BONA NEWS. Lebong & Banjarnegara, Bengkulu & Jawa Tengah. — Pada akhir Agustus hingga pertengahan September 2025, Indonesia dikejutkan oleh dua peristiwa keracunan massal yang melibatkan ratusan pelajar. Insiden pertama terjadi di Kabupaten Lebong, Provinsi Bengkulu, pada 27 Agustus 2025, sedangkan yang kedua berlangsung di Banjarnegara, Jawa Tengah, pada 16 September 2025. Kedua peristiwa ini menyoroti pentingnya kebersihan dapur, pengawasan makanan, dan edukasi gizi dalam program pemerintah yang bertujuan meningkatkan kesehatan dan gizi anak-anak, yaitu Makan Bergizi Gratis (MBG).

Kasus Keracunan di Lebong, Bengkulu

Pada 27 Agustus 2025, sebanyak 446 siswa dari tingkat PAUD hingga SMP di Kecamatan Lebong Sakti, Kabupaten Lebong, mengalami gejala keracunan setelah mengonsumsi menu MBG. Gejala yang muncul termasuk mual, muntah, pusing, dan lemas, sehingga para siswa harus mendapatkan penanganan medis segera.

Gubernur Bengkulu, Helmi Hasan, dalam pernyataannya pada 27 Agustus 2025, menyampaikan:

“Sebanyak 240 siswa diperbolehkan pulang dari rumah sakit karena kondisinya membaik. Penyebab pasti keracunan masih dalam penyelidikan.”

Dinas Kesehatan Kabupaten Lebong langsung mengambil langkah cepat dengan mengirim sampel makanan dan muntahan siswa ke BPOM Bengkulu untuk diuji. Pemerintah Provinsi Bengkulu juga menambah stok obat-obatan dan bekerja sama dengan Baznas untuk menyediakan makanan bergizi guna membantu pemulihan siswa yang terdampak.

Ahli gizi dari Universitas Diponegoro, Fahmy Arif Tsani, dalam pernyataannya pada 28 Agustus 2025, menekankan:

“Keracunan makanan biasanya disebabkan oleh bakteri berbahaya seperti Escherichia coli, Clostridium sp, Staphylococcus, dan Salmonella sp. Kebersihan dapur dan pengolahan makanan yang benar sangat penting untuk mencegah insiden semacam ini.”

Insiden ini menunjukkan bahwa program MBG harus dievaluasi secara menyeluruh, terutama dari sisi higienitas dapur dan pengolahan makanan sebelum disajikan kepada anak-anak.

Kasus Keracunan di Banjarnegara, Jawa Tengah

Tidak lama setelah kejadian di Lebong, pada 16 September 2025, sebanyak 146 santri Pondok Pesantren Modern Al Madina di Desa Pingit, Kecamatan Rakit, Banjarnegara, mengalami gejala keracunan setelah mengonsumsi makanan yang disediakan di pesantren. Gejala yang dialami meliputi demam, mual, muntah, diare, pusing, dan nyeri perut.

Dari jumlah korban, 34 santri dirawat dengan infus, sementara sisanya menjalani rawat jalan di beberapa puskesmas dan rumah sakit. Kepala Dinas Kesehatan Banjarnegara, dr. Latifa Hesti, pada pernyataannya tanggal 16 September 2025, menyatakan:

“Pihak kami sedang melakukan investigasi terhadap makanan dan minuman yang dikonsumsi santri sebelum munculnya gejala. Hasil pemeriksaan laboratorium akan menentukan penyebab pasti keracunan.”

Ahli gizi Fahmy Arif Tsani kembali menekankan pada 17 September 2025:

“Bakteri penyebab keracunan bisa menimbulkan gejala mual, muntah, diare, dan dehidrasi. Pengawasan dalam pengolahan makanan harus ketat untuk mencegah kejadian serupa.”

Kejadian ini menjadi perhatian serius bagi pemerintah daerah karena menunjukkan bahwa program pemberian makanan untuk anak-anak harus diawasi secara ketat agar tidak menimbulkan risiko kesehatan.

Ahli gizi menegaskan bahwa keracunan massal sering disebabkan oleh kontaminasi bakteri atau mikroba berbahaya dalam makanan yang disajikan secara massal. Beberapa bakteri utama yang sering menjadi penyebab antara lain:

  • Escherichia coli (E. coli): Menyebabkan diare berat, kram perut, dan mual.
  • Clostridium sp: Dapat menghasilkan racun yang memicu muntah dan kram perut.
  • Staphylococcus aureus: Memproduksi toksin yang tahan panas dan dapat menyebabkan muntah akut.
  • Salmonella sp: Menyebabkan demam, mual, muntah, dan diare.

Faktor risiko yang sering muncul dalam kasus keracunan massal meliputi:

  1. Kebersihan dapur yang buruk: Peralatan, lantai, atau permukaan yang tidak disanitasi dengan baik.
  2. Penyimpanan makanan yang tidak tepat: Suhu penyimpanan yang tidak sesuai dapat memicu pertumbuhan bakteri.
  3. Pengolahan makanan yang salah: Memasak atau mengolah makanan secara tidak higienis.
  4. Kurangnya edukasi staf dapur: Ketidaktahuan mengenai sanitasi dan penanganan makanan.

Pemerintah daerah di kedua lokasi mengambil langkah-langkah cepat untuk menangani kasus ini:

Di Lebong:

  • Penutupan sementara dapur MBG untuk penyelidikan.
  • Pengujian sampel makanan di BPOM Bengkulu.
  • Penambahan stok obat-obatan untuk siswa terdampak.
  • Penyediaan makanan bergizi tambahan untuk pemulihan korban melalui Baznas.

Di Banjarnegara:

  • Perawatan medis intensif bagi santri yang mengalami gejala serius.
  • Investigasi terhadap makanan dan minuman yang dikonsumsi para santri.
  • Koordinasi tim cepat tanggap (TGC) untuk penanganan korban dan pemantauan kesehatan.
  • Pengawasan jangka panjang pada dapur pesantren untuk memastikan keamanan makanan di masa depan.

Langkah-langkah ini menunjukkan keseriusan pemerintah daerah dalam menangani keracunan massal dan mencegah kejadian serupa.

Pelajaran Penting untuk Program Makan Bergizi Gratis

Kejadian di Lebong dan Banjarnegara menegaskan bahwa meskipun tujuan MBG adalah meningkatkan gizi anak-anak, aspek kebersihan dan pengawasan harus menjadi prioritas.

Beberapa pelajaran yang dapat diambil:

  1. Evaluasi rutin dapur dan staf pengolah makanan: Semua dapur MBG harus rutin diperiksa dari sisi sanitasi, suhu penyimpanan, dan kebersihan alat masak.
  2. Pelatihan higienitas bagi staf dapur: Staf dapur harus terlatih mengenai cara mengolah dan menyajikan makanan secara aman.
  3. Pengawasan pihak berwenang: Dinas kesehatan dan BPOM perlu melakukan pengawasan berkala agar kualitas makanan tetap terjaga.
  4. Edukasi siswa: Anak-anak perlu diajarkan kebiasaan makan sehat dan mengenali gejala awal keracunan untuk melaporkannya segera.
  5. Koordinasi cepat antarinstansi: Dalam kasus darurat, koordinasi antara sekolah/pesantren, dinas kesehatan, dan rumah sakit harus berjalan cepat agar korban segera ditangani.

Dengan penerapan langkah-langkah ini, risiko keracunan massal dapat diminimalkan, sehingga program MBG tetap bermanfaat bagi kesehatan dan gizi anak-anak.

Kejadian keracunan massal di Lebong dan Banjarnegara menjadi peringatan penting bagi pemerintah, sekolah, dan pesantren mengenai pentingnya kebersihan dapur, pengawasan makanan, dan edukasi gizi.

Meski tujuan MBG sangat baik, insiden ini menunjukkan bahwa program pemberian makanan untuk anak-anak harus selalu diawasi dan dievaluasi. Pengawasan yang ketat, pelatihan staf dapur, dan pemeriksaan kualitas makanan secara rutin merupakan langkah utama untuk mencegah keracunan massal di masa depan.

Dengan demikian, anak-anak Indonesia dapat terus menikmati program gizi gratis dengan aman, sehat, dan bermanfaat untuk tumbuh kembang mereka.