BONA NEWS. Jakarta. — Indonesia tengah menghadapi gelombang ekspansi besar-besaran dari merek-merek makanan dan minuman (F&B) asal Tiongkok, seperti Mixue, Chagee, Wedrink, dan Heytea. Dalam dua tahun terakhir, gerai mereka menjamur di berbagai kota besar hingga wilayah pinggiran, memicu kekhawatiran terhadap kelangsungan hidup pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) lokal di sektor serupa.
Data sektor perdagangan dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa sejak 2023 hingga awal 2025, jumlah investasi asing langsung (FDI) di sektor makanan dan minuman meningkat hampir 72%, dengan Tiongkok menjadi penyumbang terbesar di subsektor minuman siap saji dan minuman berbasis teh. Lonjakan ini sejalan dengan peningkatan signifikan dalam jumlah gerai franchise asing yang beroperasi di Indonesia.
Di sisi lain, lebih dari 1,7 juta pelaku UMKM di sektor F&B lokal masih menghadapi berbagai tantangan struktural seperti keterbatasan akses pembiayaan, minimnya literasi digital, dan kesulitan penetrasi ke pasar online. Hal ini membuat mereka rentan tergeser dalam kompetisi pasar yang makin padat dan kompetitif.
Dampak Langsung di Lapangan
Banyak pelaku usaha kecil lokal mengeluhkan penurunan omzet sejak gerai asing bermunculan di sekitar tempat usaha mereka. Kedai es teh lokal, angkringan minuman, dan brand F&B lokal yang belum semapan jaringan asing, mulai tergeser dari titik-titik strategis seperti mal, pusat transit, hingga kawasan pendidikan.
Beberapa komunitas UMKM melaporkan bahwa meskipun rasa dan inovasi produk lokal tidak kalah, mereka tertinggal dari sisi pemasaran, sistem operasional, dan daya jangkau digital. Akibatnya, daya saing UMKM kian melemah di tengah dominasi merek asing yang mampu menawarkan produk murah, promosi intensif, dan desain visual yang menarik perhatian konsumen muda.
Regulasi Belum Memadai, Proteksi Belum Terasa
Hingga pertengahan 2025, belum ada aturan teknis yang secara jelas mengatur tentang batasan kepemilikan asing dalam skala ritel kecil-menengah di sektor F&B. Perizinan usaha masih menggunakan pendekatan berbasis risiko sebagaimana diatur dalam PP No. 5 Tahun 2021, yang membuka celah bagi ekspansi agresif gerai asing tanpa pengendalian zonasi atau jumlah.
Sementara itu, program afirmatif untuk UMKM masih berjalan sporadis. Insentif yang dijanjikan untuk UMKM dalam bentuk pembiayaan, pelatihan, maupun fasilitas promosi digital belum menjangkau seluruh pelaku usaha, apalagi yang berada di luar Jawa.
Rekomendasi Solusi Jangka Menengah dan Panjang
Dalam menghadapi gelombang ekspansi F&B asing, Indonesia perlu segera mengambil langkah korektif dan protektif terhadap ekosistem UMKM nasional. Beberapa langkah yang bisa dipertimbangkan antara lain:
- Zonasi Gerai Asing di Area UMKM Padat
Pemerintah daerah perlu menetapkan batasan jumlah gerai asing di wilayah tertentu agar tidak menciptakan konsentrasi bisnis yang menyingkirkan pelaku lokal. - Insentif Marketplace untuk Produk UMKM Lokal
Platform e-commerce dan ojek online perlu diwajibkan memberikan ruang eksklusif dan dukungan promosi untuk produk F&B lokal, seperti subsidi biaya iklan atau pengurangan komisi. - Revisi Skema Izin Usaha Waralaba Asing
Dibutuhkan regulasi khusus untuk mengatur ekspansi franchise asing skala menengah, termasuk standar kemitraan dengan usaha lokal dan kewajiban transfer teknologi. - Subsidi Sertifikasi dan Pembinaan Pemasaran
Sertifikasi halal, BPOM, dan pelatihan kemasan serta branding harus digratiskan bagi UMKM sektor F&B yang lolos seleksi program binaan pemerintah. - Kolaborasi Lintas Sektor
Pemerintah pusat dan daerah harus menggandeng perguruan tinggi, asosiasi pengusaha, serta BUMN logistik untuk menciptakan program penguatan rantai pasok UMKM F&B.
Dominasi gerai F&B asing bukanlah hal yang dapat dihindari dalam ekonomi terbuka. Namun, negara berkewajiban memastikan agar kompetisi tetap berjalan secara adil dan tidak menciptakan ketimpangan struktural yang mematikan pelaku usaha kecil.
Tanpa langkah cepat dan sistematis, UMKM berpotensi hanya menjadi pelengkap dalam pasar ritel yang dikuasai pemain luar. Momentum ini harus dimanfaatkan pemerintah untuk membuktikan keberpihakan nyata terhadap ekonomi rakyat, bukan hanya slogan. (Red)
