BONA NEWS. Medan, Sumatera Utara. — Ketika bencana — banjir, longsor, atau bencana hidrometeorologi — mengguncang wilayah di Sumatera, rasa empati dan gotong royong mendadak merebak. Warga di kota, kabupaten, dan bahkan luar provinsi bersimpati, mendirikan posko bantuan, membuka rekening donasi, atau menghimpun sumbangan untuk korban. Namun sayangnya, di balik semangat kemanusiaan itu, muncul pula bayangan gelap — donasi palsu, posko abal-abal, bahkan oknum yang tak pernah ikut menyumbang sama sekali, hanya memanen simpati.
Fenomena ini bukan sekadar rumor. Data dan pengakuan berbagai lembaga menunjukkan bahwa di tengah situasi darurat, banyak pihak tidak bertanggung jawab memanfaatkan krisis — bukan untuk membantu, melainkan untuk meraup keuntungan.
Tren Penipuan Donasi: Data & Fakta Terbaru
Sejak akhir 2024 hingga 2025, di Indonesia terjadi lonjakan besar dalam kasus penipuan keuangan, termasuk modus donasi palsu, rekening palsu, dan “crowdfunding” abal-abal.
- Indonesia Anti‑Scam Centre (IASC) melaporkan bahwa kerugian masyarakat akibat scam — termasuk modus donasi, belanja daring, investasi ilegal, dan lain-lain — mencapai triliunan rupiah.
- Sebagai respons, IASC dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah memblokir ribuan rekening, tapi jumlah laporan terus meningkat drastis tiap hari.
- Baru‑baru ini, grup masyarakat sipil Generasi Edukasi Nanggroe Aceh (GEN‑A) mengeluarkan peringatan resmi terkait modus “donasi palsu” yang muncul di tengah tanggap darurat bencana di Sumatera.
- Kasus yang dikutip GEN‑A melibatkan seseorang yang mengaku telah menyumbang — lengkap dengan “bukti transfer” — lalu menuntut pengelola donasi mengembalikan kelebihan transfer. Setelah dicek, ternyata tidak ada dana yang masuk. Bukti transfer yang dikirim tampak editan, dengan logo bank yang buram dan elemen mencurigakan seperti NPWP penerima — hal yang tidak lazim dalam slip transfer resmi.
Penelitian independen internasional pun mendukung temuan ini. Sebuah studi berjudul Pirates of Charity: Exploring Donation‑based Abuses in Social Media Platforms menemukan ratusan akun palsu di media sosial (Instagram, X, Facebook, Telegram) yang aktif menggalang “donasi” palsu antara Maret–Mei 2024. Dari 151.966 akun yang diperiksa, peneliti mengidentifikasi 832 akun sebagai scammer, yang berupaya mengecoh publik dengan situs donasi palsu, link eksternal, dan permintaan pembayaran melalui berbagai metode.
Modus Operandi: Bagaimana Penipuan Berkedok Donasi Bekerja
Berdasarkan laporan dari lembaga dan penelitian terkait, berikut beberapa modus umum yang digunakan para pelaku:
- Rekening atau situs donasi palsu: Pelaku membuat website atau halaman donasi di media sosial, mengaku untuk korban bencana, dan meminta transfer ke rekening pribadi. Setelah dana terkirim, situs bisa hilang atau tidak pernah ada pelaporan penggunaan dana.
- Bukti transfer palsu (“fake slip”): Ketika penggalang dana menerima “donasi” dari seseorang, pelaku mengirim slip transfer editan sebagai bukti — untuk meyakinkan pihak penerima agar mengirim “terima kasih”, “sisa donasi”, atau bahkan “biaya tambahan”.
- Tekanan emosional & urgensi: Pelaku memanfaatkan rasa empati dan keinginan cepat bantu korban bencana. Mereka sering mendesak agar donasi dilakukan segera, sehingga korban atau pengelola donasi tidak sempat mengecek dengan seksama.
- Mengatasnamakan organisasi resmi / figur publik: Kadang pelaku menyamar sebagai lembaga sosial, pemerintah, atau bahkan pejabat, agar terlihat kredibel.
Fenomena ini membawa dampak serius:
- Korban bencana yang seharusnya terbantu malah tidak menerima apa‑apa. Dana yang terkumpul bisa disedot oleh oknum, sehingga bantuan tidak sampai ke tangan yang benar-benar membutuhkan.
- Donatur merasa tertipu — hilang uang, hilang kepercayaan. Rasa solidaritas yang semestinya menguat bisa berubah jadi skeptisisme. Orang jadi ragu untuk berdonasi di masa mendatang, bahkan ketika bantuan benar-benar dibutuhkan.
- Kerusakan moral dan sosial: Dalam situasi darurat, masyarakat berharap ada rasa kebersamaan. Tapi penipuan seperti ini memupuk ketidakpercayaan. Hal ini melemahkan semangat gotong‑royong dan memecah solidaritas.
- Beban tambahan pada lembaga resmi: Organisasi yang benar‑benar membantu terpaksa harus ekstra bekerja keras melakukan verifikasi, klarifikasi, dan meyakinkan publik bahwa mereka bukan bagian dari scam.
Menanggapi maraknya scam donasi, sejumlah lembaga mengeluarkan imbauan tegas:
- GEN‑A menyarankan agar masyarakat dan pengelola donasi tidak mudah percaya pada bukti transfer yang dikirim lewat chat/media sosial, serta selalu melakukan cek mutasi rekening sebelum menyetujui “donasi masuk” atau “pengembalian dana”.
- Media lokal dan nasional terus mengingatkan agar donasi disalurkan melalui jalur resmi — lembaga kemanusiaan terpercaya, organisasi sosial berizin, atau rekening resmi yang dipublikasikan secara transparan.
- Pemerintah dan otoritas digital mengimbau masyarakat untuk melaporkan informasi palsu atau mencurigakan terkait bencana, termasuk tautan donasi, hoaks, atau akun palsu.
- Dari sisi hukum, regulasi terhadap donasi daring di Indonesia masih tertinggal. Pengawasan dan penegakan hukum terhadap penipuan donasi daring dirasa belum optimal.
Mengapa Kejahatan Ini Bisa Merebak di Saat Bencana ?
Beberapa faktor mempermudah donasi palsu dan penipuan di masa bencana:
- Emosi dan empati tinggi — banyak orang bereaksi cepat untuk membantu, sehingga kurang kritis terhadap detail seperti validitas rekening atau bukti transfer.
- Situasi darurat = keterbatasan verifikasi — infrastruktur dan komunikasi terganggu, sehingga sulit melakukan pengecekan menyeluruh.
- Kemajuan teknologi — media sosial & pembayaran digital — mempermudah siapa saja membuat akun, memposting permintaan donasi, dan menerima transfer.
- Kurangnya regulasi & pengawasan terhadap donasi daring — tanpa sistem audit atau kewajiban transparansi, masyarakat rentan menjadi korban.
Cara Aman Menyalurkan dan Memverifikasi Bantuan
Berdasarkan pola kasus, beberapa langkah aman meliputi:
- Pastikan donasi melalui lembaga kemanusiaan resmi (berizin, reputasi jelas, publikasi transparan).
- Jika ikut mendirikan posko atau menerima donasi: lakukan transparansi penuh — publikasikan rekening, laporkan penggunaan dana, dan update kondisi korban.
- Waspada terhadap “bukti transfer” yang dikirim lewat chat/media sosial — selalu cek mutasi rekening secara langsung.
- Edukasi diri dan komunitas: sebarkan informasi tentang modus scam, cara memverifikasi, dan ajak teman/keluarga untuk kritis saat menerima ajakan donasi.
- Laporkan akun, halaman, atau posko mencurigakan ke otoritas berwenang agar bisa ditindak.
Bencana alam di Sumatera dan wilayah lain semestinya memunculkan solidaritas — kepedulian, gotong royong, bantuan nyata. Banyak orang dan organisasi yang dengan tulus berusaha membantu. Tapi realitas menyakitkan menunjukkan bahwa di tengah krisis, ada juga yang memanfaatkan penderitaan untuk keuntungan pribadi: membuat posko palsu, menerima donasi, tapi tak pernah membantu korban.
Kasus-kasus penipuan donasi, donasi palsu, dan scam digital bukan lagi sekadar cerita lama — data menunjukkan bahwa korban terus bertambah, bahkan di 2025 ini. Oleh karena itu, masyarakat perlu lebih waspada, kritis, dan menyalurkan bantuan melalui jalur resmi dan transparan. Solidaritas sejati bukan soal seberapa cepat kita memberi — tapi seberapa tepat dan bertanggung jawab sumbangan itu mencapai korban yang benar-benar membutuhkan.
