BONA NEWS. Medan, Sumatera Utara. – Sejak kemenangan Prabowo Subianto dalam Pemilu 2024 dan pelantikannya sebagai Presiden Indonesia, lanskap politik nasional telah memasuki fase yang sarat tantangan. Dari persoalan kebijakan ekonomi hingga pergantian menteri, dari protes publik yang melebar hingga kontroversi terkait peran militer dalam urusan sipil—semuanya memperlihatkan bahwa demokrasi Indonesia sedang diuji dalam berbagai aspek. Artikel ini akan menganalisis beberapa isu utama yang membentuk polarisasi saat ini, sekaligus melihat implikasi jangka panjangnya terhadap sistem politik Indonesia.
Kebijakan Anggaran dan Defisit Fiskal yang Meningkat
Salah satu pengembangan penting adalah persetujuan Komite Anggaran DPR atas anggaran 2026, yang menunjukkan bahwa pemerintah meningkatkan belanja tahunannya menjadi Rp 3.842,7 triliun dengan defisit direncanakan sebesar 2,68% terhadap PDB. Angka ini lebih tinggi dibanding rancangan awal yang mengusulkan defisit 2,48%.
Kenaikan alokasi belanja lokal juga patut dicermati: pemerintah menaikkan dana untuk pemerintah daerah dari yang semula Rp 650 triliun menjadi Rp 693 triliun, sebagai respons terhadap keluhan tentang potensi kenaikan pajak daerah bila dana daerah dipangkas.
Dampak dan Risiko
- Kenaikan defisit fiskal tentu menambah beban utang publik dan bisa mempengaruhi kepercayaan investor. Pasar keuangan merespons dengan pengawasan terhadap disiplin fiskal dan transparansi anggaran.
- Ada risiko inflasi dan tekanan terhadap rupiah jika belanja publik terlalu ekspansif, terutama jika pendapatan negara tidak tumbuh sesuai target.
- Pemerintah ingin mempertahankan keseimbangan antara kebutuhan membiayai program sosial (seperti subsidi, bantuan, kesehatan, sekolah) dan menjaga stabilitas ekonomi makro.
Kekhawatiran atas Pengaruh Politik terhadap Lembaga Independen
Berbagai keputusan dan pergantian dalam kabinet yang dilakukan Presiden Prabowo Subianto telah mengundang kritik.
Selain itu, pemerintah juga mengusulkan perubahan mandat Bank Indonesia (BI), agar tidak hanya menjaga stabilitas moneter dan keuangan, tetapi juga secara eksplisit bertanggung jawab atas pertumbuhan ekonomi. Proposal ini diikuti usulan agar parlemen mempunyai kewenangan untuk memberhentikan anggota dewan BI setelah penilaian.
Isu Utama
- Independensi BI: Dengan tujuan pertumbuhan serta tekanan politik agar bank sentral mendukung program pemerintah, risiko campur tangan politik meningkat.
- Kepercayaan publik dan investor: Perubahan di level tinggi seperti Menteri Keuangan dan kebijakan fiskal yang longgar memicu kekhawatiran bahwa kebijakan akan lebih didorong kepentingan politik dalam jangka pendek daripada pertumbuhan berkelanjutan.
- Legitimasi demokrasi pelemahan institusi: Apabila lembaga-lembaga yang semula independen mulai kehilangan fungsinya sebagai penyeimbang kekuasaan eksekutif, demokrasi bisa terkikis secara struktural.
Sejalan dengan kebijakan anggaran dan perubahan institusi, publik menyuarakan ketidakpuasan mereka secara lebih keras. Banyak protes terjadi, yang memicu kritik terhadap cara elite politik menjalankan kekuasaan.
Beberapa Pemicu Utama:
- Tunjangan anggota DPR yang dinilai mewah — ketika rakyat mendapati anggota legislatif mendapatkan tunjangan rumah dan fasilitas yang besar sementara kondisi ekonomi banyak warga memburuk.
- Biaya hidup tinggi: Inflasi, kenaikan harga bahan pokok, dan daya beli masyarakat yang stagnan memberi tekanan pada kehidupan rakyat kebanyakan.
- Ketimpangan sosial dan persepsi bahwa pertumbuhan ekonomi tidak dirasakan merata. Program sosial ada, tapi banyak warga merasakan bahwa fasilitas publik dan layanan dasar tidak ditingkatkan dengan cepat atau merata.
Respons Pemerintah
Pemerintah melalui Prabowo dan koalisinya merespons dengan memperkenalkan program-program sosial besar, termasuk bantuan langsung, subsidi, dan program sekolah gratis untuk mengurangi beban masyarakat. Namun di sisi lain, banyak yang berargumen bahwa program tersebut belum cukup mengubah struktur masalah, seperti lapangan kerja, distribusi pendapatan, dan kualitas layanan publik.
Isu penting lain adalah legislasi yang memungkinkan militer mengambil peran lebih besar dalam ranah sipil dan jabatan‐jabatan administratif. Perubahan aturan ini mendapat tantangan di Mahkamah Konstitusi karena dianggap dapat mengaburkan batas kekuasaan sipil dan militer.
Sejak Prabowo Subianto, mantan jenderal militer, menjabat presiden, sejumlah tokoh militer juga dipercaya menempati posisi strategis di kabinet dan badan pemerintahan lainnya, termasuk dalam pengamanan protes dan penanganan kebijakan sipil seperti distribusi pangan.
Implikasi
- Potensi militerisasi politik: Jika militer memiliki peran formal dalam fungsi sipil, kontrol demokratis warga bisa berkurang.
- Kelemahan mekanisme checks and balances: Legislasi yang lewat tanpa konsultasi publik memicu kritik bahwa prosedur demokrasi menjadi formalitas belaka.
- Risiko pelanggaran HAM dan akuntabilitas ke pemerintah dan aparat keamanan.
Presiden Prabowo memimpin kabinet “Merah Putih” sejak pelantikannya, berkoalisi dengan banyak partai politik besar. Koalisi ini penting untuk mempertahankan stabilitas pemerintahan, tetapi juga menghadirkan tantangan karakteristik politik-tawar-menawar yang tinggi (compromise politics).
Isu terkait koalisi:
- Akuntabilitas dan konsistensi kebijakan: Koalisi yang besar dan beragam dapat menyulitkan keputusan kebijakan yang cepat atau tegas, terutama bila ada konflik kepentingan antar partai.
- Distribusi kekuasaan: Banyak jabatan, hilir-mudik pergantian pejabat, dan aliran proyek ke daerah koalisi menjadi bagian dari realitas politik tawar-menawar.
- Ketergantungan pada elite politik lokal: Agar stabil, pemerintahan perlu dukungan elite di daerah—ini bisa berpotensi menumbuhkan praktik patronase.
Demokrasi, Transparansi, dan Keterlibatan Publik
Semua isu di atas terkoneksi kuat dengan bagaimana demokrasi di Indonesia berjalan: tidak hanya melalui pemilu, tapi juga bagaimana kebijakan dibuat, dilembagakan, dan dievaluasi.
Tantangan dalam demokrasi
- Transparansi legislatif dan eksekutif: Sejumlah UU dan perubahan sedang diusulkan atau disahkan dengan proses yang dianggap kurang terbuka oleh publik.
- Partisipasi publik: Gerakan sosial, mahasiswa, LSM, dan warga biasa semakin vokal, tetapi akses mereka ke proses legislasi sering terbatas.
- Media dan kebebasan kritis: Apresiasi publik terhadap kritik media dan aktor sipil mungkin terus teruji, terutama di situasi sensitif seperti keamanan, militer, atau kebijakan kontroversial.
Pilkada, Pemilu, dan Stabilitas Politik
Menjelang Pemilu 2029, sejumlah faktor akan sangat menentukan arah politik Indonesia:
Faktor-faktor Kunci
- Kinerja ekonomi
Apakah target pertumbuhan ambisius (sekitar 7-8%) dapat dicapai? Apa dampak inflasi, ketenagakerjaan, dan distribusi kesejahteraan terhadap kepuasan rakyat? - Kepercayaan publik
Seringnya protes karena kebijakan yang dirasa tidak adil atau karena korupsi/pengeluaran pejabat yang jauh dari harapan bisa menurunkan legitimasi pemerintah. - Peran institusi penegak hukum dan peradilan
Mahkamah Konstitusi dan lembaga pengawas lainnya akan diuji pada kemampuan mereka menjaga konstitusi dan hak sipil, terutama terkait legislasi yang menyentuh peran militer, serta hak-hak demokrasi lainnya. - Komentar/aksi dari masyarakat sipil
Mobilisasi warga, mahasiswa, LSM, pengawasan media—semuanya bisa menjadi penyeimbang tindakan eksekutif dan legislatif. - Politik internasional
Stabilitas politik juga dipengaruhi oleh kondisi global—keterkaitan ekonomi, investasi asing, fluktuasi nilai tukar, dan hubungan diplomatik akan menjadi relevan.
Indonesia di tahun 2025 berada di persimpangan. Ada harapan bahwa pemerintahan Prabowo bisa membawa perubahan signifikan—mempercepat pembangunan infrastruktur, meningkatkan kesejahteraan, memperkuat posisi internasional Indonesia. Namun semua itu bergantung pada bagaimana pemerintah mengelola konflik antara kepentingan politik jangka pendek dengan kebutuhan jangka panjang rakyat.
Kerawanan bisa muncul dari:
- Ketidakpuasan publik yang terus tumbuh bila pertumbuhan tidak “dirasakan” secara luas.
- Penurunan kepercayaan terhadap lembaga-lembaga yang semula dianggap netral/kritis.
- Potensi stabilitas terganggu oleh kebijakan yang dianggap kontroversial tanpa perhitungan yang matang.
Di sisi lain, kesempatan untuk memperkuat demokrasi tetap ada jika ada upaya nyata untuk:
- Menjaga transparansi dalam proses legislatif dan anggaran.
- Memperkuat lembaga-lembaga independen.
- Memastikan peran rakyat dalam kontrol pemerintahan, baik melalui demokrasi elektoral maupun mekanisme pengawasan lainnya.
