BONA NEWS. Medan, Sumatera Utara.  – Komisi Pemberantasan Korupsi  Republik Indonesia (KPK RI) membuka kemungkinan melakukan upaya paksa terhadap Rektor Universitas Sumatera Utara (USU), Prof. Dr. Muryanto Amin, S.Sos., M.Si., yang dua kali tidak hadir memenuhi panggilan penyidik dalam penyidikan dugaan kasus korupsi.

Wakil Ketua KPK RI, Johanis Tanak, menegaskan pada Selasa, 30 September 2025, bahwa jika pemanggilan ketiga tidak diindahkan, pihaknya akan menempuh prosedur hukum sesuai KUHAP untuk memanggil paksa.

“Kalau sudah dua kali dipanggil secara sah tetapi tidak datang, maka sesuai dengan KUHAP penyidik dapat melakukan penjemputan paksa,” ujar Johanis di Gedung Merah Putih, Jakarta.

Pemanggilan terhadap Muryanto Amin terkait dengan dugaan penyalahgunaan anggaran di lingkungan USU. KPK belum merinci konstruksi perkara dan pihak yang sudah ditetapkan sebagai tersangka, namun langkah pemanggilan dilakukan untuk mendapatkan keterangan penting dari rektor terkait aliran dana dan kebijakan pengelolaan anggaran.

Sejak panggilan pertama, Muryanto tidak hadir. Panggilan pertama dicatat dilakukan pada Jumat, 15 Agustus 2025, sementara panggilan kedua dilakukan pada September 2025. KPK RI menegaskan bahwa panggilan telah dilakukan secara resmi dan sah sesuai prosedur hukum.

Kewenangan Hukum KPK RI

KPK berlandaskan Pasal 112 ayat (2) KUHAP, yang menyatakan bahwa saksi yang dipanggil secara sah namun tidak hadir tanpa alasan patut dapat dijemput paksa. Selain itu, Pasal 12 UU KPK memberi penyidik hak untuk memanggil saksi atau pihak terkait lainnya.

Menurut Wakil Ketua KPK RI Johanis Tanak, tidak ada perlakuan khusus bagi siapa pun.

“Semua warga negara sama di hadapan hukum. Tidak peduli apakah dia pejabat, rektor, atau siapa pun,” ujarnya.

Upaya paksa bukan langkah yang diambil sembarangan, melainkan instrumen sah dalam proses hukum untuk memastikan penyidikan berjalan lancar. Sebelumnya, KPK telah menempuh langkah ini terhadap beberapa saksi dan tersangka yang tidak kooperatif dalam kasus korupsi lainnya. Kasus ini menjadi perhatian publik, khususnya warga Sumatera Utara.

Sebelumnya, Forum Penyelamat USU (FP-USU) merilis pernyataan resmi pada Senin, 15 September 2025, mendesak KPK RI untuk menindak tegas ketidakhadiran Muryanto.

“KPK harus tegas. Jangan sampai kasus ini mandek hanya karena saksi tidak mau hadir,” tulis FP-USU dalam siaran persnya.

Desakan serupa juga muncul dari organisasi masyarakat sipil dan mahasiswa, yang meminta agar proses hukum berjalan transparan dan tegas. Publik menilai ketidakhadiran pimpinan universitas berpotensi merusak reputasi institusi.

Secara hukum, mangkir dari pemanggilan penyidik dapat berimplikasi serius. Saksi yang berulang kali tidak hadir tanpa alasan patut bisa dianggap menghalangi proses penyidikan, atau obstruction of justice, yang diatur dalam Pasal 21 UU Tipikor. Pasal ini memberikan ancaman pidana hingga 12 tahun penjara bagi pihak yang dengan sengaja menghalang-halangi penyidikan kasus korupsi.

Pakar hukum pidana yang dikutip media menilai bahwa langkah KPK RI menempuh upaya paksa sudah sesuai prosedur. Upaya ini dianggap sah dan menjadi bagian dari mekanisme untuk menjamin efektivitas penyidikan.

USU sebagai salah satu kampus terbesar di Indonesia kini berada dalam sorotan. Kasus ini menjadi ujian bagi dunia pendidikan tinggi, terutama dalam hal integritas dan tata kelola keuangan.

Jika dugaan korupsi terbukti benar, kasus ini dapat merusak reputasi universitas. Dana publik yang digunakan untuk pembangunan dan kegiatan akademik menjadi sorotan utama. Media melaporkan bahwa publik mengharapkan transparansi penuh agar universitas tetap dapat dipercaya sebagai lembaga pendidikan tinggi.

Prospek Upaya Paksa

Apabila Muryanto tidak hadir pada pemanggilan ketiga, KPK RI hampir pasti akan menempuh langkah penjemputan paksa. Aparat kepolisian dapat mendatangi kediaman atau kantor rektor dan membawanya ke gedung KPK RI di Jakarta untuk pemeriksaan.

Upaya paksa, menurut KPK RI, bukan bentuk kriminalisasi, tetapi mekanisme hukum yang sah untuk memastikan saksi hadir memberikan keterangan. Penggunaan upaya paksa sebelumnya dilakukan terhadap sejumlah pejabat publik dan pengusaha yang berulang kali mangkir dari panggilan KPK RI.

Sivitas akademika dan publik mengharapkan kasus ini menjadi pelajaran penting bagi seluruh pemimpin institusi pendidikan. Ketidakpatuhan terhadap hukum bisa berdampak pada citra universitas, kepercayaan masyarakat, dan integritas institusi.

Kasus ini juga menjadi sorotan media nasional karena melibatkan pejabat publik di dunia pendidikan. KPK RI  menegaskan bahwa semua pihak yang dipanggil harus menghormati proses hukum, tanpa pengecualian.

KPK  RI dijadwalkan kembali memanggil Muryanto Amin dalam waktu dekat. Publik dan media menantikan apakah rektor akan hadir secara sukarela atau menunggu dijemput paksa.

Jika hadir secara sukarela, kasus ini dapat berjalan lancar dengan pemeriksaan sebagai saksi. Namun, jika tetap mangkir, maka penegakan hukum akan menunjukkan bahwa KPK RI menindak tegas setiap pelanggaran prosedur hukum.

Kasus Rektor USU ini menegaskan prinsip bahwa semua warga negara setara di hadapan hukum. Tidak ada pengecualian bagi pejabat atau pimpinan institusi pendidikan.

Bagi Universitas Sumatera Utara, kasus ini menjadi ujian integritas dan transparansi. Bagi publik, kasus ini menjadi pengingat bahwa praktik penyalahgunaan anggaran bisa terjadi di berbagai sektor, termasuk pendidikan.

KPK RI telah menunjukkan komitmen untuk menegakkan hukum secara adil. Publik kini menunggu keputusan Muryanto Amin: apakah ia akan hadir memberikan keterangan atau harus dijemput paksa, sebagai bagian dari proses hukum yang sah.