BONA NEWS. Jakarta, Indonesia. 

Jakarta, 25 September – Pemerintah resmi menerbitkan Keputusan Menteri PANRB Nomor 16 Tahun 2025 yang mengatur keberadaan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) Paruh Waktu. Regulasi ini dipandang sebagai langkah strategis dalam menata keberadaan tenaga non-ASN atau honorer yang hingga kini masih tersebar di berbagai instansi pemerintahan.

Kebijakan ini diumumkan oleh Menteri PANRB Rini Widyantini dalam konferensi pers di Jakarta, 8 September 2025 lalu. Rini menegaskan, pemerintah tidak bisa menutup mata terhadap nasib tenaga non-ASN yang selama ini menjadi tulang punggung operasional pelayanan publik.

“Melalui skema PPPK Paruh Waktu, tenaga non-ASN memperoleh kepastian hukum sekaligus fleksibilitas sesuai kebutuhan instansi. Ini jalan tengah antara efisiensi anggaran dan perlindungan tenaga kerja,” ujar Rini.

Latar Belakang: Warisan Honorer yang Tak Pernah Usai

Isu tenaga honorer sebenarnya bukan cerita baru. Sejak awal 2000-an, tenaga honorer sudah menjadi fenomena di birokrasi Indonesia. Mereka direkrut untuk mengisi kebutuhan pelayanan publik, namun tidak memiliki status hukum yang kuat.

Pada 2018, pemerintah sempat berjanji menghapus sistem tenaga honorer secara bertahap. Namun, kenyataannya, kebutuhan pegawai di lapangan tidak bisa sepenuhnya dipenuhi dengan formasi CPNS maupun PPPK penuh waktu. Akibatnya, honorer tetap bertahan, bahkan jumlahnya meningkat di beberapa sektor seperti pendidikan dan kesehatan.

Data BKN menyebut, hingga akhir 2024 terdapat sekitar 1,6 juta tenaga non-ASN yang masih aktif bekerja di instansi pemerintah pusat maupun daerah. Kondisi ini memunculkan dilema: di satu sisi mereka dibutuhkan, di sisi lain keberadaannya tidak memiliki dasar hukum yang jelas.

Salah satu poin penting dalam Keputusan MenPANRB Nomor 16/2025 adalah fleksibilitas jam kerja. Tidak ada aturan baku mengenai jumlah jam yang wajib dipenuhi PPPK Paruh Waktu. Setiap instansi diberikan kewenangan untuk menyesuaikannya.

Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) di tiap instansi berhak menentukan beban kerja sesuai dengan kebutuhan dan ketersediaan anggaran. Hal ini membuat mekanisme kerja menjadi lebih luwes, berbeda dengan ASN penuh waktu yang wajib memenuhi jam kerja 37,5 jam per minggu.

Rini menegaskan, sistem ini bukan berarti melemahkan aturan, melainkan bentuk adaptasi birokrasi modern.

“Setiap instansi punya kebutuhan berbeda. Ada yang membutuhkan tenaga teknis hanya beberapa jam sehari, ada pula yang membutuhkan dukungan administratif di jam-jam tertentu. Itulah yang menjadi dasar fleksibilitas PPPK Paruh Waktu,” jelasnya.

Meski berstatus paruh waktu, pemerintah memastikan bahwa hak-hak pegawai tetap terjamin. Gaji yang diterima PPPK Paruh Waktu tidak boleh lebih rendah dari penghasilan yang sebelumnya diterima sebagai tenaga non-ASN atau dari Upah Minimum Provinsi/Kabupaten setempat, tergantung mana yang lebih tinggi.

Selain gaji pokok, PPPK Paruh Waktu juga berhak mendapatkan tunjangan sesuai ketentuan yang berlaku di instansi masing-masing. Kontrak kerja mereka umumnya dibuat untuk jangka waktu satu tahun dan dapat diperpanjang jika kinerja dinilai baik serta anggaran memungkinkan.

Kepala BKN Zudan Arif Fakrulloh, dalam keterangannya pada 15 September 2025, menegaskan bahwa mekanisme pengupahan ini menjadi kunci agar tenaga non-ASN tidak lagi merasa termarjinalkan.

“Skema paruh waktu memastikan tenaga non-ASN tetap mendapat ruang kontribusi sekaligus kepastian status. Kami ingin mereka terlindungi secara hukum dan tidak lagi bergantung pada kebijakan instansi semata,” ujar Zudan.

Meski memiliki status yang lebih jelas dibanding honorer, PPPK Paruh Waktu tidak otomatis menjadi jembatan menuju Pegawai Negeri Sipil (PNS). Jika ingin menjadi PNS, mereka tetap harus mengikuti seleksi CPNS yang berlaku umum.

Namun demikian, peluang untuk naik status menjadi PPPK penuh waktu terbuka lebar. Instansi dapat mengusulkan konversi status tersebut jika pegawai paruh waktu dinilai berprestasi, dibutuhkan, dan tersedia anggaran.

Kebijakan ini sengaja dibuat agar tidak menimbulkan kesan “jalan pintas” menuju PNS, melainkan sebagai bentuk pengakuan resmi terhadap kontribusi pegawai paruh waktu.

Lonjakan Angka Pekerja Paruh Waktu

Bukan hanya di sektor ASN, tren pekerja paruh waktu juga meningkat di dunia kerja secara umum. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah pekerja paruh waktu di Indonesia pada Februari 2025 mencapai 37,62 juta orang, naik dari 36,7 juta pada periode yang sama tahun sebelumnya.

Kenaikan ini mencerminkan kondisi ketenagakerjaan yang dinamis. Sebagian orang memang memilih bekerja paruh waktu demi fleksibilitas, sementara sebagian lainnya terpaksa karena sulitnya mendapatkan pekerjaan penuh waktu.

Menurut ekonom ketenagakerjaan dari Universitas Indonesia, Dr. Siti Maemunah, fenomena ini juga berdampak pada kebijakan pemerintah.

“Dengan meningkatnya tren pekerja paruh waktu, pemerintah dituntut menyesuaikan regulasi agar pekerja tidak kehilangan perlindungan sosial maupun hak dasar,” ujarnya kepada wartawan, Kamis (25/9/2025).

Bagi instansi pemerintah, kehadiran PPPK Paruh Waktu menjadi solusi atas keterbatasan anggaran. Mereka bisa merekrut tenaga sesuai kebutuhan, tanpa harus menanggung beban penggajian penuh.

Contohnya, sebuah puskesmas di daerah mungkin hanya membutuhkan tenaga IT untuk mengelola sistem digital dua jam sehari. Dengan mekanisme lama, mereka harus mengangkat tenaga honorer penuh waktu, padahal pekerjaannya terbatas. Melalui skema paruh waktu, rekrutmen bisa lebih efisien dan tepat sasaran.

Namun, tantangan juga muncul. Pengawasan terhadap kinerja pegawai paruh waktu tidak boleh longgar. Sistem evaluasi harus dibangun dengan jelas agar tidak menimbulkan kesenjangan antara pegawai penuh waktu dan paruh waktu.

Meski disambut positif, kebijakan ini tidak lepas dari kritik. Sejumlah serikat pekerja menilai, tanpa pengawasan ketat, status paruh waktu bisa menjadi celah eksploitasi.

“Pemerintah harus memastikan standar jam kerja, upah, dan jaminan sosial benar-benar ditegakkan. Jangan sampai pegawai paruh waktu diperlakukan seperti honorer dengan nama baru,” ujar Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, dalam sebuah diskusi publik pada 20 September 2025.

Di sisi lain, sejumlah kepala daerah menyambut baik kebijakan ini. Mereka menilai fleksibilitas paruh waktu dapat membantu efisiensi, terutama dalam menghadapi keterbatasan fiskal daerah.

Pada akhirnya, kebijakan PPPK Paruh Waktu dipandang sebagai jalan tengah. Pemerintah berusaha menata birokrasi agar lebih ramping dan efisien, namun tetap memperhatikan nasib tenaga non-ASN yang sudah lama mengabdi.

Dengan regulasi ini, tenaga honorer yang selama ini bekerja tanpa kepastian hukum setidaknya mendapat pengakuan resmi. Mereka memperoleh kontrak, gaji sesuai aturan, serta akses terhadap tunjangan.

Pemerintah berharap, dengan berjalannya kebijakan ini, tidak ada lagi cerita honorer yang menggantung tanpa kejelasan status.

“Ini bukan akhir, melainkan awal dari birokrasi yang lebih modern dan adil,” tutup Menteri PANRB Rini Widyantini.