BONA NEWS. BALI. –   “Tiba-tiba kapal miring, lampu mati total, dan orang-orang berteriak panik. Saya langsung lompat ke laut pakai pelampung seadanya. Gelap. Saya hanya ingat berdoa.” Kalimat itu diucapkan oleh Samsul Hidayat (37), satu dari 31 orang yang berhasil diselamatkan dari tragedi KMP Tunu Pratama Jaya, ferry penumpang yang tenggelam di Selat Bali pada Rabu malam, 2 Juli 2025.

Peristiwa ini mengingatkan Indonesia bahwa transportasi laut—yang seharusnya menjadi jantung penghubung antar-pulau—masih rentan terhadap kelalaian, cuaca ekstrem, dan minimnya pengawasan sistemik.

KMP Tunu Pratama Jaya berangkat dari Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi, menuju Gilimanuk, Bali, pukul 22.56 WIB. Kapal ini mengangkut 53 penumpang, 12 kru, dan 22 kendaraan, termasuk truk logistik dan mobil pribadi.

Sekitar 23.20 WIB, awak kapal mengirimkan sinyal darurat. Terjadi gangguan pada mesin kapal dan sistem kelistrikan. Belum sempat diperbaiki, pukul 23.35 WIB kapal blackout total. Selang beberapa menit kemudian, kapal mulai miring dan terbalik, lalu tenggelam seluruhnya dalam waktu kurang dari 15 menit.

“Semuanya begitu cepat. Anak saya saya ikat ke badan pakai pelampung busa. Kami terombang-ambing di laut, hampir 3 jam sampai diselamatkan nelayan,” tutur Ayu Lestari (29), seorang ibu korban selamat yang kehilangan suaminya.

Operasi SAR balapan dengan cuaca. Badan SAR Nasional (Basarnas), bersama TNI AL, Polri, dan relawan nelayan lokal langsung melakukan penyisiran malam itu juga. Tercatat:

  • 31 orang berhasil diselamatkan
  • 8 jenazah ditemukan (termasuk dua anak-anak)
  • 26 orang lainnya masih dinyatakan hilang
  • 13 kapal, 3 helikopter, dan drone thermal dikerahkan

Namun operasi pencarian dihadang gelombang setinggi 2–3 meter, kabut pekat, dan arus laut deras.

“Tantangan terbesar kami adalah cuaca. Tapi operasi terus dilakukan 24 jam. Fokus kami adalah menyisir radius 7 mil laut dari titik tenggelam,” kata Rudi Kurniawan, Kepala Basarnas Banyuwangi.

Menurut ASDP, KMP Tunu Pratama Jaya dioperasikan oleh PT Pelayaran Anugerah Samudera Abadi, bukan bagian dari ASDP BUMN, tetapi pemegang trayek lintas Ketapang–Gilimanuk secara swasta. Kapal ini berusia 17 tahun, dan terakhir kali menjalani inspeksi pada Maret 2024.

Bocoran awal dari penyintas dan awak kapal menyebut kebocoran di ruang mesin. Namun dugaan kuat juga mengarah pada:

  • Ketidaksiapan kru saat situasi darurat
  • Keterlambatan respons evakuasi
  • Sistem pelampung dan sekoci yang tidak proporsional

Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) telah mengirim tim investigasi dan menunggu pengangkatan badan kapal dari dasar laut untuk analisis lanjut.

Kesaksian Keluarga Korban

Siti Humaerah, warga Probolinggo, mengaku kehilangan dua anak dan satu cucu dalam insiden ini.

“Kami sudah naik kapal itu dari dulu. Tapi kali ini mereka tak pulang. Saya hanya ingin tahu: kenapa kapal bisa blackout begitu cepat?” ucapnya sambil menangis.

Banyak keluarga penumpang juga mengeluhkan lambannya informasi yang diberikan operator kapal kepada pihak keluarga. Bahkan nomor layanan pengaduan disebut tak aktif di hari kejadian.

 Catatan Kelam Transportasi Laut

Tragedi ini bukan yang pertama. Dalam lima tahun terakhir, Indonesia mencatat:

Tahun Insiden Korban Jiwa
2021 KM Ladang Pertiwi 19 orang
2022 KM Cahaya Arafah 13 orang
2023 KM Lestari Maju 15 orang
2024 KM Wicitra Dharma 21 orang
2025 KMP Tunu Pratama Jaya 8 (sementara)

Data dari Kementerian Perhubungan dan BPS menunjukkan bahwa lebih dari 70% kecelakaan laut disebabkan oleh faktor teknis dan human error, bukan semata cuaca.

Presiden RI Prabowo Subianto menginstruksikan evakuasi nasional penuh dan mendesak Kemenhub dan KNKT memberikan laporan resmi maksimal 14 hari.

“Keselamatan rakyat di laut adalah tanggung jawab negara. Tidak boleh ada pembiaran atau pengulangan,” kata Presiden dalam pernyataan pers, Kamis (3/7).

Sementara itu, Komisi V DPR RI langsung menjadwalkan pemanggilan terhadap Kemenhub, KNKT, dan operator swasta.

Sigit Widodo, anggota Komisi V DPR dari Fraksi Demokrat, menyatakan:

“Kita harus tegas. Kalau perlu, cabut izin operator pelayaran yang lalai. Negara tidak boleh lunak terhadap kelalaian yang berujung kematian.”

Analisis: Masalah Sistemik yang Belum Diatasi

Dr. Wahyu Anggoro, pakar transportasi maritim dari ITS Surabaya, menyoroti tiga masalah utama:

  1. Sertifikasi kapal yang mudah diloloskan
  2. Pelatihan awak yang minim simulasi darurat
  3. Kurangnya pengawasan pasca-trayek dikelola swasta

“Tragedi ini akan terulang jika tidak ada pembenahan menyeluruh. Jangan hanya menyalahkan cuaca. Ini soal tata kelola pelayaran.”

Kementerian Perhubungan menyatakan akan melakukan:

  • Audit menyeluruh pada 37 trayek ferry swasta seluruh Indonesia
  • Pengetatan standar pelampung, radar, dan komunikasi kapal
  • Penghapusan izin trayek untuk operator yang tiga kali melanggar protokol keselamatan
  • Digitalisasi manifest penumpang dan pelacakan posisi real-time kapal

Sementara itu, masyarakat sipil seperti Koalisi Masyarakat Maritim Indonesia (KMMI) mendesak adanya:

  • Dana kompensasi korban dari perusahaan pelayaran
  • Reformasi pendidikan pelaut
  • Keterlibatan LSM dalam pengawasan lapangan

Jangan Biarkan Ini Menjadi Statistik Lagi

KMP Tunu Pratama Jaya bukan hanya tentang kapal yang tenggelam. Ia adalah simbol dari banyaknya nyawa yang terancam karena negara belum menutup celah sistemik di laut.

Jika hari ini kita diam, maka esok akan ada KMP lain yang menyusul. Dan lagi-lagi, keluarga akan menanti kepulangan yang tak pernah terjadi. (Red)