BONA NEWS. Jakarta, Indonesia.  – Presiden Republik Indonesia (RI) Prabowo Subianto menegaskan bahwa program Makan Bergizi Gratis (MBG) akan terus berjalan meskipun ribuan anak di berbagai daerah mengalami keracunan massal. Insiden yang menimpa sekitar 6.000 anak itu, menurutnya, hanyalah “persentase kecil” dari total porsi makanan yang telah dibagikan sejak program diluncurkan awal tahun ini.

“Kalau kita lihat secara persentase, itu kecil sekali dibandingkan total porsi yang sudah dibagikan. Program ini sedang kita benahi, dan ke depan akan semakin baik,” kata Prabowo Subianto  dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (29/9/2025).

Pernyataan ini memicu perdebatan publik. Bagi sebagian pihak, sikap Presiden dianggap wajar sebagai bentuk optimisme menjaga keberlangsungan program unggulan. Namun, bagi kelompok lain, menyebut 6.000 anak sebagai “persentase kecil” dinilai mengabaikan fakta bahwa ribuan keluarga kini harus menanggung risiko kesehatan serius akibat kegagalan pengawasan pemerintah.

Makan Bergizi Gratis merupakan salah satu janji kampanye terbesar Prabowo pada Pemilu 2024. Dengan anggaran mencapai sekitar 10 miliar dolar AS, program ini bertujuan mengurangi stunting, meningkatkan asupan gizi anak sekolah, serta mendukung ibu hamil dan menyusui.

Sejak resmi dijalankan pada awal 2025, MBG telah menjangkau jutaan anak di seluruh Indonesia. Menu makanan yang disediakan berbeda-beda tiap daerah, menyesuaikan ketersediaan bahan lokal.

Namun, sejak awal pelaksanaan, sejumlah kalangan sudah mengingatkan potensi masalah besar: keterbatasan dapur standar, variasi kualitas bahan pangan, minimnya tenaga ahli gizi di daerah, hingga lemahnya pengawasan rantai distribusi. Kekhawatiran itu akhirnya terbukti ketika laporan keracunan massal bermunculan di berbagai kota dan kabupaten.

Badan Gizi Nasional (BGN) melaporkan sedikitnya 6.000 anak mengalami gejala keracunan, mulai dari sakit perut, muntah, hingga harus dirawat di rumah sakit. Kasus terbanyak terjadi di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Timur.

Dari total sekitar 9.000 dapur yang digunakan, setidaknya 40 dapur telah ditutup karena tidak memenuhi standar kebersihan dan keamanan pangan. Beberapa dapur ditemukan menggunakan air yang tidak layak konsumsi, peralatan memasak yang tidak steril, serta bahan makanan yang penyimpanannya tidak sesuai prosedur.

“Kami akui ada kekurangan dalam pengawasan. Beberapa dapur tidak konsisten menjalankan SOP, terutama terkait waktu masak, penyimpanan, dan distribusi makanan,” ujar Nanik Deyang, Wakil Kepala BGN, dalam keterangannya pekan lalu.

Instruksi Darurat dari Presiden RI

Untuk meredam keresahan publik, Prabowo memerintahkan penguatan sistem pengawasan. Setiap dapur MBG diwajibkan memiliki:

  • Alat tes cepat untuk mendeteksi kontaminasi bahan makanan.
  • Sterilisator baki makanan guna memastikan peralatan bersih dari bakteri.
  • Filter air agar bahan pangan tidak tercemar.
  • CCTV yang terhubung langsung ke pusat pengawasan pemerintah.

“Semua langkah ini harus segera dilaksanakan. Saya tidak mau ada lagi kelalaian yang membuat anak-anak kita menderita,” ujar Prabowo Subianto.

Namun, pengamat menilai instruksi tersebut baru sebatas solusi teknis. Tantangan sebenarnya adalah bagaimana pemerintah memastikan ribuan dapur di daerah terpencil memiliki kapasitas dan sumber daya untuk mengoperasikan peralatan tersebut secara konsisten.

Insiden keracunan massal ini memicu kritik luas. Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Universitas Gadjah Mada (BEM-KM UGM) menilai pemerintah tidak boleh meremehkan ribuan korban hanya karena persentasenya kecil.

“Setiap anak yang sakit adalah tanggung jawab negara. Pemerintah seharusnya menghentikan program sementara, melakukan evaluasi menyeluruh, dan memastikan keamanan sebelum dilanjutkan,” tegas Tiyo Ardianto, Ketua BEM-KM UGM, Senin (29/9/2025).

Organisasi masyarakat sipil juga mendesak transparansi data kasus keracunan, termasuk penyebab spesifik di tiap wilayah. Mereka menilai publik berhak tahu sumber masalah: apakah dari bahan pangan, proses memasak, atau distribusi.

Bagi banyak keluarga, insiden keracunan ini menimbulkan trauma. Sejumlah orang tua bahkan menolak anak mereka kembali mengonsumsi makanan dari program MBG, meski pihak sekolah menyatakan menu sudah diperbaiki.

“Anak saya sempat dirawat dua hari di rumah sakit. Saya tidak berani lagi kalau makanannya dari program itu,” kata Ratna, seorang ibu di Kabupaten Garut, Senin (29/9/2025).

Kasus ini pun menimbulkan pertanyaan besar: apakah pemerintah terlalu terburu-buru menjalankan program dengan skala masif tanpa kesiapan sistem pengawasan yang memadai?

Analisis: Persentase Kecil, Risiko Besar

Secara matematis, benar bahwa 6.000 kasus dari jutaan porsi yang dibagikan bisa dianggap “persentase kecil.” Namun, dalam kebijakan publik, terutama di sektor kesehatan dan gizi anak, standar toleransi harus sangat rendah.

Setiap insiden keracunan massal bukan hanya angka statistik, tetapi menyangkut kesehatan, keselamatan, bahkan nyawa anak-anak. Dalam perspektif etika pelayanan publik, satu kasus pun sudah cukup menjadi alarm untuk evaluasi serius.

Pengamat kebijakan publik menilai pemerintah perlu memperkuat tiga hal:

  1. Audit independen terhadap seluruh rantai penyediaan makanan.
  2. Sanksi tegas bagi penyedia dapur yang melanggar SOP.
  3. Transparansi data agar publik bisa ikut mengawasi.

Selain dampak langsung berupa sakit dan rawat inap, kasus keracunan massal bisa menimbulkan risiko jangka panjang. Anak-anak yang sudah kekurangan gizi berpotensi semakin rentan, sementara kepercayaan masyarakat terhadap program negara bisa runtuh.

Apabila ketidakpercayaan meluas, tujuan utama MBG untuk mengatasi stunting bisa gagal total. Padahal, Indonesia menargetkan penurunan prevalensi stunting hingga 14 persen pada 2029.

Pemerintah kini berada di persimpangan sulit. Di satu sisi, menghentikan program akan merugikan jutaan anak yang sangat membutuhkan asupan gizi tambahan. Di sisi lain, melanjutkan program tanpa evaluasi mendalam berisiko menimbulkan keracunan baru.

Prabowo Subianto sendiri menegaskan bahwa program tidak boleh berhenti. “Kita tidak boleh mundur. Kita harus belajar dari kejadian ini dan memperbaiki kekurangan,” akhir Prabowo Subianto.

Namun, publik akan menilai janji itu dari langkah nyata: seberapa cepat dapur-dapur diperbaiki, seberapa transparan data kasus dibuka, dan seberapa tegas pemerintah menindak pelanggar.

Insiden keracunan massal dalam program Makan Bergizi Gratis menjadi ujian serius bagi pemerintahan Prabowo. Ia harus membuktikan bahwa ambisi besar untuk memberi makan jutaan anak Indonesia tidak berubah menjadi bumerang karena lemahnya pengawasan.

Masyarakat kini menunggu: apakah program ini benar-benar bisa menjadi warisan positif untuk kesehatan generasi muda, atau justru tercatat sebagai salah satu proyek besar yang gagal karena mengorbankan ribuan anak di awal perjalanannya.