BONA NEWS. Sumatera Utara.  — Razia lalu lintas oleh Satuan Lalu Lintas (Satlantas) Polri kembali menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat. Kegiatan ini, yang secara resmi disebut sebagai Operasi Penertiban, tak jarang menimbulkan pro-kontra, terutama karena waktu pelaksanaannya yang dinilai kerap bertepatan dengan momentum krusial seperti tahun ajaran baru, jelang hari raya, atau akhir tahun.

Di sejumlah kota besar seperti Jakarta, Medan, Surabaya, dan Yogyakarta, pengendara mengeluhkan intensitas razia yang meningkat sejak pertengahan tahun. Razia dilakukan di simpang padat, jalur protokol, hingga jalan alternatif. Di satu sisi, razia dinilai penting untuk menertibkan lalu lintas. Namun di sisi lain, publik menilai pelaksanaannya kurang transparan dan cenderung represif, belum lagi ketika menilang etle yang menggunakan kamera HP secara tiba-tiba dilokasi yang tidak ada kamera etle.

Mengapa Waktu Razia Sering Dianggap “Strategis”?

Salah satu sorotan publik adalah waktu pelaksanaan razia yang dinilai tidak acak, melainkan cenderung berulang di periode tertentu:

  • Juli–Agustus: Masa tahun ajaran baru sekolah dan perkuliahan. Banyak orang tua sibuk mengantar anak, membeli perlengkapan sekolah, dan mobilitas meningkat.
  • 2 bulan sebelum Idul Fitri & Idul Adha: Waktu orang mulai menyiapkan mudik, belanja, hingga bayar pajak kendaraan. Lalu lintas meningkat drastis.
  • November–Desember: Menjelang Natal dan Tahun Baru. Banyak mobilitas keluarga, wisata, dan distribusi barang.

Kritik muncul karena masyarakat merasa tekanan finansial di masa-masa itu justru diperparah dengan ancaman razia mendadak. “Kenapa razia harus saat orang lagi sibuk urus sekolah anak? Apalagi kalau cuma karena hal sepele seperti pelat nomor pudar,” keluh Sri (34), warga Medan, Jum’at (25/7/2025)

Sejumlah pengendara juga mengaku khawatir karena banyak razia dilakukan tanpa papan informasi, atau di titik yang membuat kemacetan makin parah.

Komitmen Kakorlantas Baru: “Saya Copot Hari Itu Juga”

Menanggapi keresahan tersebut, Kepala Korps Lalu Lintas Polri yang baru, Irjen Pol. Agus Suryonugroho, menegaskan komitmennya untuk memberantas praktik penyimpangan dalam pelaksanaan razia.

Dalam Simposium Nasional “Polantas Menyapa” yang digelar di Hotel Wyndham Garden Yogyakarta, Jumat (25/7/2025), Agus menyampaikan dengan tegas:

Kalau ada anggota saya yang main-main, apalagi sampai melakukan pungli, saya tidak segan copot hari itu juga. Silakan laporkan, bila terbukti saya tindak.

Ia juga menekankan bahwa tata kelola lalu lintas harus berorientasi pada keselamatan dan pelayanan, bukan penindakan semata.

Dasar Hukum Razia Lalu Lintas

Razia kendaraan memiliki dasar hukum yang sah melalui:

  • UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
  • Putusan MK No. 14/PUU-XI/2013
    (Menegaskan bahwa razia di jalan umum tidak boleh bertentangan dengan hak asasi dan harus profesional)

Namun demikian, pelaksanaan razia di lapangan tetap harus mengikuti prosedur, seperti adanya surat tugas, papan informasi, dan dilakukan oleh petugas berseragam lengkap.

Sayangnya, tidak semua razia memenuhi syarat tersebut. Video-video di media sosial menunjukkan adanya tindakan intimidatif, pemeriksaan yang dilakukan secara asal, bahkan dugaan pungli oleh oknum petugas.

Media Sosial: Senjata Warga Melawan Razia Bermasalah

Di era digital, warga menggunakan media sosial seperti TikTok, Instagram, dan X (Twitter) untuk merekam dan melaporkan razia yang dianggap tidak transparan.

Salah satu video yang viral di akhir juni 2025  di Kota Medan memperlihatkan polisi melakukan pungli dengan alasan pemeriksaan kelengkapan kenderaan awal Juli 2025 memperlihatkan pengendara motor di Kota Yogyakarta diberhentikan karena tidak mengenakan jaket, meskipun semua surat lengkap. Video tersebut ditonton 2 juta kali dan memunculkan perdebatan luas soal standar razia.

Penggunaan tagar seperti #RaziaAtauPungli, #RaziaMendadak, dan #SatlantasWatch menunjukkan betapa kuatnya sentimen publik terhadap razia yang tidak profesional.

Solusi: Edukasi, Transparansi, dan Digitalisasi

Pemerhati kebijakan publik Bobby Apriliano menilai bahwa razia hanya akan efektif jika dilakukan dengan pendekatan yang edukatif dan akuntabel.

“Razia itu penting, tapi jangan jadi alat tekanan kepada masyarakat. Jika setiap razia terasa seperti jebakan, masyarakat tidak akan percaya lagi pada upaya penegakan hukum,” ujar Bobby Apriliano dalam tulisan, Jum’at (25/7/2025).

Bobby Apriliano juga mendorong ekspansi sistem ETLE (Electronic Traffic Law Enforcement) agar penegakan hukum bisa dilakukan secara otomatis dan tanpa interaksi langsung, sehingga risiko penyimpangan menurun drastis.

“Digitalisasi lalu lintas bukan hanya efisiensi, tapi juga perlindungan bagi warga dari praktik yang menyimpang,” tambahnya.

Reformasi dalam sistem penegakan hukum lalu lintas adalah keharusan. Razia tetap diperlukan, terutama untuk menindak pelanggaran berat seperti kendaraan tanpa STNK, SIM mati, atau modifikasi membahayakan. Namun pelaksanaannya harus disesuaikan dengan prinsip proporsionalitas, edukasi, dan transparansi.

Masyarakat berharap Satlantas di bawah kepemimpinan Irjen Agus Suryonugroho mampu menjawab tantangan tersebut, tidak hanya dengan slogan, tetapi juga melalui praktik yang konsisten dan profesional.