BONA NEWS. Jakarta, Indknesia. — Pemerintah Indonesia dan pemerintah Kerajaan Belanda resmi menandatangani pengaturan praktis (practical arrangement) untuk memulangkan dua warga negara Belanda terpidana kasus narkoba, yakni Siegfried Mets (74) dan Ali Tokman (65). Keduanya dijadwalkan terbang menuju Amsterdam pada 8 Desember 2025 menggunakan maskapai KLM dari Bandara Soekarno–Hatta.
Kesepakatan ini diumumkan dalam konferensi pers bersama di Kantor Kemenko Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Kumham Imipas) di Jakarta. Pemerintah menegaskan bahwa pemindahan narapidana tidak mengubah atau menghapus putusan pengadilan Indonesia; seluruh vonis tetap berlaku dan hanya pelaksanaan hukuman yang dialihkan ke Belanda.
Latar Belakang Kasus: Dua Warga Belanda dengan Vonis Berat Narkotika
Siegfried Mets: Terpidana Mati sejak 2008
Siegfried Mets divonis mati oleh pengadilan Indonesia pada tahun 2008. Ia dinyatakan bersalah dalam kasus penyelundupan dan distribusi 600.000 butir pil ekstasi, salah satu kasus narkoba terbesar yang melibatkan warga negara asing pada dekade 2000-an. Mets ditahan di Lapas Kelas I Cipinang Jakarta.
Selama lebih dari 15 tahun berada dalam daftar terpidana mati, Mets beberapa kali menjalani perawatan medis karena kondisi kesehatannya menurun seiring usia lanjut.
Ali Tokman: Vonis Mati Diubah Menjadi Seumur Hidup
Ali Tokman ditangkap otoritas Indonesia setelah kedapatan membawa sekitar 6 kilogram MDMA. Pengadilan tingkat pertama menjatuhkan vonis mati, namun putusan tersebut kemudian diubah menjadi hukuman penjara seumur hidup setelah melalui proses hukum lanjutan.
Tokman menjalani masa hukumannya di Lapas Kelas I Surabaya, namun untuk kepentingan administrasi dan kelancaran repatriasi, ia dipindahkan sementara ke Lapas Cipinang sebelum tanggal keberangkatan.
Negosiasi Panjang: Dari Permintaan Belanda hingga Persetujuan Indonesia
Permintaan repatriasi diajukan secara resmi oleh pemerintah Belanda pada pertengahan 2025. Selain bersifat diplomatik, permintaan tersebut turut disertai alasan kemanusiaan terkait kondisi kesehatan kedua narapidana yang terus menurun.
Pemerintah Belanda, termasuk Raja Belanda Willem-Alexander, dikabarkan ikut menyampaikan perhatian khusus atas kondisi warganya yang sudah lanjut usia. Setelah melalui diskusi teknis dan hukum, Indonesia akhirnya menyetujui permintaan tersebut.
Dalam pernyataannya, Menko Kumham Imipas menyebut:
“Pemerintah Indonesia mempertimbangkan aspek kemanusiaan tanpa mengesampingkan putusan hukum yang telah dijatuhkan. Vonis tetap berlaku, tetapi pelaksanaan dan pembinaan akan dilanjutkan oleh pemerintah Belanda.”
Kesepakatan pemindahan dituangkan melalui penandatanganan pengaturan praktis, yang memuat mekanisme teknis, prosedur penyerahan, penanganan medis, serta ketentuan mengenai tanggung jawab pihak Indonesia dan Belanda.
Teknis Pemindahan: 8 Desember 2025, Jakarta–Amsterdam
Rincian proses pemindahan kedua napi adalah sebagai berikut:
- Tanggal penerbangan: 8 Desember 2025
- Waktu keberangkatan: 19.25 WIB
- Maskapai: KLM Royal Dutch Airlines
- Rute: Jakarta (Soekarno–Hatta) – Amsterdam
- Titik penyerahan: Terminal keberangkatan internasional
- Penanggung biaya: Pemerintah Belanda
- Pendampingan: Tim medis dan petugas keamanan khusus
Sebelum hari keberangkatan, Ali Tokman dipindahkan dari Surabaya ke Jakarta agar proses logistik dan administrasi lebih efisien.
Setelah naik pesawat dan berada dalam pengawasan petugas Belanda, seluruh tanggung jawab pengamanan, perawatan, serta lanjutan pelaksanaan hukuman beralih ke pemerintah Belanda.
Apresiasi dari Belanda: Diplomasi yang Dianggap Progresif
Duta Besar Belanda untuk Indonesia, Marc Gerritsen, menyampaikan penghargaan atas keputusan pemerintah Indonesia yang dinilai mencerminkan hubungan bilateral yang kuat.
Gerritsen menilai bahwa repatriasi ini memberikan harapan agar hubungan Indonesia–Belanda yang telah berlangsung ratusan tahun dapat terus diperkuat, khususnya dalam isu kerja sama hukum, HAM, dan sosial kemasyarakatan.
“Keputusan ini kami sambut dengan hormat. Selain memperhatikan hubungan diplomatik kedua negara, Indonesia juga menunjukkan kepedulian atas kondisi kemanusiaan,” ujar Gerritsen, Selasa (2/12/2025).
Belanda berkomitmen untuk melanjutkan proses pemidanaan sesuai sistem hukum mereka. Dengan demikian, Indonesia tidak kehilangan otoritas atas putusan pengadilan, sementara Belanda menjalankan aspek kemanusiaan dan pembinaan lanjutan.
Indonesia Tegaskan: Hukuman Tidak Dibatalkan
Pemerintah Indonesia menekankan beberapa poin penting agar tidak terjadi kesalahpahaman publik:
- Tidak ada pengurangan hukuman dari Indonesia.
Mets tetap berstatus terpidana mati, Tokman tetap terpidana seumur hidup. - Repatriasi bukan grasi, amnesti, atau abolisi.
Ini adalah pemindahan pelaksanaan hukuman, bukan penghapusan hukuman. - Belanda bertanggung jawab penuh atas kelanjutan pembinaan.
Segala keputusan lanjutan—termasuk kemungkinan rehabilitasi atau peninjauan ulang—sepenuhnya berada dalam yurisdiksi Belanda. - Pemindahan didasari pertimbangan kemanusiaan.
Faktor usia, kondisi medis, dan hak narapidana menjadi dasar utama.
Pemerintah juga menyebut bahwa Indonesia tetap konsisten menjalankan kebijakan tegas terhadap pelaku kejahatan narkoba, yang dipandang sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime).
Keputusan pemulangan dua narapidana narkoba ini memicu perbincangan publik. Meskipun banyak yang menilai langkah ini manusiawi mengingat usia dan kesehatan para narapidana, tidak sedikit pula yang mempertanyakan apakah repatriasi dapat memengaruhi efek jera terhadap kejahatan narkoba.
Beberapa kelompok masyarakat khawatir bahwa pemulangan terpidana asing justru membuka peluang bagi pelaku dari luar negeri untuk menganggap hukuman berat Indonesia dapat dihindari melalui mekanisme diplomatik.
Namun di sisi lain, aktivis HAM berpendapat bahwa negara tetap memiliki tanggung jawab untuk memperhatikan kesejahteraan narapidana, terutama ketika kondisi kesehatan mereka telah memburuk.
Kementerian Kumham menjelaskan bahwa pemindahan narapidana asing sudah beberapa kali dilakukan di masa lalu, dengan kasus-kasus yang dinilai memiliki urgensi kemanusiaan.
Preseden bagi Kerja Sama Hukum Internasional
Kesepakatan pemulangan Mets dan Tokman menjadi contoh bagaimana hubungan bilateral dapat berperan dalam penyelesaian kasus-kasus pemasyarakatan lintas negara.
Setidaknya terdapat beberapa hal yang menjadi catatan penting:
1. Penguatan Diplomasi Kemanusiaan
Kasus ini menjadi bukti bahwa diplomasi tidak hanya berkutat pada isu ekonomi atau politik, tetapi juga dalam ranah pemasyarakatan dan HAM.
2. Penegakan Hukum Tetap Prioritas
Indonesia tidak mencabut hukuman apa pun, sehingga pesan bahwa Indonesia tetap keras terhadap narkoba tetap tersampaikan.
3. Mekanisme Repatriasi sebagai Alternatif Kebijakan
Untuk narapidana lanjut usia atau dengan kondisi medis kritis, repatriasi dapat menjadi opsi yang mempertimbangkan beban negara sekaligus aspek kemanusiaan.
4. Contoh bagi Negara Lain
Keberhasilan implementasi kesepakatan ini dapat menjadi rujukan untuk mekanisme serupa di masa mendatang, termasuk bagi negara-negara lain yang memiliki warga negaranya menjalani masa hukuman di Indonesia.
Dampak Jangka Panjang: Penyeimbang antara Ketegasan dan Kemanusiaan
Pemulangan dua terpidana narkoba ini memberi cerminan bahwa kebijakan pemasyarakatan Indonesia kini lebih fleksibel, namun tetap berlandaskan hukum.
Dari sisi diplomasi, Indonesia mendapatkan nilai positif karena mampu menunjukkan sikap tegas sekaligus bijaksana. Dari sisi sosial, publik bisa melihat bagaimana negara menyeimbangkan antara keamanan nasional dan nilai kemanusiaan.
Bagi Belanda, repatriasi ini menjadi ujian bagi sistem pembinaan narapidana mereka. Pemerintah Belanda harus memastikan bahwa pembinaan tetap berlangsung sesuai putusan awal dan tidak bertentangan dengan prinsip hukum kedua negara.
Pemulangan dua terpidana narkoba asal Belanda — Siegfried Mets dan Ali Tokman — merupakan keputusan penting dalam hubungan bilateral kedua negara. Ini bukan sekadar transfer tahanan, tetapi keputusan strategis yang menggabungkan tiga unsur utama: penegakan hukum, diplomasi, dan kemanusiaan.
Indonesia berhasil menjaga integritas putusan pengadilan sekaligus merespons permintaan negara sahabat dengan cara yang bermartabat. Sementara Belanda menunjukkan komitmen untuk melanjutkan perlakuan hukum kepada warganya.
Kasus ini akan menjadi preseden bagi mekanisme pemindahan narapidana asing di masa depan, sekaligus menjadi bahan diskusi mengenai masa depan kebijakan pemasyarakatan di Indonesia.
