BONA NEWS. Medan, Sumatera Utara. – Hingga saat ini, pemerintah pusat belum menetapkan status Darurat Bencana Nasional terkait bencana alam yang melanda sejumlah daerah di Sumatera. Kondisi ini memicu kekhawatiran sejumlah pihak akan kemungkinan terjadinya demo besar-besaran jika langkah cepat tidak diambil.

Salah satu isu yang mencuat adalah dugaan keterkaitan antara aktivitas industri kehutanan dengan risiko bencana, khususnya di wilayah hulu sungai yang terdampak banjir. Sejumlah kelompok advokasi lingkungan menyoroti konsesi hutan yang dikelola perusahaan besar, yang menurut mereka, berpotensi memperparah risiko banjir.

Bencana Sumatera dan Tekanan Publik

Beberapa daerah di Sumatera, termasuk Aceh Tengah, Bener Meriah, Bireuen, dan Aceh Utara, mengalami bencana banjir dan longsor parah akhir-akhir ini. Masyarakat setempat dan sejumlah LSM menuntut pemerintah segera menetapkan status Darurat Bencana Nasional agar penanganan darurat bisa dilakukan lebih cepat dan anggaran dapat disalurkan tanpa birokrasi panjang.

Pemerintah hingga saat ini belum mengambil keputusan resmi, memunculkan spekulasi bahwa ada faktor-faktor yang mempengaruhi penundaan penetapan status darurat. Penelusuran fakta menunjukkan bahwa selain faktor administratif, isu kepemilikan dan pengelolaan hutan oleh perusahaan besar juga menjadi perhatian publik.

PT Tusam Hutani Lestari: Konsesi Luas di Aceh

Salah satu perusahaan yang menjadi sorotan adalah PT Tusam Hutani Lestari (THL), yang memiliki izin usaha pemanfaatan hutan tanaman industri (IUPHHK-HTI) seluas sekitar 97.000–97.300 hektare di wilayah hulu sungai Aceh. Lokasi konsesi ini mencakup Aceh Tengah, Bener Meriah, Bireuen, dan Aceh Utara — area yang memiliki fungsi ekologis penting sebagai daerah resapan air dan pengatur aliran sungai.

Izin HTI ini diterbitkan pertama kali sejak tahun 1997 melalui SK Menhut (Nomor 556/Kpts‑II/1997) dan telah mengalami perpanjangan hingga tahun 2043. Konsesi mencakup area hutan di hulu sungai yang penting secara ekologis.

Kelompok advokasi seperti Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menyebutkan bahwa THL memiliki keterkaitan dengan jaringan bisnis yang melibatkan tokoh politik nasional, termasuk disebut-sebut terkait dengan Presiden Prabowo Subianto. Klaim ini didasarkan pada sejarah konsesi, struktur saham perusahaan, dan pengaruh jaringan bisnis, meskipun dokumen resmi AHU tidak mencatat Prabowo sebagai pemegang saham pribadi.

Struktur Kepemilikan PT Tusam Hutani Lestari

Berdasarkan dokumen korporasi yang tersedia, PT Tusam Hutani Lestari dimiliki oleh dua entitas utama:

Entitas Jumlah Saham di THL Status Kepemilikan
PT Alas Helau 11.920 lembar Swasta, pemegang saham mayoritas (struktur pemilik internal tidak dipublikasikan)
PT Eksploitasi dan Industri Hutan V (Inhutani V) 7.947 lembar Anak perusahaan BUMN di bawah Perum Perhutani, artinya bagian dari negara

PT Inhutani V adalah anak perusahaan Perum Perhutani, BUMN yang mengelola hutan negara secara umum. Dengan kata lain, kepemilikan Inhutani V di THL merupakan kepemilikan negara melalui BUMN.

Sementara itu, PT Alas Helau adalah perusahaan swasta yang memegang saham mayoritas di THL. Data publik resmi mengenai pemegang saham internal PT Alas Helau tidak tersedia, sehingga belum dapat dipastikan siapa individu atau kelompok yang mengendalikan perusahaan ini secara langsung.

Direksi dan Manajemen

Dalam perubahan akta terakhir (28/8/2024) PT Tusam Hutani Lestari, Edhy Prabowo tercatat sebagai Direktur Utama. Meski namanya mirip dengan tokoh politik nasional, Edhy Prabowo adalah individu berbeda dan posisinya sebagai direktur tidak   menunjukkan kepemilikan saham pribadi. Struktur kepemilikan resmi tetap tercatat atas nama dua perusahaan: PT Alas Helau dan Inhutani V.

Dampak Ekologis dan Risiko Bencana

Kawasan konsesi hutan HTI seperti THL sering disebut oleh kelompok advokasi lingkungan sebagai salah satu faktor yang memperparah risiko banjir. Transformasi hutan alami menjadi tanaman monokultur (seperti pinus atau eukaliptus) mengurangi kemampuan tanah menyerap air dan mempercepat aliran permukaan, sehingga berpotensi meningkatkan intensitas banjir di daerah hulu.

Meski demikian, penyebab pasti banjir dan longsor tetap membutuhkan kajian hidrologi dan ekologi yang komprehensif. Klaim mengenai kontribusi HTI terhadap bencana merupakan analisis lingkungan, bukan kesimpulan hukum.

Fakta Hukum dan Keterkaitan Politik

  • THL memiliki izin resmi HTI yang diterbitkan sejak 1997 dan berlaku hingga 2043.
  • Pemegang saham resmi: PT Alas Helau (mayoritas) dan PT Inhutani V (minoritas, BUMN).
  • Tidak ada bukti sah dari dokumen AHU yang menunjukkan bahwa Prabowo Subianto atau anggota keluarga memiliki saham langsung di THL.
  • Direksi: Edhy Prabowo sebagai Direktur Utama, bukan pemilik saham pribadi.

Klaim keterkaitan dengan Prabowo Subianto lebih banyak bersifat opini dan pengamatan politik dari kelompok advokasi, bukan bukti kepemilikan hukum.

Hingga saat ini, pemerintah pusat belum menetapkan status Darurat Bencana Nasional untuk Sumatera, meski kondisi wilayah terdampak dan tekanan publik terus meningkat. Sementara itu, aktivitas perusahaan kehutanan besar seperti PT Tusam Hutani Lestari menjadi sorotan terkait risiko ekologis dan bencana, walau keterkaitan politik atau kepemilikan pribadi masih bersifat klaim dan membutuhkan verifikasi dokumen resmi.

Masyarakat dan LSM menuntut transparansi lebih lanjut, baik dalam pengelolaan bencana, maupun pengelolaan lahan hutan industri di wilayah kritis, untuk memastikan risiko bencana dapat diminimalisir dan tanggung jawab korporasi jelas.


Sumber:

  • Jaringan Advokasi Tambang (JATAM)
  • Jakarta365.net: Struktur kepemilikan PT Tusam Hutani Lestari
  • Titiktemu.co: Analisis korporasi dan dampak lingkungan
  • Wikipedia: Profil Inhutani V dan Prabowo Subianto
  • Asia-Pacific Solidarity Network: Mapping konsesi HTI dan risiko banjir di Aceh