BONA NEWS. Jakarta, Indonesia. – Kualitas udara Jakarta kembali menjadi perhatian dunia. Data IQAir pada Sabtu pagi menunjukkan indeks kualitas udara (AQI) Jakarta mencapai 143, masuk kategori “Unhealthy for Sensitive Groups” atau tidak sehat bagi kelompok rentan. Dengan angka ini, Jakarta menempati posisi lima besar kota dengan kualitas udara terburuk di dunia.
Data pemantauan udara menunjukkan bahwa polutan utama di Jakarta adalah PM2.5 dengan konsentrasi rata-rata 47 mikrogram per meter kubik. Angka ini hampir 10 kali lipat lebih tinggi dari ambang batas aman yang direkomendasikan WHO, yakni 5 µg/m³.
Fenomena ini memperkuat tren lama bahwa kualitas udara Jakarta kerap buruk terutama pada musim kemarau.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Dinas Lingkungan Hidup (DLH) melakukan sejumlah langkah darurat. Kepala DLH DKI, Asep Kuswanto, menjelaskan pihaknya mengerahkan truk penyemprot air di sejumlah titik strategis.
“Kami melakukan penyemprotan 4.000 liter air di kawasan padat aktivitas seperti Dukuh Atas, TB Simatupang, Fatmawati, Bundaran HI, hingga Lapangan Banteng. Harapannya bisa menekan debu dan polutan di udara,” kata Asep Kuswanto, Sabtu (4/10/2025).
Namun, langkah ini dinilai hanya sementara karena tidak menyelesaikan sumber pencemar yang sesungguhnya.
Transportasi Jadi Sumber Utama Polusi
Menurut Ahmad Safrudin, Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB), sektor transportasi darat adalah penyumbang terbesar pencemaran udara di Jakarta.
“Kendaraan bermotor menyumbang hampir 47 persen pencemaran udara di Jakarta. Sepeda motor yang jumlahnya belasan juta unit menjadi kontributor dominan,” jelas Ahmad Safrudin, Sabtu (4/10/2025).
Ia menambahkan, polusi juga diperparah oleh emisi industri dan pembangkit listrik berbahan batu bara di sekitar Jabodetabek.
Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta, drg. Ani Ruspitawati, M.M., mengingatkan masyarakat untuk mewaspadai dampak buruk paparan polusi.
“Kasus ISPA di Jakarta meningkat sejak beberapa bulan terakhir. Anak-anak paling rentan terkena batuk, asma, dan bronkitis akibat kualitas udara yang buruk,” kata Ani Ruspitawati kepada Jurnalis, Sabtu (4/10/2025).
Data Dinkes DKI mencatat ratusan ribu kasus ISPA tiap tahun. Pada 2025, tren peningkatan kasus terlihat jelas di kawasan padat lalu lintas.
Ahmad Safrudin, Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB) menilai bahwa solusi tidak bisa hanya mengandalkan penyemprotan air atau uji emisi terbatas.
“Jakarta perlu kebijakan tegas: pembatasan kendaraan pribadi, percepatan transportasi publik listrik, dan pengawasan emisi industri. Kalau tidak, udara kita akan terus tercemar,” tegasnya, Sabtu (4/10/2025).
Aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) DKI juga menekankan pentingnya keterbukaan data pemerintah. Mereka menilai, masyarakat berhak tahu kondisi udara sebenarnya setiap saat agar bisa melindungi diri.
Warga ibu kota semakin resah. Misalnya, Rina (34), ibu rumah tangga di Cempaka Putih, mengatakan anaknya sering batuk saat kualitas udara menurun.
“Pagi hari suka terlihat kabut tebal. Anak saya sampai harus pakai masker ke sekolah. Kami khawatir jangka panjangnya,” ujarnya, Sabtu (4/10/2025).
Keluhan juga datang dari pekerja kantoran di kawasan Sudirman yang mengaku mata perih dan kepala pusing saat AQI meningkat.
Beberapa Pakar menyebut sejumlah langkah jangka panjang:
- Elektrifikasi transportasi publik – mempercepat armada bus listrik dan kendaraan ramah lingkungan.
- Pembatasan kendaraan pribadi – memperluas aturan ganjil-genap dan memperketat uji emisi.
- Transisi energi – mengurangi ketergantungan PLTU batu bara di Jabodetabek.
- Penambahan Ruang Terbuka Hijau (RTH) – Jakarta baru memiliki ±10% dari target 30%.
- Edukasi publik – meningkatkan kesadaran warga untuk menjaga kesehatan dan beralih ke transportasi bersih.
Kondisi Jakarta kini selevel dengan kota-kota besar yang terkenal berpolusi seperti New Delhi (India) dan Dhaka (Bangladesh). Bedanya, India sudah mempercepat penggunaan kendaraan listrik secara masif, sementara di Indonesia kebijakan itu baru berjalan.
