BONA NEWS. Jakarta, Indonesia. — Wacana mengembalikan mekanisme pemilihan kepala daerah—baik gubernur maupun wali kota—melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kembali menghangat dalam dinamika politik nasional. Isu yang sempat meredup sejak polemik RUU Pilkada 2014 itu bangkit lagi setelah sejumlah pimpinan partai politik pada akhir 2025 menyatakan perlunya evaluasi terhadap sistem pemilihan langsung yang selama dua dekade terakhir menjadi pilar demokrasi lokal di Indonesia.
Sejumlah tokoh menilai pemilihan langsung membebani anggaran dan memicu konflik horizontal. Sementara para penolak menyebut usulan tersebut sebagai “lonceng kemunduran demokrasi” yang dapat menghilangkan hak rakyat menentukan pemimpin daerahnya. Hingga kini belum ada keputusan hukum final, namun wacana ini jelas mulai memasuki radar pembahasan formal di parlemen.
Wacana awalnya mencuat melalui pernyataan beberapa pimpinan partai besar yang menyebut perlunya evaluasi menyeluruh terhadap sistem Pilkada langsung. Mereka menilai biaya pelaksanaan Pilkada terus meningkat, termasuk kebutuhan pengamanan, logistik, dan pembiayaan kampanye politik.
Menurut mereka, pemilihan kepala daerah oleh DPRD dapat menghemat anggaran negara, meminimalkan gesekan politik di tingkat akar rumput, serta menyederhanakan proses pemilihan. Dalam beberapa pernyataan tokoh politik, disebutkan bahwa Pilkada langsung dianggap memunculkan kompetisi politik yang terlalu keras sehingga memicu konflik antarpendukung yang kerap berujung pada ketegangan sosial di daerah.
Wacana ini kemudian berkembang menjadi debat publik setelah beberapa partai besar mengisyaratkan kesediaan untuk “mengaji” atau mengkaji ulang sistem Pilkada. Hal itu memicu reaksi keras dari kelompok masyarakat sipil dan sejumlah pakar tata negara.
Latar Sejarah: Dari DPRD ke Pemilihan Langsung
Sebelum tahun 2005, Indonesia menggunakan sistem pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Selama era Orde Baru hingga awal Reformasi, gubernur, bupati, dan wali kota dipilih melalui musyawarah dan voting internal DPRD. Sistem itu diatur dalam UU No. 22 Tahun 1999 yang memberi kewenangan penuh kepada DPRD untuk memilih kepala daerah, dengan presiden hanya berperan mengesahkan gubernur terpilih.
Namun mekanisme tersebut dikritik sebagai sarat transaksi politik antara calon dan anggota DPRD, praktik politik uang, serta minim transparansi. Gelombang tuntutan reformasi politik akhirnya melahirkan UU No. 32 Tahun 2004 yang memperkenalkan Pilkada langsung. Pemilihan langsung pertama kali digelar pada Juni 2005 dan sejak itu menjadi standar nasional demokrasi daerah.
Upaya mengembalikan Pilkada ke DPRD sempat terjadi pada 2014 ketika DPR menyetujui RUU Pilkada Tidak Langsung. Namun karena tekanan publik yang masif, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Perppu No. 1/2014 yang mengembalikan sistem langsung. Wacana tersebut pun redup selama hampir satu dekade—hingga kini kembali muncul.
Argumen Pendukung: Efisiensi, Stabilitas, dan Kontrol Politik
Mereka yang mendukung model pemilihan melalui DPRD membawa tiga argumen utama:
1. Penghematan Anggaran Negara
Biaya penyelenggaraan Pilkada langsung meningkat setiap siklus. Logistik, kotak suara, alat peraga, distribusi surat suara, dan keamanan dianggap menyedot anggaran yang bisa dialihkan untuk pembangunan daerah. Dengan pemilihan DPRD, anggaran Pilkada minim karena proses hanya berlangsung di gedung legislatif.
2. Mengurangi Konflik Horizontal
Kontestasi langsung sering kali menciptakan polarisasi masyarakat. Pendukung masing-masing calon terlibat rivalitas yang kadang berujung pada bentrok, protes, atau sengketa. Pemilihan di DPRD dianggap lebih terkendali dan tidak memicu gesekan massa.
3. Memperkuat Peran Partai Politik
Pendukung usulan ini menilai partai politik perlu memperkuat fungsinya sebagai lembaga kaderisasi. Pemilihan melalui DPRD memungkinkan partai memiliki kontrol penuh terhadap calon kepala daerah yang dianggap paling kompeten.
Bagi kelompok ini, pemilihan melalui DPRD adalah cara “menyelamatkan” demokrasi lokal agar lebih teratur dan efisien.
Argumen Penolak: Kemunduran Demokrasi dan Potensi Transaksi Politik
Di sisi lain, para penolak menilai wacana ini sebagai langkah mundur. Ada beberapa kritik utama:
1. Hilangnya Hak Politik Rakyat
Pemilihan langsung dianggap sebagai pencapaian besar reformasi. Mengalihkan pemilihan kepada DPRD berarti mengambil kembali hak rakyat untuk menentukan pemimpin daerahnya. Sejumlah pakar menyebut ini “pemangkasan demokrasi lokal”.
2. Rawan Politik Transaksional
Sejarah pemilihan kepala daerah oleh DPRD penuh dengan catatan kelam. Praktik mahar politik, lobby tertutup, dan kompromi antarfraksi kerap menjadi penentu hasil pemilihan. Banyak pihak khawatir praktik ini akan kembali muncul.
3. Berpotensi Melahirkan Kepala Daerah yang Tidak Legitimate
Pemimpin yang dipilih oleh puluhan anggota DPRD bisa jadi tidak memiliki dukungan rakyat yang luas. Legitimasi politik dan sosial dianggap melemah, yang berpotensi mengganggu efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah.
4. Menurunkan Kualitas Akuntabilitas
Ketika kepala daerah dipilih oleh DPRD, mereka cenderung bertanggung jawab kepada partai atau anggota dewan, bukan kepada rakyat. Hal ini bisa berimplikasi pada menurunnya transparansi dan akuntabilitas kebijakan publik.
Respon DPR dan Pemerintah: Masih Dalam Tahap Kajian
Hingga kini, wacana tersebut belum masuk dalam keputusan resmi. Pihak parlemen menyatakan bahwa usulan perubahan mekanisme Pilkada dapat saja dibahas dalam revisi UU Pemilu atau UU Pemerintahan Daerah sebagai bagian dari prolegnas. Namun belum ada pembahasan formal ataupun rancangan pasal yang diajukan.
Di sisi pemerintah, Kementerian Dalam Negeri menilai bahwa perubahan mekanisme pemilihan kepala daerah merupakan isu strategis yang tidak bisa diputuskan secara tergesa-gesa. Pemerintah menegaskan bahwa Pilkada langsung masih dinilai efektif dan mendapat apresiasi internasional sebagai model demokrasi lokal yang baik.
Di sisi Komisi Pemilihan Umum (KPU), lembaga tersebut menegaskan bahwa sistem pemilihan langsung tetap berjalan sesuai undang-undang yang berlaku. KPU menyatakan siap menjalankan sistem apa pun, tetapi perubahan mekanisme harus diputuskan melalui revisi undang-undang terlebih dahulu.
Analisis Politik: Apa yang Mendorong Kembalinya Wacana Ini?
Kembalinya wacana pemilihan melalui DPRD pada periode politik sekarang tidak bisa dilepaskan dari beberapa faktor strategis:
1. Konstelasi Politik Multi-Partai
Dalam lanskap politik yang sangat terfragmentasi, partai-partai besar ingin memperkuat perannya. Pemilihan melalui DPRD memperbesar posisi tawar partai, terutama dalam pembentukan koalisi pemerintahan daerah.
2. Beban Biaya Politik Calon Kepala Daerah
Biaya untuk ikut Pilkada langsung sangat tinggi. Calon harus membiayai kampanye, logistik politik, dan koordinasi tim pemenangan. Pemilihan lewat DPRD memangkas beban itu secara signifikan.
3. Peningkatan Intervensi Politik Lokal
Politik lokal kini dipandang semakin kompetitif. Wacana perubahan mekanisme bisa menjadi cara untuk mengendalikan dinamika politik di daerah dan memperkuat struktur partai di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
4. Evaluasi Teknis Pelaksanaan Pilkada Serentak
Pilkada serentak nasional yang digelar dalam satu hari untuk seluruh daerah memerlukan manajemen logistik besar dan melibatkan ratusan ribu petugas. Evaluasi terhadap proses tersebut menjadi alasan sebagian pihak mempertimbangkan alternatif.
Dinamika Opini Publik: Mayoritas Menolak, Tapi Ada yang Mulai Ragu
Sejumlah survei opini publik beberapa tahun terakhir menunjukkan mayoritas masyarakat masih mendukung pemilihan langsung. Namun tren terbaru juga menunjukkan peningkatan jumlah responden yang merasa Pilkada langsung terlalu mahal dan rawan konflik.
Meski begitu, kritik masyarakat terhadap wacana pemilihan melalui DPRD tetap kuat. Kelompok masyarakat sipil, akademisi, mahasiswa, dan aktivis demokrasi menilai bahwa usulan tersebut berpotensi mengembalikan oligarki politik dan mempersempit ruang partisipasi publik.
Apa Konsekuensi Jika Sistem Ini Diberlakukan Kembali?
Jika Indonesia kembali pada sistem pemilihan kepala daerah oleh DPRD, sejumlah perubahan signifikan dapat terjadi:
Partai politik menjadi aktor paling dominan dalam menentukan kepala daerah.
Potensi lobi dan transaksi politik di tingkat DPRD meningkat.
Masyarakat kehilangan peran langsung dalam menentukan pemimpin daerah.
Stabilitas politik lokal mungkin meningkat, tetapi legitimasi sosial kepala daerah menurun.
Proses suksesi kepala daerah menjadi lebih tertutup dan terbatas.
Perubahan ini tentu memiliki dampak jangka panjang terhadap kualitas demokrasi Indonesia
Wacana pemilihan wali kota dan gubernur melalui DPRD kini berada di persimpangan antara kebutuhan efisiensi dan menjaga esensi demokrasi. Di satu sisi, pemilihan langsung memang mahal dan kompleks. Di sisi lain, mengembalikannya kepada DPRD berarti mengurangi partisipasi rakyat dalam menentukan arah kepemimpinan daerah.
Selama belum ada keputusan politik yang tegas, wacana ini tetap menjadi bola panas yang digulirkan perlahan. Namun jelas, apa pun keputusan akhirnya akan menentukan masa depan demokrasi lokal Indonesia untuk puluhan tahun ke depan.
Perdebatan ini pun diprediksi akan terus memanas hingga adanya sikap resmi DPR maupun pemerintah. Publik kini menanti: apakah Indonesia akan tetap mempertahankan mekanisme pemilihan langsung, atau mengikuti arus yang mencoba mengembalikannya ke tangan DPRD?
