Toto ilustrasi daya beli masyarakat masih rendah

BONA NEWS. Sumatera Utara. – Tekanan ekonomi yang dialami rumah tangga di Sumatera Utara memasuki babak baru pada pertengahan tahun 2025. Berdasarkan data dari lembaga statistik resmi, tingkat inflasi tahunan di wilayah ini telah menembus angka 4,26% per Juni 2025, atau lebih tinggi dari rerata nasional.

Kelompok pengeluaran yang mendorong laju inflasi tersebut masih didominasi oleh komoditas makanan, minuman, dan tembakau. Ketiganya mengalami kenaikan harga yang konsisten selama beberapa bulan terakhir, terutama akibat distribusi logistik yang tersendat dan produksi dalam negeri yang terganggu oleh cuaca ekstrem.

Kenaikan Harga Barang Konsumsi Merayap, Tapi Nyata

Salah satu gejala yang kini dirasakan masyarakat adalah kenaikan harga yang terjadi perlahan namun terus-menerus, fenomena yang sering disebut sebagai inflasi merayap. Kenaikan tersebut tidak selalu terlihat mencolok dalam bentuk harga yang melonjak tajam, melainkan dari:

  • Ukuran kemasan produk yang diperkecil
  • Pengurangan isi barang tanpa penyesuaian harga
  • Penurunan kualitas bahan tanpa pemberitahuan

Kondisi ini membuat masyarakat kerap tidak sadar bahwa daya beli mereka terus menurun, bahkan saat penghasilan tetap stagnan.

Distribusi & Energi Jadi Faktor Tambahan

Di luar sektor pangan, kenaikan inflasi di Sumut juga didorong oleh peningkatan harga pada sektor transportasi dan energi. Tarif angkutan udara, bahan bakar kendaraan, serta komponen logistik antardaerah menjadi pemicu lonjakan harga di pasar.

Kondisi ini menimbulkan efek berantai. Biaya distribusi yang lebih tinggi membuat harga barang kebutuhan pokok ikut terdongkrak, meskipun permintaan dari masyarakat cenderung stabil atau bahkan menurun.

Konsumsi Rumah Tangga Menurun, Belanja Lebih Selektif

Data juga menunjukkan penurunan konsumsi rumah tangga dalam beberapa bulan terakhir. Pengeluaran untuk kebutuhan sekunder seperti sandang, hiburan, dan jasa mengalami penyusutan, sementara pembelian kebutuhan pokok dilakukan lebih selektif.

Dalam kondisi ini, banyak keluarga mulai beralih ke merek generik, membatasi frekuensi belanja, serta lebih sering memanfaatkan promosi daring maupun belanja grosir untuk efisiensi anggaran bulanan.

Pasar Tradisional Merasakan Tekanan Langsung

Pantauan harga di pasar-pasar tradisional menunjukkan beberapa komoditas utama mengalami lonjakan signifikan sejak awal tahun:

  • Cabai merah naik lebih dari 30% secara tahunan
  • Telur ayam ras meningkat di atas 20%
  • Minyak goreng curah konsisten di atas Rp17.000 per liter
  • Daging ayam ikut mengalami kenaikan, meskipun fluktuatif

Situasi ini memperbesar beban pengeluaran masyarakat kelas menengah ke bawah yang sangat bergantung pada pasar sebagai sumber belanja utama.

Kebijakan Perlu Menyentuh Hulu dan Hilir

Langkah-langkah pengendalian harga seperti operasi pasar, subsidi distribusi, dan pelonggaran biaya logistik sudah dilakukan di beberapa daerah. Namun pengaruhnya masih bersifat jangka pendek.

Untuk menahan inflasi yang bersifat struktural, perlu sinergi lintas sektor yang mencakup:

  • Penguatan distribusi antardaerah
  • Perlindungan harga untuk produsen dan konsumen kecil
  • Penyederhanaan rantai pasok pangan
  • Intervensi hulu pada komoditas yang sensitif terhadap iklim dan fluktuasi global

Tanpa langkah yang menyentuh struktur produksi dan distribusi, kenaikan harga akan terus membebani pengeluaran rumah tangga di Sumatera Utara dan sekitarnya.

Saatnya Waspada dan Adaptif

Inflasi bukan sekadar angka statistik—ia hadir di meja makan, di kantong belanja, dan di keputusan-keputusan kecil keluarga setiap hari. Dalam kondisi ini, sikap adaptif masyarakat menjadi penting: cermat dalam memilih produk, cerdas dalam menyusun anggaran, dan bijak dalam membedakan kebutuhan dengan keinginan.

Kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih menuntut peran aktif semua pihak. Bukan hanya dari sisi kebijakan, tapi juga dari perubahan perilaku konsumsi yang lebih berdaya tahan. (Red)