BONA NEWS. Jakarta. – Pemerintah pusat mulai menata ulang arah pembangunan nasional lewat jalur yang jarang disentuh: kebudayaan. Melalui Rencana Aksi Nasional Pemajuan Kebudayaan (RAN-PK) 2025–2029, Indonesia ingin memastikan budaya tidak hanya tampil di panggung perayaan, tapi menjadi bagian dari perencanaan pembangunan yang nyata.

Langkah ini berangkat dari Peraturan Presiden No. 115 Tahun 2024 yang menetapkan Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan (RIPK) 2025–2045 sebagai acuan jangka panjang. RAN-PK adalah langkah lima tahunan untuk menjalankan visi itu secara operasional.

RAN-PK disusun agar budaya tak lagi dipandang sebelah mata. Pemerintah ingin setiap daerah memiliki peta jalan kebudayaannya sendiri. Itu artinya, mulai dari adat, bahasa, rumah tradisional, sampai cerita rakyat, semua diposisikan sebagai bagian dari pembangunan — bukan hanya warisan.

“Budaya bukan pelengkap, tapi pondasi,” kata Deputi Bidang Koordinasi Revolusi Mental dan Pembangunan Kebudayaan Kemenko PMK, Warsito, dalam forum penyusunan RAN-PK di Jakarta, Rabu, 3 Juli 2025.

37 Kementerian Diminta Bergerak Serempak

RAN-PK tidak hanya milik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sedikitnya 37 kementerian/lembaga terlibat, dari Kementerian Desa, Bappenas, sampai Kementerian Kominfo. Semua diminta menyisipkan kebudayaan dalam rencana kerja mereka.

Pendekatannya menggunakan metode “pentahelix” — artinya melibatkan pemerintah, komunitas, akademisi, swasta, dan media. Tujuannya agar budaya tidak dikerjakan sendirian oleh pemerintah pusat, tapi ditumbuhkan bersama-sama.

Ada tiga hal utama yang menjadi sorotan dalam penyusunan RAN-PK:

  1. Data budaya masih minim. Banyak daerah belum memiliki inventarisasi budaya yang lengkap dan terdokumentasi dengan baik.
  2. Pendanaan belum merata. Anggaran kebudayaan di banyak daerah masih kecil atau terselip di pos dinas pariwisata.
  3. SDM terbatas. Banyak daerah belum punya tenaga ahli budaya atau staf teknis yang memahami tugas pemajuan budaya.

Untuk mengatasi hal itu, pemerintah menargetkan agar setiap pemda memiliki dokumen pemajuan kebudayaan sendiri sebelum 2029. Di sisi lain, kementerian juga sedang menyusun sistem digitalisasi budaya secara nasional.

Beberapa daerah langsung merespons. Di Sumatera Barat, misalnya, pemda sudah mulai menyusun ulang dokumen kebudayaan dengan pendekatan partisipatif. Di Maluku, sanggar seni digandeng untuk membantu pelestarian musik tradisional Tifa dan Totobuang.

Pemerintah daerah yang serius akan mendapat pendampingan dari pusat, baik lewat pelatihan, bimbingan teknis, maupun integrasi dengan program pembangunan lainnya.

Tantangan: Menyatukan Wilayah, Waktu, dan Wilayah

Meski niatnya kuat, jalan RAN-PK tidak akan mudah. Sebagian kepala daerah masih menganggap budaya adalah urusan festival dan tampilan visual semata. Belum semua melihat budaya sebagai alat rekonsiliasi, pendidikan, bahkan penguatan ekonomi.

Tapi sinyal baru sudah terlihat. Perkembangan teknologi, tren digitalisasi budaya, serta keinginan generasi muda menghidupkan kembali bahasa daerah, menjadi peluang yang tak boleh diabaikan.

Seperti disampaikan oleh Sekjen Kemendikbudristek, Suharti, saat membuka sesi koordinasi pekan lalu:

“Kalau ingin SDM unggul, budayanya harus kuat. Kita tidak bisa menyiapkan manusia masa depan tanpa akar yang jelas.”

RAN-PK 2025–2029 adalah kesempatan emas untuk membuktikan bahwa Indonesia tidak hanya besar karena warisan masa lalu, tetapi juga karena kemampuannya menghidupkan warisan itu sebagai kekuatan hari ini dan masa depan.

Selama pelaksanaannya konsisten dan tidak berhenti di meja rapat, dokumen ini bisa menjadi salah satu kebijakan paling relevan dalam sejarah pemajuan budaya Indonesia.