BONA NEWS. Medan, Sumatera Utara.
— Sidang lanjutan kasus korupsi proyek jalan di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Sumatera Utara kembali digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Medan, Rabu (1/10/2025). Pada sidang kali ini, mantan Penjabat (Pj) Sekretaris Daerah (Sekda) Sumut, Muhammad Armand Effendy Pohan, dihadirkan sebagai saksi. Dalam keterangannya, Effendy mengaku menerima uang sebesar Rp 5 juta dari tersangka Rasuli Efendi Siregar, mantan Kepala UPTD Gunung Tua Dinas PUPR Sumut. Uang tersebut disebut digunakan untuk kegiatan “sedekah Jumat” yang merupakan program rutin internal pemerintah provinsi.
Kasus ini bermula dari dugaan penyimpangan dalam pengelolaan proyek pembangunan jalan di Kabupaten Padang Lawas Utara (Paluta) dan Kabupaten Labuhan Batu Selatan. Proyek dengan total anggaran mencapai Rp 231,8 miliar ini diduga melibatkan sejumlah pejabat di lingkungan Dinas PUPR Sumut. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan lima orang tersangka dalam kasus ini, yaitu:
- Topan Ginting: Kepala Dinas PUPR Sumut
- Rasuli Efendi Siregar: Kepala UPTD Gunung Tua Dinas PUPR Sumut
- Heliyanto: PPK Satker PJN Wilayah I Sumut
- M. Akhirun Piliang: Direktur Utama PT DNG
- M. Rayhan Dulasmi Piliang: Direktur PT RN
Dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Khamozaro Waruwu, Effendy Pohan menjelaskan bahwa pergeseran anggaran untuk proyek pembangunan jalan tersebut dilakukan berdasarkan instruksi dari pemerintah pusat mengenai efisiensi anggaran. Ia menyebutkan bahwa Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) Provinsi Sumut menyetujui pergeseran anggaran tersebut, dan Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, mengeluarkan Peraturan Gubernur (Pergub) No. 16 Tahun 2025 sehari setelahnya. Effendy menambahkan bahwa Gubernur tidak menanyakan dokumen pendukung sebelum mengeluarkan Pergub tersebut.
Mengenai penerimaan uang dari Rasuli Efendi Siregar, Effendy menjelaskan bahwa uang tersebut diberikan sebagai bagian dari kegiatan “sedekah Jumat” yang rutin dilakukan di lingkungan pemerintah provinsi. Ia menegaskan bahwa penerimaan uang tersebut tidak ada kaitannya dengan proyek jalan yang sedang disidangkan.
Namun, keterangan Effendy Pohan menuai pertanyaan dari majelis hakim dan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Hakim Khamozaro Waruwu meminta JPU KPK untuk membuka Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) baru terkait penerimaan uang tersebut, guna memastikan apakah ada tindak pidana korupsi yang melibatkan Effendy.
Sementara itu, kuasa hukum Effendy Pohan, yang diwakili oleh tim penasihat hukum, menegaskan bahwa kliennya tidak terlibat dalam praktik korupsi yang sedang disidangkan. Mereka berpendapat bahwa penerimaan uang untuk kegiatan sosial seperti “sedekah Jumat” adalah hal yang wajar dan tidak dapat dikategorikan sebagai suap atau gratifikasi.
Di sisi lain, pihak KPK menyatakan bahwa mereka akan terus mendalami keterangan saksi-saksi dan bukti-bukti yang ada untuk mengungkap keterlibatan semua pihak dalam kasus ini. KPK juga menyatakan akan menghadirkan saksi-saksi lain, termasuk Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, jika diperlukan.
Kasus korupsi proyek jalan ini menjadi sorotan publik karena melibatkan sejumlah pejabat tinggi di lingkungan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Jika terbukti bersalah, para tersangka dapat dijerat dengan pasal-pasal tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001.
Selain itu, kasus ini juga menyoroti pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran daerah. Masyarakat berharap agar proses hukum berjalan dengan adil dan transparan, serta memberikan efek jera bagi pelaku korupsi.
Sidang kasus korupsi proyek jalan di Dinas PUPR Sumut yang digelar pada Rabu, 1 Oktober 2025, menjadi momentum penting dalam upaya pemberantasan korupsi di daerah. Proses hukum yang transparan dan akuntabel diharapkan dapat mengungkap fakta-fakta yang sebenarnya dan memberikan keadilan bagi semua pihak yang terlibat. Masyarakat juga diingatkan akan pentingnya pengawasan terhadap penggunaan anggaran publik untuk mencegah terjadinya penyimpangan yang merugikan negara dan masyarakat.
