BONA NEWS. Jakarta, Indonesia.  – Negara Republik Indonesia segera memulai langkah besar dalam transformasi energi dan pengelolaan lingkungan. Pemerintah bersama lembaga investasi sovereign fund Danantara mengumumkan pembangunan delapan unit fasilitas pengolahan sampah menjadi energi listrik (waste-to-power / PSEL) yang akan dimulai pada Jum’at (31/10/2025).

Langkah ini bukan sekadar proyek infrastruktur biasa. Kehadiran PSEL disebut sebagai solusi ganda: menekan timbunan sampah yang semakin membebani tempat pembuangan akhir (TPA) serta memperkuat penyediaan energi bersih di tengah upaya transisi menuju ekonomi rendah karbon.

Latar Belakang Masalah Sampah Nasional

Setiap tahun, Indonesia menghasilkan lebih dari 35 juta ton sampah. Dari jumlah tersebut, hanya sekitar 61 persen yang berhasil dikelola dengan baik melalui sistem daur ulang, pengomposan, atau pembuangan terkontrol di TPA. Sisanya, sekitar 39 persen, masih berakhir di sungai, laut, atau menumpuk tanpa pengolahan yang layak.

Data tahun 2024 menunjukkan, total timbulan sampah nasional mencapai 33,8 juta ton. Dari angka itu, 20,2 juta ton atau sekitar 59,9 persen terkelola, sementara 13,6 juta ton sisanya tidak terkelola. Kondisi ini berkontribusi pada pencemaran lingkungan, banjir, hingga kerusakan ekosistem laut akibat plastik.

Tak hanya soal lingkungan, sampah juga berkaitan dengan emisi gas rumah kaca. Tempat pembuangan akhir menghasilkan gas metana, salah satu gas dengan efek pemanasan 25 kali lebih kuat dibanding karbon dioksida. Tercatat, TPA menyumbang sekitar 2–3 persen emisi gas rumah kaca nasional.

“Kalau tidak dikelola dengan cara baru, sampah akan terus menjadi bom waktu lingkungan. Proyek PSEL ini menjadi jawaban agar limbah bukan lagi masalah, melainkan sumber energi,” kata Arifin Tasrif, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (3/10).

Delapan unit awal PSEL yang direncakan akan mulai dikerjakan pada Jum’at (31/10/2025) menjadi tonggak sejarah proyek nasional ini. Setiap unit dirancang dengan kapasitas mengolah 1.000 ton sampah per hari. Dari jumlah itu, pembangkit diharapkan mampu menghasilkan listrik sekitar 15 megawatt (MW).

Dengan kapasitas tersebut, satu unit PSEL diproyeksikan dapat memasok kebutuhan listrik bagi 20.000 rumah tangga. Artinya, delapan unit awal akan mampu menyuplai daya untuk sekitar 160.000 rumah tangga.

Untuk membangun satu unit, diperlukan lahan sekitar 4–5 hektare. Estimasi nilai investasi mencapai Rp 2–3 triliun per fasilitas. Sehingga total kebutuhan modal untuk delapan proyek awal berada di kisaran Rp 16–24 triliun.

“Ini bukan sekadar pembangunan fisik. Kami membangun model baru pengelolaan sampah yang berkelanjutan dan memberikan manfaat ekonomi. Setiap ton sampah yang tadinya menjadi beban, kini bisa diubah menjadi listrik,” ujar Ahmad Rizal Rangkuti, Direktur Utama Danantara.

Pemerintah telah memasukkan proyek PSEL dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2025–2034. Target nasional adalah membangun 33 unit PSEL di seluruh Indonesia dengan total kapasitas terpasang mencapai 452,7 MW.

Untuk membiayai target ambisius tersebut, dibutuhkan dana investasi sekitar USD 2,72 miliar, atau lebih dari Rp 42 triliun. Skema pembiayaan disiapkan melalui kombinasi investasi swasta, dukungan pemerintah pusat, serta keterlibatan BUMN sektor energi.

Kementerian ESDM menyebut, proyek ini akan diprioritaskan di kota-kota dengan timbulan sampah besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Makassar, Denpasar, dan beberapa ibu kota provinsi lainnya.

“Setiap kota besar rata-rata menghasilkan ribuan ton sampah per hari. Tanpa solusi seperti PSEL, TPA akan cepat penuh. Bahkan ada TPA yang tinggal memiliki umur pakai dua hingga tiga tahun,” jelas Menteri ESDM.

Proyek PSEL tidak hanya soal energi, tetapi juga bagian dari strategi menurunkan emisi. Dengan mengolah sampah menjadi energi, pemerintah menargetkan dapat menurunkan hingga 80 persen emisi gas rumah kaca dari sektor pengelolaan limbah.

Selain itu, proyek ini juga berdampak pada penciptaan lapangan kerja. Setiap unit PSEL diperkirakan menyerap ratusan tenaga kerja langsung mulai dari tahap konstruksi hingga operasional, serta membuka peluang usaha baru di sektor daur ulang, transportasi sampah, dan teknologi pendukung.

Namun, sejumlah pihak menilai proyek ini tetap perlu diawasi ketat. Beberapa organisasi lingkungan mengingatkan agar teknologi yang dipakai tidak menimbulkan pencemaran udara akibat pembakaran, serta tetap mendorong prinsip pengurangan sampah dari sumbernya.

“Kami mendukung PSEL sebagai bagian dari solusi. Tetapi jangan sampai jadi alasan untuk terus memproduksi sampah. Prinsip reduce, reuse, recycle harus tetap diutamakan,” kata Zenzi Suhadi, Direktur Eksekutif Nasional WALHI.

Sementara itu, Yuyun Ismawati, Co-founder Nexus3 Foundation, menekankan agar pemerintah tetap transparan dalam penggunaan teknologi.

“Waste-to-energy bisa jadi solusi, tapi harus diawasi. Jangan sampai jadi proyek mahal yang justru menghasilkan polusi baru,” ujarnya.

Aspek Ekonomi dan Skema Tarif

Dari sisi bisnis, pemerintah menetapkan skema tarif listrik PSEL sekitar US$0,20 per kWh. Tarif ini dianggap kompetitif untuk mendukung kelayakan investasi, mengingat biaya pengolahan sampah relatif tinggi.

Salah satu kebijakan penting adalah penghapusan sistem tipping fee. Selama ini, pemerintah daerah menanggung biaya pembuangan sampah ke TPA. Dengan mekanisme baru, beban daerah dihapuskan dan biaya ditopang oleh PLN bersama pemerintah pusat.

“Kami ingin memastikan bahwa proyek ini tidak membebani keuangan daerah. Dengan skema baru, justru daerah bisa lebih fokus pada pelayanan publik lainnya, sementara listrik dari PSEL tetap mengalir ke jaringan PLN,” ungkap  Darmawan Prasodjo, Direktur Utama PT PLN (Persero

Perbandingan dengan Negara Lain

Waste-to-energy bukan hal baru di dunia. Negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan, dan beberapa negara Eropa sudah lebih dulu menerapkan teknologi ini. Jepang misalnya, mengandalkan fasilitas waste-to-energy untuk mengelola sebagian besar sampah perkotaannya karena keterbatasan lahan TPA.

Di Eropa, Denmark dan Swedia terkenal dengan model pengolahan sampah menjadi listrik dan panas untuk sistem pemanas kota (district heating). Model inilah yang sering dijadikan referensi oleh Indonesia.

Namun, tantangan di Indonesia berbeda. Volume sampah tinggi, kandungan organik besar, dan sistem pemilahan masih lemah. Karena itu, keberhasilan proyek PSEL juga sangat bergantung pada peningkatan sistem pengelolaan sampah dari hulu.

Jika delapan proyek awal berhasil, pemerintah berencana memperluas pembangunan hingga seluruh 33 kota target. Dengan total kapasitas 452,7 MW, kontribusi PSEL bisa mencapai hampir 1 persen dari bauran energi nasional.

Angka ini mungkin terlihat kecil dibanding pembangkit berbasis batu bara, namun memiliki nilai strategis karena sekaligus menyelesaikan dua masalah: krisis sampah dan kebutuhan energi bersih.

“Proyek ini adalah investasi jangka panjang. Bukan hanya listrik, tapi juga keberlanjutan lingkungan untuk generasi mendatang,” kata Menteri ESDM.

Pembangunan tahap awal delapan unit PSEL ditargetkan selesai dalam dua hingga tiga tahun. Jika berjalan sesuai rencana, fasilitas tersebut dapat mulai beroperasi penuh pada 2027–2028.

Proyek sampah-ke-listrik menjadi bukti bahwa masalah besar bisa diubah menjadi peluang. Indonesia yang selama ini menghadapi tantangan timbunan sampah dan emisi, kini mulai menapaki jalan baru menuju solusi energi berkelanjutan.

Dengan dukungan teknologi, pendanaan, serta kebijakan yang konsisten, delapan unit awal PSEL pada akhir Oktober 2025 dapat menjadi titik balik dalam sejarah pengelolaan sampah nasional.

Kini, tantangan terbesarnya adalah memastikan proyek tidak sekadar berdiri di atas kertas, melainkan benar-benar beroperasi efektif, efisien, dan memberi manfaat nyata bagi masyarakat dan lingkungan.