BONA NEWS. Jakarta, Indonesia. – Kebijakan pembatasan visa kerja H-1B di Amerika Serikat memunculkan dampak besar terhadap peta industri teknologi global. Sejumlah perusahaan raksasa teknologi, yang selama puluhan tahun mengandalkan tenaga kerja asing untuk mengisi posisi krusial di Silicon Valley, kini mulai meninjau ulang strategi bisnis mereka. India muncul sebagai salah satu tujuan utama untuk relokasi dan ekspansi, berkat ketersediaan sumber daya manusia berkeahlian tinggi dan ekosistem teknologi yang semakin matang.
H-1B: Visa yang Jadi Sengketa
Visa H-1B merupakan izin kerja khusus bagi tenaga asing berketerampilan tinggi yang dibutuhkan oleh perusahaan di AS, khususnya di bidang teknologi informasi, sains, teknik, dan kesehatan. Setiap tahun, hanya sekitar 85.000 visa yang disetujui, termasuk kuota untuk mahasiswa pascasarjana. Jumlah ini jauh di bawah permintaan perusahaan, yang bisa mencapai lebih dari 400.000 aplikasi per tahun.
Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah AS memperketat aturan H-1B dengan alasan melindungi tenaga kerja domestik. Proses seleksi menjadi semakin kompetitif, biaya administrasi meningkat, dan persyaratan audit diperketat. Akibatnya, banyak perusahaan mengaku kesulitan mempertahankan tenaga ahli internasional yang sudah bekerja, atau mendatangkan talenta baru dari luar negeri.
Perusahaan raksasa seperti Google, Microsoft, Amazon, Meta, hingga ratusan startup, sangat bergantung pada pekerja migran berkeahlian tinggi. Data menunjukkan bahwa hampir 70% pemegang visa H-1B berasal dari India, terutama di bidang perangkat lunak, kecerdasan buatan, dan analitik data.
Dengan adanya pembatasan, perusahaan menghadapi risiko kekurangan tenaga ahli. Solusi jangka pendek adalah memperluas pusat riset dan pengembangan (R&D) di luar Amerika Serikat, dengan India sebagai pilihan utama.
“Kami melihat Bangalore, Hyderabad, dan Pune tidak lagi hanya menjadi ‘back office’, tapi kini naik kelas sebagai pusat inovasi global,” dilansir dari pernyataan Rajeev Menon, analis senior IDC Asia Pasifik, kepada Economic Times, Senin (29/9/2025).
Selain India, beberapa perusahaan juga melirik Meksiko, Kanada, dan negara-negara Eropa Timur. Namun, India dinilai lebih unggul berkat jumlah tenaga kerja TI yang melimpah, biaya operasional lebih rendah, dan infrastruktur digital yang semakin baik.
India: “Silicon Valley” Baru?
India sejak lama dikenal sebagai pusat outsourcing teknologi informasi. Namun kini, perannya berubah dari sekadar penyedia layanan dukungan menjadi pusat inovasi. Pemerintah India mendorong program “Digital India” dan memberikan berbagai insentif pajak untuk perusahaan asing yang membangun pusat riset di sana.
- Jumlah insinyur IT India diperkirakan mencapai lebih dari 4,5 juta orang.
- Universitas seperti IIT (Indian Institute of Technology) menghasilkan puluhan ribu lulusan tiap tahun.
- Perusahaan unicorn lokal, seperti Infosys, Wipro, dan TCS, menjadi mitra global bagi perusahaan Barat.
Kombinasi tersebut membuat India semakin menarik bagi perusahaan yang kesulitan mengandalkan visa H-1B di AS.
Efek Domino pada Ekonomi Global
Relokasi ini membawa dampak luas:
- Bagi AS: Risiko kehilangan inovasi domestik karena sebagian pekerjaan bernilai tinggi berpindah ke luar negeri.
- Bagi India: Peluang besar untuk mengokohkan diri sebagai pusat teknologi global, menarik investasi asing, serta menciptakan lapangan kerja baru.
- Bagi pasar tenaga kerja global: Munculnya pola baru “hybrid offshore-onsite”, di mana sebagian tim tetap berada di AS untuk komunikasi dengan klien, sementara mayoritas pengembangan dilakukan di India.
Analis ekonomi memperingatkan bahwa jika tren ini terus berlanjut, AS berpotensi menghadapi brain drain terbalik — alih-alih menarik talenta dari seluruh dunia, justru kehilangan daya saing karena ketatnya aturan imigrasi.
Sejumlah perusahaan teknologi sudah menyampaikan keluhan mereka. Dalam laporan keuangan kuartal kedua, beberapa perusahaan besar mencatat kenaikan biaya operasional akibat harus menanggung biaya tambahan perekrutan dan relokasi.
“Kami butuh spesialis AI dan keamanan siber. Namun, proses H-1B sangat panjang dan penuh ketidakpastian. Akhirnya, lebih efisien bagi kami untuk membangun tim di Bengaluru,” ujar Ananya Gupta, CTO sebuah startup keamanan digital di Silicon Valley, sebagaimana dilansir Reuters, Jumat (26/9/2025).
Di sisi lain, banyak pekerja India yang awalnya bercita-cita bekerja di AS, kini melihat peluang karier yang sama menjanjikannya tanpa harus meninggalkan negaranya.
Pemerintah India menyambut tren ini dengan optimisme. Menteri Teknologi India menyatakan bahwa peningkatan investasi asing akan mempercepat ambisi India menjadi pusat ekonomi digital dunia.
“Investasi dari perusahaan Amerika akan memperkuat fondasi teknologi India dan memberi lapangan kerja bagi jutaan warga kami,” kata Menteri Teknologi India, Ashwini Vaishnaw, dikutip dari Hindustan Times, Minggu (28/9/2025).
Sebaliknya, pemerintah AS masih berada dalam dilema. Di satu sisi, mereka ingin melindungi tenaga kerja domestik. Di sisi lain, banyak perusahaan AS yang mendesak agar kuota H-1B diperluas demi menjaga daya saing inovasi. Beberapa anggota Kongres bahkan mulai mengajukan rancangan undang-undang baru untuk meninjau kembali pembatasan visa.
Situasi ini menggambarkan ketegangan antara kepentingan politik domestik dan kebutuhan globalisasi ekonomi. Kebijakan proteksionis visa bisa menjadi populer di kalangan pemilih dalam negeri, tetapi berisiko menurunkan posisi AS dalam persaingan teknologi global.
Sementara itu, India semakin memantapkan posisinya sebagai alternatif strategis. Jika tren ini terus berlanjut, bukan mustahil dalam satu dekade mendatang India akan benar-benar menjadi “Silicon Valley baru” di Asia.
Pembatasan visa H-1B mungkin dimaksudkan untuk melindungi tenaga kerja Amerika, namun justru memicu efek tak terduga: perusahaan mengalihkan investasi ke India. Dengan talenta berlimpah, infrastruktur digital yang berkembang, serta dukungan kebijakan pemerintah, India berpeluang besar memperkuat posisinya dalam peta teknologi dunia.
Bagi AS, tantangannya adalah menemukan keseimbangan antara kepentingan domestik dan kebutuhan global. Jika tidak, perusahaan-perusahaan teknologi bisa semakin mengandalkan India — dan lambat laun, dominasi inovasi Silicon Valley bisa terkikis.
