BONA NEWS. Jakarta, Indonesia. – Pasar saham Asia mengawali pekan ini dengan penguatan, sementara dolar AS melemah terhadap mayoritas mata uang utama dunia. Pergerakan ini terjadi di tengah kekhawatiran investor terkait potensi shutdown pemerintah Amerika Serikat (AS) yang dapat terjadi pada 1 Oktober mendatang.
Kondisi ini mencerminkan dinamika global yang kompleks, di mana faktor politik dan ekonomi di AS memengaruhi pasar keuangan internasional, termasuk bursa saham dan mata uang di Asia.
Mayoritas indeks saham Asia, termasuk Korea Selatan, Jepang, Tiongkok, dan Indonesia, mencatatkan kenaikan signifikan pada pembukaan perdagangan Senin (29/9). Indeks MSCI Emerging Markets Asia naik 1,4%, didorong oleh sentimen positif dari pelemahan dolar dan ekspektasi stabilitas ekonomi di kawasan.
- KOSPI (Korea Selatan) melonjak lebih dari 1% karena sektor teknologi dan manufaktur menunjukkan penguatan.
- Nikkei 225 (Jepang) naik sekitar 0,8%, dipimpin saham-saham eksportir yang diuntungkan dari pelemahan yen terhadap dolar.
- SSE Composite (Tiongkok) mengalami kenaikan 0,5%, dengan sektor industri dan perbankan sebagai motor penggerak.
- IHSG (Indonesia) menguat 0,59% ke level 8.146,9 pada sesi pertama perdagangan.
Kenaikan ini terjadi meski investor masih mencemaskan dampak potensi shutdown pemerintah AS. Kekhawatiran ini membuat arus modal mengalir ke pasar negara berkembang, termasuk Asia, yang dianggap lebih menarik dalam kondisi dolar AS yang melemah.
Dolar AS Melemah
Ketidakpastian politik di AS menjadi faktor utama pelemahan dolar. Ketika Kongres gagal menyepakati anggaran, pemerintah berpotensi shutdown, yang dapat menunda rilis data ekonomi penting dan memengaruhi kepercayaan pasar.
Akibatnya, dolar AS melemah terhadap mata uang utama:
- Euro menguat 0,25% menjadi USD1,1729
- Poundsterling naik 0,34% ke USD1,3445
- Yen Jepang menguat sehingga dolar merosot 0,6% ke level 148,67
Pelemahan dolar juga dipengaruhi ekspektasi investor terhadap kebijakan moneter Federal Reserve (The Fed). Risiko shutdown dapat memaksa The Fed menunda kenaikan suku bunga atau menyesuaikan strategi pelonggaran, yang membuat aset berbasis dolar kurang menarik.
Potensi Shutdown Pemerintah AS
Shutdown pemerintah AS terjadi ketika Kongres dan Presiden gagal menyetujui anggaran federal. Dalam sejarahnya, shutdown AS sudah beberapa kali terjadi, antara lain pada 2013 dan 2018-2019. Dampaknya biasanya meliputi:
- Pegawai federal dirumahkan sementara (furlough)
- Beberapa layanan publik tertunda atau ditutup
- Rilis data ekonomi tertunda
- Sentimen pasar global terguncang
Shutdown kali ini dipicu ketidakcocokan antara DPR dan Senat mengenai anggaran pertahanan dan program sosial. Investor global mengawasi ketat negosiasi ini karena dampaknya terhadap ekonomi AS yang merupakan ekonomi terbesar dunia.
Pelemahan dolar dan kekhawatiran global memengaruhi sektor dan saham tertentu secara berbeda:
- Sektor teknologi: Menguat di Korea Selatan dan Jepang karena biaya produksi lebih rendah dari pelemahan dolar.
- Sektor eksportir: Saham perusahaan yang menjual produk ke AS menjadi lebih kompetitif karena mata uang lokal menguat.
- Sektor keuangan: Terpengaruh oleh ketidakpastian kebijakan moneter The Fed; obligasi dan saham perbankan bergejolak.
- Emas dan komoditas: Harga emas menguat karena dolar melemah, menarik investor safe haven.
Investor di Asia menyesuaikan portofolio mereka dengan meningkatkan eksposur ke saham defensif dan aset lokal yang diuntungkan dari mata uang menguat.
Di Indonesia, pelemahan dolar AS membawa dampak positif:
- Rupiah menguat 0,54% ke Rp16.648 per dolar AS pada perdagangan pagi Senin, setelah sebelumnya menyentuh level terendah lima bulan.
- IHSG menguat, sebagian besar ditopang oleh sektor perbankan, konsumer, dan energi.
- Obligasi pemerintah menjadi lebih menarik karena yield tetap kompetitif dibandingkan mata uang dolar yang melemah.
Arus modal asing cenderung meningkat, karena investor mencari aset denominasi rupiah sebagai alternatif safe haven, terutama ketika volatilitas global meningkat.
Namun, investor tetap harus waspada. Jika shutdown AS terjadi, arus modal bisa berbalik dan menimbulkan tekanan terhadap mata uang dan pasar saham Indonesia.
Analis pasar dari Bloomberg Intelligence dan Reuters menyatakan bahwa:
- Pelemahan dolar akan berlangsung jangka pendek jika shutdown terjadi, namun rebound bisa terjadi begitu negosiasi selesai.
- Pasar Asia akan tetap volatil hingga kepastian anggaran AS tercapai.
- Investor harus menyiapkan strategi diversifikasi portofolio dan mengawasi sektor-sektor yang paling sensitif terhadap pergerakan dolar.
Menurut beberapa ekonom, potensi risiko terbesar bukan hanya dari shutdown itu sendiri, tapi dari efek psikologis dan sentimen global. Investor cenderung mengurangi risiko di awal periode ketidakpastian dan kembali membeli aset begitu kondisi stabil.
Penguatan pasar saham Asia dan pelemahan dolar AS pada Senin (29/9) merupakan refleksi dari sentimen global yang kompleks: optimisme terhadap ekonomi domestik di Asia bersamaan dengan ketidakpastian politik dan ekonomi di AS.
- Investor di Asia memanfaatkan pelemahan dolar untuk meningkatkan eksposur ke saham dan aset lokal.
- Di Indonesia, rupiah dan IHSG diuntungkan dari aliran modal asing.
- Namun, potensi shutdown pemerintah AS tetap menjadi risiko yang harus diperhatikan investor global maupun lokal.
Dengan dinamika ini, pasar diprediksi tetap volatil hingga negosiasi anggaran AS terselesaikan. Investor disarankan memantau perkembangan politik AS, rilis data ekonomi, dan pergerakan mata uang global untuk mengambil keputusan investasi yang lebih tepat.
