedestrian rapi dan terintegrasi.
- Kawasan stasiun kereta belum seluruhnya ramah disabilitas.
Ini membuat masyarakat lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi ketimbang berjalan.
7. Ruang Publik Terbatas dan Minim Pohon Peneduh
Medan merupakan kota metropolitan dengan suhu udara yang cukup tinggi. Namun, jalur pedestrian justru minim pohon peneduh. Di banyak titik, trotoar berada di bawah paparan langsung matahari tanpa tempat berteduh.
Ruang publik seperti taman kota pun jumlahnya terbatas. Padahal ruang hijau berfungsi bukan hanya untuk estetika, tetapi juga untuk membuat pengalaman berjalan lebih nyaman dan mengurangi polusi.
8. Keselamatan Pejalan Kaki Masih Rendah
Data kecelakaan lalu lintas menunjukkan bahwa pejalan kaki merupakan salah satu kelompok yang paling rentan. Walau angka resmi berbeda-beda tiap tahun, kecelakaan yang melibatkan pedestrian tetap tinggi, terutama di kawasan padat aktivitas.
Keluhan warga yang sering muncul adalah:
- Pengendara tidak menghargai zebra cross.
- Lampu merah sering diterobos.
- Trotoar terhalang proyek pembangunan.
- Tidak ada petugas yang mengatur penyeberangan di lokasi ramai seperti sekolah, pusat belanja, dan pasar.
Keselamatan yang rendah ini membuat banyak orang enggan berjalan kaki, meskipun jaraknya pendek.
9. Kesadaran Pengguna Jalan Masih Rendah
Selain faktor infrastruktur, pola perilaku masyarakat juga memberi kontribusi. Banyak pengendara yang masih memprioritaskan kecepatan sendiri tanpa memperhatikan hak pejalan kaki.
Sementara itu, kurangnya edukasi dan penegakan aturan membuat budaya “menguasai jalan” lebih dominan dibandingkan budaya berbagi ruang.
Padahal UU No. 22 Tahun 2009 menegaskan bahwa pejalan kaki adalah pengguna jalan prioritas.
10. Kurangnya Penegakan Hukum Terhadap Pelanggar
Beberapa regulasi sebenarnya sudah tersedia, termasuk aturan mengenai parkir, penggunaan trotoar, dan ketertiban utilitas. Namun, implementasinya masih lemah.
Kasus-kasus yang sering terjadi:
- Parkir liar dibiarkan beroperasi di trotoar.
- Lapak yang menutup jalur pejalan kaki jarang ditertibkan kecuali operasi sesaat.
- Perusahaan utilitas yang merusak trotoar tidak selalu diminta mengembalikan sesuai standar.
Penegakan hukum yang tidak konsisten membuat pelanggaran terus berulang.
11. Kurangnya Masterplan Pedestrian yang Menyeluruh
Pemerintah kota memang memiliki beberapa program revitalisasi, seperti pembangunan pedestrian di pusat kota, kawasan heritage, dan titik-titik wisata. Namun, hingga kini belum ada masterplan pedestrian skala kota yang benar-benar komprehensif.
Akibatnya:
- Perbaikan dilakukan parsial dan tidak terintegrasi.
- Jalur pedestrian tidak membentuk jaringan yang berkesinambungan.
- Prioritas pembangunan tidak jelas berdasarkan mobilitas masyarakat.
Tanpa masterplan, pembangunan hanya menjadi proyek jangka pendek, bukan strategi jangka panjang.
Menuju Kota Medan yang Lebih Ramah Pejalan Kaki
Meskipun menghadapi banyak tantangan, sebagian wilayah Medan sebenarnya mulai berbenah. Pemerintah kota telah memulai revitalisasi di kawasan Lapangan Merdeka, jalan protokol, dan area wisata budaya Kesawan. Perbaikan drainase dan pelebaran trotoar juga dilakukan di beberapa titik.
Namun, upaya tersebut membutuhkan percepatan dan konsistensi, serta pengawasan ketat agar hasilnya benar-benar sesuai standar ramah pedestrian.
Agar Medan dapat berubah menjadi kota yang nyaman bagi pejalan kaki, beberapa langkah strategis perlu diprioritaskan:
1. Penyusunan Masterplan Pedestrian skala kota
Masterplan ini harus mencakup:
- Jalur prioritas,
- Konektivitas antar-kawasan,
- Standar teknis trotoar,
- Integrasi dengan transportasi publik,
- Ruang untuk disabilitas.
2. Penegakan hukum tegas terhadap pengalihfungsian trotoar
Termasuk menindak parkir liar, PKL yang menutup jalur, dan utilitas yang merusak.
3. Pembenahan kabel udara dan utilitas bawah tanah
Kabel perlu dirapikan atau dialihkan ke sistem ducting.
4. Penyediaan zebra cross, marka, dan lampu penyeberangan
Terutama di sekolah, pasar, dan pusat aktivitas.
5. Penanaman pohon peneduh dan penambahan ruang hijau
Agar pengalaman berjalan lebih nyaman.
6. Edukasi dan kampanye budaya tertib berlalu lintas
Untuk meningkatkan kesadaran bahwa pejalan kaki adalah prioritas.
Predikat “tidak ramah pejalan kaki” bukan sekadar kritik, melainkan cermin bahwa kota masih menempatkan mobilitas kendaraan di atas kenyamanan manusia. Padahal, kota yang berkembang modern dan sehat selalu dimulai dari keberpihakan terhadap pedestrian.
Medan memiliki potensi, sumber daya, dan momentum untuk berbenah. Namun perubahan hanya dapat terjadi jika pemerintah, masyarakat, dan pelaku usaha bekerja bersama memastikan trotoar, zebra cross, utilitas, dan ruang publik benar-benar menjadi milik pejalan kaki.
Karena kota yang baik adalah kota yang aman dan ramah bagi setiap orang yang melangkah di atasnya.
