BONA NEWS. Aceh Selatan, Nangroe Aceh Darusslam. – Keputusan Bupati Aceh Selatan, Mirwan MS, untuk menunaikan ibadah umroh ke Tanah Suci tepat saat wilayahnya dilanda banjir bandang pada awal Desember 2025 memicu kritik tajam dari masyarakat, media, dan pengamat politik. Peristiwa ini menjadi sorotan nasional karena menimbulkan pertanyaan soal tanggung jawab pejabat publik dalam menghadapi krisis.

Hujan deras yang mengguyur Aceh Selatan sejak akhir November 2025 menyebabkan tanah longsor dan banjir di 11 kecamatan. Menurut data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Aceh Selatan, ribuan warga terdampak, infrastruktur rusak, dan beberapa desa terisolasi. Jalan utama, jembatan penghubung antar-desa, serta fasilitas umum mengalami kerusakan berat, sehingga akses distribusi bantuan menjadi terganggu.

Pada saat yang sama, Bupati Mirwan MS berangkat ke Arab Saudi bersama istrinya pada 2 Desember 2025. Foto perjalanan mereka sempat viral di media sosial, memicu pro dan kontra. Beberapa warga menilai keputusan bupati tidak sensitif terhadap kondisi masyarakat yang tengah menghadapi musibah.

Beberapa fakta terkait keberangkatan Bupati Aceh Selatan:

1. Tanggal Keberangkatan: 2 Desember 2025, saat banjir bandang terjadi di sejumlah kecamatan.
2. Viral di Media Sosial: Foto perjalanan Mirwan MS dan istrinya menjadi viral, memicu komentar pedas dari netizen.
3. Klarifikasi Pemkab Aceh Selatan: Pemerintah Kabupaten menyatakan bahwa keberangkatan dilakukan setelah menilai kondisi wilayah secara umum stabil dan korban bencana telah tertangani.
4. Izin Resmi Tidak Ada: Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, menegaskan bahwa izin untuk keberangkatan tidak diberikan.
5. Reaksi Pemerintah Pusat: Kemendagri menyatakan akan memeriksa bupati setelah kembali dari umroh, menilai tindakan meninggalkan wilayah yang terdampak bencana tanpa koordinasi sebagai kesalahan serius.

Keputusan Bupati Mirwan MS memicu gelombang kritik di berbagai media dan media sosial. Banyak warga menilai bahwa bupati telah mengabaikan tanggung jawab utama sebagai pemimpin daerah

“Kami sangat kecewa. Saat rumah kami terendam banjir, Bupati pergi ke luar negeri. Seharusnya beliau hadir di sini, memimpin evakuasi dan memastikan bantuan sampai ke kami,” ungkap Beugoh, warga Desa Ranto Peureulak, Aceh Selatan, Selasa (2/12/2025).

Netizen di media sosial juga ramai memberikan komentar:

– “Ini baru contoh pemimpin yang tidak peduli rakyatnya.”
– “Apakah ibadah lebih penting daripada nyawa warga yang terjebak banjir?”
– “Semoga pemerintah pusat memberikan teguran tegas agar tidak terjadi lagi.”

Dampak Terhadap Infrastruktur dan Penanganan Bencana, data BPBD Aceh Selatan mencatat:

– 11 kecamatan terdampak banjir dan longsor.
– Ribuan warga mengungsi ke lokasi aman.
– Jalan dan jembatan rusak parah, menghambat distribusi logistik.
– Bantuan pangan, air bersih, dan obat-obatan mengalami keterlambatan karena kondisi transportasi.

BPBD Aceh Selatan bersama TNI dan Polri bekerja siang malam untuk mengevakuasi korban dan mendistribusikan bantuan. Namun, absennya bupati dalam proses koordinasi lapangan menimbulkan kritik soal efektivitas penanganan bencana.

“Kami tetap berusaha maksimal, namun koordinasi dan keputusan strategis akan lebih mudah jika bupati hadir langsung di lokasi bencana. Keberangkatan beliau membuat sebagian masyarakat merasa ditinggalkan,” kata Kepala BPBD Aceh Selatan, Drs. H. Jamaluddin,

Pemkab Aceh Selatan menegaskan bahwa keberangkatan bupati dilakukan setelah kondisi dinilai stabil dan korban bencana telah tertangani. Pernyataan resmi dari Pemkab menyebut:
“Kami memahami kekhawatiran masyarakat, namun pelayanan publik tetap berjalan. Keberangkatan dilakukan dengan pertimbangan bahwa kondisi umum sudah terkendali.”

Meski begitu, klarifikasi ini tidak sepenuhnya meredakan kritik publik karena izin resmi dari gubernur tidak diperoleh.

“Saya tidak memberikan izin keberangkatan bupati saat bencana. Sebagai pemimpin, beliau seharusnya hadir di lapangan untuk memimpin penanganan darurat,” ujar Gubernur Aceh, Muzakir Manaf.

Secara hukum, Bupati memiliki kewajiban utama melindungi keselamatan warganya. Etika kepemimpinan mengharuskan pejabat publik tetap berada di wilayah terdampak bencana atau memastikan proses penanganan berjalan lancar sebelum meninggalkan wilayah.

Seorang pengamat politik Aceh, Dr. Faisal Ramli, mengatakan:
“Kasus ini menimbulkan dilema etis dan politis. Meskipun secara hukum tidak ada larangan ibadah pribadi, secara moral dan kepemimpinan, meninggalkan daerah yang terdampak bencana adalah keputusan yang problematis.”

Kontroversi ini juga memengaruhi posisi politik Mirwan MS. Beberapa media melaporkan bahwa ia dicopot dari posisi Ketua DPC Gerindra di Aceh Selatan, meskipun alasan resmi partai terkait pertimbangan internal. Kejadian ini bisa berdampak pada citra politik dan elektabilitas bupati di masa depan, terutama menjelang pemilihan lokal.

Kementerian Dalam Negeri menyatakan tindakan meninggalkan wilayah terdampak bencana tanpa koordinasi resmi merupakan kesalahan serius. Pernyataan Kemendagri menyebut:
“Kami akan menindaklanjuti sesuai peraturan yang berlaku. Setiap kepala daerah wajib hadir dan memimpin penanganan bencana. Tinggalkan wilayah yang terdampak merupakan pelanggaran etika dan administrasi.”

Reaksi warga Aceh Selatan sangat beragam. Sebagian masyarakat mengaku kecewa dan merasa ditinggalkan, sementara ada juga yang memahami keputusan bupati dari sisi ibadah pribadi, dengan catatan bahwa pelayanan publik tetap berjalan.

Seorang relawan penanggulangan bencana menuturkan:
“Kami menghargai ibadah, tapi saat krisis, prioritas utama adalah keselamatan warga. Keputusan bupati ini bisa menjadi pelajaran bagi pejabat publik lain.”

Klaim bahwa Bupati Aceh Selatan umroh saat banjir bandang terbukti benar secara fakta, didukung oleh laporan media dan foto perjalanan. Meski Pemkab menyatakan bahwa keberangkatan dilakukan setelah situasi dianggap stabil, keputusan tanpa izin resmi gubernur dan kritikan publik menimbulkan kontroversi.

Kasus ini menegaskan pentingnya tanggung jawab pejabat publik saat krisis. Publik menuntut kepemimpinan yang responsif dan etis, terutama ketika warga menghadapi bencana alam. Kejadian ini menjadi pelajaran penting bagi pejabat daerah untuk menyeimbangkan kebutuhan pribadi dengan tanggung jawab publik.

Dengan kronologi jelas, data faktual, kutipan pejabat dan warga, serta reaksi media sosial, kasus ini tetap menjadi sorotan nasional dan contoh nyata dilema kepemimpinan di tengah bencana.