BONA NEWS. Medan, Sumatera Utara. – Peringatan Hari Disabilitas Internasional kembali menjadi refleksi penting bagi Indonesia untuk melihat sejauh mana negara, masyarakat, dan dunia kerja memberikan ruang yang adil bagi penyandang disabilitas. Meski berbagai kebijakan dan program telah berjalan, fakta di lapangan menunjukkan bahwa aksesibilitas, kesempatan kerja, serta integrasi sosial masih menjadi tantangan besar bagi jutaan difabel di Tanah Air.
Peringatan tahunan ini dijadikan momen oleh berbagai lembaga pemerintah, institusi pendidikan, hingga komunitas akar rumput untuk kembali mengingatkan publik bahwa kesetaraan bukanlah hadiah, melainkan hak konstitusional yang wajib diwujudkan.
Sejarah dan Makna Peringatan 3 Desember
Hari Disabilitas Internasional awalnya ditetapkan oleh PBB pada 1992 sebagai pengakuan global atas hak-hak penyandang disabilitas dan pentingnya keterlibatan mereka dalam seluruh aspek kehidupan. Tujuan utamanya adalah mendorong negara-negara untuk menyediakan akses pendidikan, kesehatan, pekerjaan, perumahan, hingga fasilitas publik yang benar-benar ramah difabel.
Lebih dari sekadar seremoni tahunan, tanggal 3 Desember dipandang sebagai momen evaluasi. Di banyak negara, termasuk Indonesia, isu disabilitas tidak hanya berhenti pada pemenuhan hak formal, tetapi juga menyangkut perubahan pola pikir masyarakat.
Berdasarkan sejumlah survei nasional, Indonesia memiliki lebih dari 22 juta penyandang disabilitas, atau sekitar 8% dari populasi. Namun, jumlah ini diperkirakan jauh lebih tinggi karena banyak warga difabel yang tidak terdata akibat stigma, minimnya pelaporan keluarga, atau metode pendataan yang belum inklusif.
Beberapa fakta penting:
- Lapangan kerja inklusif masih terbatas.
Survei ketenagakerjaan menunjukkan tingkat partisipasi angkatan kerja penyandang disabilitas masih jauh di bawah kelompok non-disabilitas. Banyak perusahaan masih memandang difabel sebagai “beban operasional”, bukan aset. - Akses pendidikan belum merata.
Ribuan anak disabilitas masih harus berjuang mendapatkan akses pendidikan reguler, sementara sekolah luar biasa (SLB) tidak selalu tersedia di setiap daerah. - Fasilitas publik belum ramah difabel.
Banyak gedung pemerintah, persimpangan jalan, halte, dan fasilitas kesehatan belum memenuhi standar aksesibilitas, termasuk jalur landai, lift, guiding block, dan informasi audio-visual.
Cerita Lapangan: Perjuangan Difabel Menghadapi Hambatan Sosial
Di Medan, misalnya, seorang pekerja tunanetra bernama Toni mengaku masih harus berjalan memutar beberapa blok setiap hari karena trotoar di rutenya tidak memiliki jalur pemandu.
“Ada guiding block, tapi putus di tengah jalan. Kadang malah nabrak tiang listrik,” ujarnya, Rabu (3/12/2025).
Kisah serupa datang dari Maya, penyandang disabilitas daksa yang bekerja di sebuah instansi swasta. Meski memiliki kemampuan komputer dan sertifikasi administrasi, ia mengaku sempat ditolak beberapa perusahaan karena menggunakan kursi roda.
“Mereka bilang kantornya tidak siap, padahal hanya perlu sedikit penyesuaian,” katanya, Rabu (3/12/2025).
Cerita-cerita seperti ini menunjukkan bahwa persoalan disabilitas bukan hanya soal bantuan sosial atau pelatihan, tetapi menyentuh aspek paling mendasar: penerimaan dan perlakuan setara.
Pemerintah pusat dan daerah sebenarnya telah memiliki rangkaian kebijakan yang cukup progresif, mulai dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas hingga rencana aksi pembangunan inklusif di berbagai sektor.
Beberapa langkah yang dijalankan:
- Kuota 2% pekerja difabel bagi perusahaan swasta dan BUMN.
- Transformasi SLB agar dapat menjadi pusat sumber pembelajaran inklusif.
- Pengadaan fasilitas publik aksesibel, termasuk transportasi kota.
- Perluasan bantuan alat bantu, seperti kursi roda, alat dengar, dan perangkat mobilitas lainnya.
- Digital inclusion, memastikan difabel mendapat akses teknologi yang memadai.
Namun, para aktivis menilai implementasi di lapangan masih jauh dari ideal. Banyak kebijakan berhenti sebagai regulasi tanpa pengawasan yang kuat. Pemerintah daerah dinilai perlu mempercepat audit aksesibilitas pada gedung-gedung layanan publik.
Di tengah lambatnya perubahan struktural, beberapa sektor justru bergerak lebih cepat menawarkan solusi. Perusahaan teknologi, misalnya, telah menghadirkan alat text-to-speech, fitur pengenal suara, hingga sistem kerja remote yang membuka peluang lebih besar bagi difabel.
Platform pekerjaan berbasis digital juga mulai menyediakan kategori khusus untuk difabel profesional. Sejumlah perusahaan rintisan bahkan kini merekrut talenta tunarungu sebagai analis data atau operator administrasi yang bekerja sepenuhnya dari rumah.
Namun langkah-langkah ini tetap membutuhkan dukungan kebijakan pemerintah agar tidak berhenti sebagai inisiatif individual.
Budaya Inklusif: PR Terbesar yang Masih Tersisa
Para pengamat sosial menilai bahwa sebanyak apa pun regulasi dibuat, perubahan terbesar ada pada budaya masyarakat. Stigma terhadap difabel sering muncul dalam bentuk:
- peremehan kemampuan,
- penggunaan istilah yang merendahkan,
- pengabaian kebutuhan aksesibilitas,
- hingga perilaku diskriminatif yang dianggap wajar.
Budaya seperti ini hanya bisa diperbaiki dengan pendidikan publik yang konsisten, mulai dari sekolah hingga ruang media. Beberapa aktivis bahkan mendorong media untuk lebih sering menghadirkan figur penyandang disabilitas bukan hanya sebagai objek belas kasihan, tetapi sebagai profesional yang kompeten.
Momentum 2025 untuk Agenda 2030
Pada peringatan 3 Desember tahun ini, berbagai komunitas disabilitas serempak menekankan pentingnya menjadikan 2025 sebagai titik evaluasi menuju target inklusi 2030. Mereka menilai Indonesia harus mempercepat:
- pembangunan fasilitas publik aksesibel di 200 kota/kabupaten,
- pemenuhan kuota pekerja difabel di semua lembaga negara,
- transformasi layanan pendidikan inklusif,
- serta pemutakhiran data difabel nasional.
Tanpa langkah-langkah ini, Indonesia dikhawatirkan tertinggal dalam agenda global kesetaraan.
Peringatan Hari Disabilitas Internasional 2025 bukan sekadar seremonial tahunan, melainkan pengingat bahwa perjuangan mencapai masyarakat inklusif masih panjang. Tantangan terbesar bukan hanya pada ketersediaan fasilitas, tetapi pada cara pandang kolektif kita terhadap penyandang disabilitas.
Ketika ruang kerja, ruang publik, dan ruang sosial benar-benar dibuka tanpa diskriminasi, Indonesia tidak hanya menjadi negara yang menghormati hukum, tetapi juga negara yang menjunjung martabat seluruh warganya.
