Foto : ilustrasi 

BONA NEWS. Jakarta. – Pemerintah secara resmi mencabut status Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS Kesehatan bagi lebih dari 8 juta jiwa. Keputusan ini diambil setelah dilakukan evaluasi dan pemutakhiran data sosial ekonomi secara nasional. Menurut Kementerian Sosial, langkah ini bukan untuk memangkas bantuan, tetapi untuk memastikan subsidi kesehatan benar-benar sampai ke masyarakat paling rentan: warga miskin ekstrem.

Pencoretan dilakukan berdasarkan sistem baru bernama Data Terpadu Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN), yang menjadi acuan dalam penyaluran berbagai bantuan sosial sejak awal 2025. Lewat pemadanan data tersebut, ditemukan jutaan peserta PBI yang sudah tidak memenuhi kriteria penerima bantuan pemerintah, baik karena sudah mampu, data tidak aktif, atau bahkan sudah meninggal dunia namun belum dihapus dari sistem.

“Dari hasil evaluasi, sekitar 8,2 juta peserta PBI dinyatakan tidak lagi layak. Kuota itu sekarang kita alihkan kepada masyarakat dalam kelompok desil 1, yaitu mereka yang masuk kategori miskin ekstrem,” jelas Menteri Sosial dalam konferensi pers pada awal Juli.

Mengapa Mereka Dicoret?

Peserta yang dicoret dari daftar PBI berasal dari berbagai latar belakang. Banyak di antaranya merupakan data lama yang tidak pernah diperbarui. Beberapa lainnya diketahui merupakan pegawai negeri sipil (PNS), anggota TNI/Polri, bahkan pejabat legislatif yang secara hukum dan ekonomi tidak berhak menerima subsidi.

Selain itu, ada juga peserta yang tercatat ganda atau berpindah domisili tanpa pelaporan, sehingga menyebabkan data tidak valid. Menurut Kemensos, pembersihan data ini sangat penting agar subsidi tidak mubazir dan tepat sasaran.

“Ada peserta yang sudah meninggal sejak 2020 tapi datanya masih aktif di sistem. Ini menyebabkan anggaran terus keluar padahal orangnya tidak lagi ada,” tambah Dirjen PFM Kemensos.

Dialihkan ke Miskin Ekstrem

Yang menjadi sorotan adalah arah kebijakan selanjutnya: seluruh kuota yang dicabut akan langsung dialihkan ke kelompok miskin ekstrem, yaitu masyarakat yang hidup dengan pengeluaran di bawah Rp11.000 per hari. Mereka selama ini dianggap paling rentan, tapi justru banyak yang belum masuk dalam daftar penerima manfaat.

Pemerintah mencatat, jumlah warga miskin ekstrem di Indonesia masih sekitar 1,7 juta jiwa per Maret 2024, dan targetnya adalah nol persen pada 2026. Pengalihan PBI ini merupakan bagian dari strategi besar penghapusan kemiskinan ekstrem, sebagaimana tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2025.

“Kalau bicara keadilan sosial, maka yang paling miskin harus didahulukan. Karena kalau mereka jatuh sakit, mereka tidak punya kemampuan membayar sama sekali,” kata Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti.

Bagaimana Jika Merasa Dicoret Tapi Masih Miskin?

Tak sedikit masyarakat yang terkejut saat mengetahui kepesertaannya dinonaktifkan. Namun pemerintah memberi ruang bagi siapa pun yang merasa masih berhak, untuk mengajukan reaktivasi melalui Dinas Sosial setempat. Hingga pertengahan Juli 2025, tercatat lebih dari 18.800 orang berhasil mengaktifkan kembali status PBI mereka.

Proses reaktivasi dilakukan dengan verifikasi cepat menggunakan DTSEN, serta kunjungan lapangan bila diperlukan. Dinas sosial kabupaten/kota diberi wewenang untuk memprosesnya dalam waktu maksimal 14 hari kerja.

Meski begitu, masih ada keluhan dari masyarakat terkait minimnya sosialisasi. Di beberapa daerah, warga miskin kehilangan akses layanan kesehatan karena tidak menyadari status kepesertaannya sudah nonaktif. Pemerintah pun didesak untuk memperluas informasi dan mempercepat proses reaktivasi bagi masyarakat rentan.

Perbaikan Sistem, Bukan Pemangkasan Bantuan

Langkah pencoretan 8 juta peserta BPJS Kesehatan bukan berarti pemerintah mengurangi bantuan. Kuota tetap 96,8 juta jiwa, hanya saja penerima disesuaikan dengan data terbaru agar subsidi bisa menyentuh mereka yang benar-benar membutuhkan.

Kebijakan ini menjadi bagian dari perbaikan sistem perlindungan sosial nasional yang lebih tepat sasaran, terukur, dan berkelanjutan. Namun agar tidak menimbulkan gejolak sosial, pemerintah daerah diminta aktif mendampingi warganya—khususnya mereka yang berada di garis kemiskinan ekstrem. <Red>.